Internasional

"Senjata" Baru Rusia Hampir Rampung, Eropa Bisa Gelap Gulita

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
30 March 2022 14:00
FILE PHOTO: The logo of the Nord Stream 2 gas pipeline project is seen on a pipe at the Chelyabinsk pipe rolling plant in Chelyabinsk, Russia, February 26, 2020. REUTERS/Maxim Shemetov/File Photo
Foto: REUTERS/Maxim Shemetov

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Rusia sedang mempersiapkan "senjata" baru melawan Barat. Namun senjata yang dimaksud bukan bom atau nuklir.

Ini adalah ketentuan membeli gas Rusia dalam mata yang rubel, bukan Euro atau dolar AS. Hal tersebut akan menjadi manuver terbaru Moskow untuk menghukum negara-negara yang menjatuhkan sanksi ekonomi terhadapnya terkait serangan ke Ukraina, terutama Eropa.

Jika pembeli, termasuk Eropa, tak bisa menyanggupi, bisa saja Moskow memutus pasokan. Ini bisa berbahaya bagi Benua Biru terutama karena ketergantungannya kepada gas Rusia, terutama untuk listrik.

Dalam laporan Reuters, Juru Bicara Kremlin Dmitry Peskov dan Ketua Majelis Tinggi Parlemen Rusia, Valentina Matviyenko, menyatakan Moskow sudah siap dengan pemberlakukan aturan ini. Sistem baru sudah hampir rampung.

"Tidak ada yang akan memasok gas secara gratis, itu tidak mungkin. Dan, Anda (pembeli) hanya dapat membayarnya dalam rubel," kata Peskov kepada wartawan, Selasa (29/3/2022) waktu setempat.

"Semua modalitas sedang dikembangkan sehingga sistem ini sederhana, dapat dimengerti dan layak untuk pembeli Eropa dan internasional yang dihormati."

Sebenarnya, wacana menggunakan Rubel sudah dikatakan Presiden Rusia Vladimir Putin sejak pekan lalu. Ini diumumkan tepat saat Uni Eropa (UE) memperdebatkan sanksi tambahan terhadap Rusia.

Ini juga merupakan perubahan paling signifikan dalam politik minyak dan gas (migas) Rusia sejak Uni Soviet membangun jaringan pipa gas ke Eropa dari Siberia pada awal 1970-an.

Pemimpin tertinggi Rusia sejak 1999 itu memang telah lama mencerca dominasi dolar AS dalam banyak transaksi global, sebagai instrumen "kerajaan kebohongan" AS yang bertujuan menghancurkan Rusia.

Sementara itu, sejumlah konsumen gas Rusia menolak aturan ini. Menteri Keuangan Jerman Christian Lindner meminta Putin untuk memikirkan konsekuensinya karena jika pembayaran dilakukan dengan rubel, harga gas Eropa bisa makin melonjak.

"Kami sepenuhnya menentang segala bentuk pemerasan. Perjanjian ini didasarkan pada euro dan dolar (AS), jadi kami menyarankan agar perusahaan sektor swasta membayar (Rusia) dalam euro atau dolar," kata Lindner dikutip dari CNBC International.

"Jika Putin tidak mau menerima ini, terbuka baginya untuk memikirkan konsekuensinya," tambahnya.

Sementara itu, analis menilai pembayaran rubel bisa menyalahi kontrak. Mekanisme pembayaran ekspor gas juga masih belum jelas. .

"Pembayaran rubel berada di suatu tempat antara sangat sulit dan tidak mungkin. Apalagi untuk sebagian besar pembeli Eropa untuk mengaturnya dan tidak bisa dalam waktu singkat," kata Rekan Peneliti Distinguished Institut Oxford untuk Studi Energi, Jonathan Stern.

"Jika Gazprom (BUMN gas Rusia) bersikeras pada pembayaran rubel dan menghentikan pengiriman jika pembayaran tidak dilakukan dalam mata uang itu, maka menurut saya ini akan menjadi pelanggaran ketentuan kontrak."

Sebenarnya, pembayaran dalam rubel akan menopang mata uang Rusia, yang telah anjlok sejak serangan dilakukan ke Ukraina pada 24 Februari. Pidato Putin soal rubel ini sempat mengangkat mata uang itu 9% terhadap dolar kala itu.


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Cerita Lengkap Ribut Rusia-Barat karena Bayar Gas Pakai Rubel

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular