'Badai Besar' Disebut Sri Mulyani Hantam RI, Separah Apa?

Redaksi, CNBC Indonesia
23 March 2022 15:43
Menteri Keuangan Sri Mulyani di acara CNBC Indonesia Economic Outlook, Selasa (22/3). (CNBC Indonesia/Tri Susilo))
Foto: Menteri Keuangan Sri Mulyani di acara CNBC Indonesia Economic Outlook, Selasa (22/3). (CNBC Indonesia/Tri Susilo))

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemulihan ekonomi dunia ternyata tak sesederhana yang dibayangkan, sekalipun kasus covid-19 mulai melandai. Ditambah adanya perang, perekonomian dunia pun seperti dihantam badai besar.

"Ini perfect storm, semua ketemu. Geopolitik, security, komoditas. Memang ini fenomena luar biasa karena dipicu mulainya pemulihan ekonomi, ditambah perang di Ukraina. Ekonomi masih tertatih-tatih mau pulih," ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawatin dalam acara CNBC Indonesia Economic Outlook 2022, Selasa (22/3/2022)

Ekonomi dunia pulih namun tidak merata. Ekonomi dunia berhasil tumbuh tinggi selama 2021, yaitu 5,7%. Sayangnya itu hanya ditopang oleh dua negara besar, yaitu Amerika Serikat (AS) dan China.

Hal ini disebabkan oleh penanganan covid-19 yang berbeda di masing-masing negara. Khususnya dalam persoalan vaksin. Negara maju bisa mendapatkan vaksin lebih mudah sehingga imunitas warganya lebih baik dibandingkan dengan banyak negara berkembang dan juga miskin.

"2020-2021 akses ke vaksin gak merata jadi negara yang akses ke vaksin lebih cepat recovery. dan ini yang kasih pengaruh berat ke masyarakat bawah," jelasnya.

Negara dengan ekonomi yang pulih mulai memasuki pintu keluar alias normalisasi. Salah satunya Amerika Serikat (AS), ekonominya tumbuh bahkan lebih tinggi dari perkiraan. Inflasinya juga melonjak drastis, sehingga harus direspons dengan kenaikan suku bunga acuan.

Efeknya adalah pasar keuangan. Investor membawa lagi pulang modal mereka yang selama ini bertengger di negara berkembang. Tentunya negara dengan keadaan eksternal yang buruk akan tertekan cukup berat.

Apalagi beberapa negara tersebut juga alami lonjakan inflasi akibat harga komoditas internasional yang melambung serta gangguan pada rantai pasok. Sementara ekonomi hanya mampu tumbuh tipis.

Pada kesempatan yang sama ada persoalan perang di Ukraina dan Rusia yang diikuti dengan aksi pemberian sanksi oleh banyak negara terhadap Rusia.

"Jadi suasana pemulihan ekonomi tidak biasa," kata Sri Mulyani.

Perang Rusia dan Ukraina bukan cuma persoalan dua negara. Secara cepat, hal ini menjadi persoalan serius bagi dunia, baik soal ketidakpastian, perlambatan ekonomi hingga adanya ancaman krisis terulang lagi.

"Perang di Ukraina datang pada saat yang buruk bagi dunia karena inflasi sudah meningkat," kata David Malpass, Presiden Bank Dunia (World Bank) kepada BBC.

Bank Dunia memperkirakan ekonomi dunia pada 2022 sebesar 4,1%, lebih rendah dari 2021 yang mencapai 5,5%. Proyeksi tersebut diumumkan pada Januari 2022, dimana belum dimulainya serangan oleh Rusia ke Ukraina.

Malpas menyebutkan, perang yang meletus pada pekan lalu membuat lonjakan pada harga minyak dunia. Begitu juga dengan gas, batu bara hingga pangan.

Hal ini akan berdampak pada inflasi banyak negara. Beberapa negara yang sudah alami lonjakan inflasi yang tinggi akan semakin tertekan.

"Ini merupakan masalah yang sangat nyata bagi orang-orang di negara miskin," jelasnya.

Perang juga menyebabkan terhambatnya pasokan barang, khususnya pangan kepada banyak negara. Maklum saja Rusia dan Ukraina merupakan pemasok bahan baku gandum sebanyak 28,9% dari total global.

Apalagi ada sanksi yang diberikan banyak negara terhadap Rusia dan menghambat jalur pasokan untuk komoditas apapun.

"Tidak ada cara untuk menyesuaikan diri dengan cukup cepat terhadap hilangnya pasokan dari Ukraina dan Rusia, sehingga menambah harga" kata Malpass.

Dampak perang yang terjadi di Ukraina memberikan keuntungan bagi pemerintah dan sekelompok dunia usaha di Indonesia. Tapi bagi rakyat Indonesia bakal buntung. Kok bisa?

Perang yang sudah berlangsung mendorong lonjakan pada harga minyak dan gas serta komoditas lainnya seperti batu bara, minyak kelapa sawit hingga nikel.

Hal ini akan berdampak positif terhadap ekspor khususnya yang berasal dari komoditas tersebut. Kalangan dunia usaha di sektor itu tentu juga akan mendulang untung yang juga melimpah.

"Kenaikan harga komoditas ini memberikan dampak positif net ekspor indonesia," jelas Ekonom Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja dalam program PROFIT CNBC Indonesia TV.

Keuntungan lainnya adalah pada sisi penerimaan negara. Khususnya pada pos pajak, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dan juga bea keluar. Bahkan dari kenaikan harga minyak dunia saja, APBN sudah mencatatkan net positif alias untung.

"APBN kondisinya masih akan cukup bagus," ujarnya.

Hanya saja ada beberapa komoditas pangan yang harganya naik dan dikhawatirkan mendorong kenaikan inflasi di dalam negeri, sehingga daya beli masyarakat juga akan tergerus.

"Jadi dampak positif kenaikan harga komoditas akan terganggu oleh turunnya daya beli masyarakat karena kenaikan inflasi," ungkap Enrico.

Dalam hitungan Enrico, inflasi bisa mencapai 4% apabila pemerintah tidak mengantisipasi, baik terhadap pasokan barang maupun bantuan untuk masyarakat yang terdampak. Sementara dalam dua tahun terakhir inflasi tak lebih dari 2%.

Hitungan tersebut sudah dengan asumsi adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan cukai rokok yang memberikan andil 0,3-0,5%.

"Selain itu dampak hari raya dan lebaran ini yang akan signifikan," imbuhnya.

Dengan demikian, Enrico menilai pertumbuhan ekonomi bisa lebih lebih rendah dari perkiraan, yaitu menjadi 4,8 - 5%. Kecuali pemerintah dan Bank Indonesia (BI) bisa meredam inflasi serta penurunan daya beli masyarakat.

"Apabila bisa melakuka terus reformasi struktural dan menjaga inflasi dan daya beli masyarakat, maka kita bisa tumbuh di atas 5%," pungkasnya.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bak Roller Coaster, Sri Mulyani: Ekonomi Bakal Diguncang Lagi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular