
Benarkah Kendaraan Cepat 'Remuk' Jika Pakai BBM Murah?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah dan juga badan usaha penyedia Bahan Bakar Minyak (BBM) terus mendorong penggunaan bensin dengan nilai oktan (Research Octane Number/ RON) lebih tinggi. Selain lebih ramah lingkungan, penggunaan bensin dengan RON lebih tinggi juga dinilai bisa mendukung kinerja mesin kendaraan.
Namun demikian, seperti diketahui lonjakan harga minyak mentah dunia juga telah berdampak pada kenaikan harga BBM non subsidi, khususnya pada bensin dengan RON di atas 90.
Namun demikian, hingga kini PT Pertamina (Persero) masih mempertahankan harga jual bensin dengan nilai oktan 90 atau Pertalite dan bensin RON 92 alias Pertamax masing-masing pada harga Rp 7.650 per liter dan Rp 9.000 per liter.
Namun, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebut harga batas atas bensin RON 92 pada Maret 2022 telah mencapai Rp 14.526 per liter dan untuk April diperkirakan bisa mencapai Rp 16.000 per liter.
Di sisi lain, harga jual BBM RON 92 di SPBU swasta saat ini bervariasi tergantung para badan usaha, rata-rata di kisaran Rp 12.000 - Rp 13.000 per liter untuk non-Pertamina.
Shell Indonesia misalnya, per 1 Maret 2022, harga bensin Shell Super (RON 92) dibanderol Rp 12.990 per liter, BP-AKR menjual bensin BP 92 (RON 92) pada harga Rp 12.500 per liter.
Lantas, apakah bila harga Pertamax dan BBM non subsidi lainnya dinaikkan, bisa berdampak pada berpindahnya konsumen ke bensin dengan nilai oktan lebih rendah seperti Pertalite?
Kepala Pusat Studi Energi Universitas Gadjah Mada (PSE UGM) Deendarlianto menilai konsumen Pertamax atau bensin RON 92 ke atas tidak akan serta merta berpindah ke bensin dengan oktan rendah. Pasalnya, banyak pemilik kendaraan yang sudah menyadari bahwa spesifikasi BBM beroktan rendah akan mengganggu kinerja mesin.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan PSE, perubahan nilai oktan pada bahan bakar akan mempengaruhi nilai kadar emisi.
Bahan bakar dengan bilangan oktan lebih rendah memiliki kadar CO yang lebih tinggi. Seiring meningkatnya RPM dan kecepatan kendaraan, kadar CO juga akan terus meningkat.
"Kalau bicara RON dalam implementasi ke efisiensi mesin, kami yakin pengguna Pertamax tidak akan serta merta beralih ke Pertalite karena akan berdampak ke mesin. Semakin rendah RON akan semakin tinggi emisinya," ujar Deendarlianto, saat diskusi virtual bersama media belum lama ini.
BBM jenis Peralite (RON90) saat ini paling banyak dikonsumsi. Di tingkat nasional, lebih dari 50% pengguna kendaraan bermotor mengonsumsi Pertalite. Selain itu, Pertamina juga menjual beberapa jenis BBM berkualitas seperti Pertamax (RON92), Pertamax Plus (RON 95), dan Pertamax Turbo (RON 98).
Menurut Guru Besar Teknik Mesin UGM itu, dari sisi teknis jika ada konsumen beralih dari Pertamax ke Pertalite, mereka tentunya akan berpikir ulang karena alasan kinerja mesin tadi. Namun hal itu tidak bisa dihindari karena masih ada kalangan masyarakat yang membutuhkannya.
"Isu kualitas BBM ini kan sempat ramai juga tahun lalu, katanya Premium mau dihilangkan. Saya sebenarnya setuju itu karena memang emisinya jauh lebih besar. Dari pertimbangan net zero emission harusnya Pertamina memang sudah mulai mengurangi premium sehingga kita mulai beralih," kata dia.
Dalam beberapa tahun ke depan, penggunaan BBM fosil secara umum masih akan mengalami kenaikan. Ini sesuai dengan proyeksi yang disusun pada Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) sampai 2030.
Berdasarkan data pada jurnal yang diterbitkan Elsevier, yang ditulis Deendarlianto bersama dua rekannya yakni Indra Candra Setiawan dan Indarto, pada 2030 konsumsi minyak sebagai bahan bakar transportasi masih yang terbesar dengan persentase mencapai 64%. Kemudian sektor industry (31%), komersial (1%), rumah tangga (1%) dan lainnya (4%).
Lebih rinci lagi, berdasarkan jurnal bertajuk Energy Policy tersebut, BBM terbanyak akan disedot oleh sektor transportasi darat atau jalan raya dengan persentase mencapai 90%.
"Total konsumsi minyak pada 2030 akan mencapai 122,6 miliar liter dan khusus untuk kendaraan roda empat sebesar 49,5 miliar liter," ucap dia.
Deendarlianto menambahkan, PSE UGM juga telah membuat model kebutuhan energi khususnya BBM dengan mempertimbangkan bakal masuknya sumber energi lain seperti biodiesel, mobil listrik, etanol, hingga CNG.
"Data ini digunakan juga oleh Kemenperin dalam merancang aturan industri automotif nasional. Beberapa tahun ke depan memang secara linier kendaraan BBM naik, mungkin sampai 2025, lalu flat dan turun karena masuknya kendaraan dengan bahan bakar lain. Tapi tidak mungkin turun sampai 0," kata dia.
Dalam kajian PSE UGM, ujar Deendarlianto, sektor aumotif ke depan akan mengarah teknologi yang didesain menghasilkan produk rendah emisi. Oleh karena itu, para pemangku kepentingan lain harus melihat secara integral semua sektor terkait, mulai dari industrinya, pengembangan infrastruktur jalannya, hingga kebijakannya.
"Rendah emisi berarti BBM harus ramah lingkungan. Maka saya setuju dengan penghapusan premium. Dari dulu saya setuju. Pertimbangannya pertama green energy, makanya kita masuk ke energy transisi, low karbon," kata dia.
Kendati demikian, dia mengakui bahwa untuk menghasilkan energi bersih memerlukan cost tambahan dan tidak semua golongan masyarakat mampu mengaksesnya. Sehingga, di sini lah peran pemerintah untuk hadir dan memberikan subsidi bagi masyarakat tidak mampu.
"Kalau kita bicara Eropa dan Amerika Serikat, mereka tidak pernah ribut masalah BBM karena daya beli cukup kuat. Ini beda dengan kita, makanya negara harus hadir," kata dia.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Erick Thohir: Bukan tak Mungkin Harga Pertamax Bisa Naik Lagi