Andai Harga Pertamax Naik, Konsumen akan Pindah ke Pertalite?

Verda Nano Setiawan, CNBC Indonesia
Selasa, 29/03/2022 15:40 WIB
Foto: Infografis/Catat! Kenaikan Harga 3 BBM pertamina, Ini Daftar Terbarunya/Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Pertamina (Persero) hingga kini memang masih belum menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi jenis bensin RON 92 alias Pertamax. Harga Pertamax saat ini masih dibanderol sebesar Rp 9.000 per liter.

Namun demikian, belakangan ini sejumlah pihak, termasuk pejabat pemerintah dan DPR RI gencar mendukung kenaikan harga BBM non subsidi ini karena konsumennya dianggap golongan mampu dan bermobil mewah.

Bila harga Pertamax dinaikkan, maka pemerintah dinilai perlu mengantisipasi lonjakan konsumsi di bensin Pertalite (RON 90) yang sebagian juga diberikan kompensasi oleh pemerintah. Seperti diketahui, pemerintah beberapa kali menegaskan tidak ada rencana untuk mengizinkan Pertamina menaikkan harga bensin Pertalite ini.


Mantan Direktur Utama PT Pertamina (Persero) periode 2006-2009 Ari Soemarno menilai jika harga Pertamax naik, sudah dapat dipastikan akan terjadi migrasi dari pengguna Pertamax ke Pertalite. Hal ini dipicu dari selisih harga jual kedua produk BBM tersebut yang akan semakin besar.

"Tapi memang itu jika dinaikkan (harga Pertamax), orang akan pindah ke Pertalite, meskipun kualitasnya lebih rendah. Pengalaman kita sih ke komoditas yang lebih murah yang paling tertekan malah nanti Pertalite-nya," ungkap Ari dalam diskusi bersama CNBC Indonesia, Selasa (29/3/2022).

Namun di sisi lain, menurutnya Pertamina memang harus segera melakukan penyesuaian harga Pertamax. Hal ini dikarenakan harga minyak mentah dunia saat ini sudah tembus di atas US$ 100 per barel dan telah berdampak pada kinerja keuangan perusahaan yang terseok-seok.

Apalagi, imbuhnya, utang subsidi pemerintah selama empat tahun ke belakang menurutnya tak kunjung dibayar. Oleh sebab itu, kenaikan harga Pertamax di tengah lonjakan harga minyak dunia mesti dilakukan.

"Jadi menurut saya, penyesuaian ini seharusnya dilaksanakan, tapi memang kalau gak dilaksanakan Pertamina harus bayar subsidinya terus, saya kasihan ke Pertamina," ujarnya.

Sementara itu, Kepala Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (PSE UGM) Deendarlianto menilai konsumen Pertamax atau bensin RON 92 ke atas tidak akan serta merta berpindah ke bensin dengan oktan rendah. Pasalnya, banyak pemilik kendaraan yang sudah menyadari bahwa spesifikasi BBM beroktan rendah akan mengganggu kinerja mesin.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan PSE, perubahan nilai oktan pada bahan bakar akan mempengaruhi nilai kadar emisi. Bahan bakar dengan bilangan oktan lebih rendah memiliki kadar CO yang lebih tinggi. Seiring meningkatnya RPM dan kecepatan kendaraan, kadar CO juga akan terus meningkat.

"Kalau bicara RON dalam implementasi ke efisiensi mesin, kami yakin pengguna Pertamax tidak akan serta merta beralih ke Pertalite karena akan berdampak ke mesin. Semakin rendah RON akan semakin tinggi emisinya," ujar Deendarlianto, saat diskusi virtual bersama media belum lama ini.

BBM jenis Pertalite (RON 90) saat ini paling banyak dikonsumsi. Di tingkat nasional, lebih dari 50% pengguna kendaraan bermotor mengkonsumsi Pertalite. Selain itu, Pertamina juga menjual beberapa jenis BBM berkualitas seperti Pertamax (RON 92), Pertamax Plus (RON 95), dan Pertamax Turbo (RON 98).

Menurut Guru Besar Teknik Mesin UGM itu, dari sisi teknis jika ada konsumen beralih dari Pertamax ke Pertalite, mereka tentunya akan berpikir ulang karena alasan kinerja mesin tadi. Namun hal itu tidak bisa dihindari karena masih ada kalangan masyarakat yang membutuhkannya.

"Isu kualitas BBM ini kan sempat ramai juga tahun lalu, katanya Premium mau dihilangkan. Saya sebenarnya setuju itu karena memang emisinya jauh lebih besar. Dari pertimbangan net zero emission harusnya Pertamina memang sudah mulai mengurangi premium sehingga kita mulai beralih," kata dia.

Dalam beberapa tahun ke depan, penggunaan BBM fosil secara umum masih akan mengalami kenaikan. Ini sesuai dengan proyeksi yang disusun pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sampai 2030.

Berdasarkan data pada jurnal yang diterbitkan Elsevier, yang ditulis Deendarlianto bersama dua rekannya yakni Indra Candra Setiawan dan Indarto, pada 2030 konsumsi minyak sebagai bahan bakar transportasi masih yang terbesar dengan persentase mencapai 64%. Kemudian sektor industri (31%), komersial (1%), rumah tangga (1%) dan lainnya (4%).

Lebih rinci lagi, berdasarkan jurnal bertajuk Energy Policy tersebut, BBM terbanyak akan disedot oleh sektor transportasi darat atau jalan raya dengan persentase mencapai 90%.

"Total konsumsi minyak pada 2030 akan mencapai 122,6 miliar liter dan khusus untuk kendaraan roda empat sebesar 49,5 miliar liter," ucap dia.


(wia)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Mulai 1 Juli 2025, Pertamina Naikkan Harga BBM Non-subsidi