Perang Dunia III Meletus? Awas RI Terancam Krisis Energi!

Wilda Asmarini, CNBC Indonesia
08 March 2022 15:10
kilang minyak
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga sejumlah komoditas energi seperti minyak, gas, dan batu bara yang tak henti mencetak rekor baru diperkirakan bisa menjadi ancaman krisis energi dunia skala besar, termasuk Indonesia.

Harga minyak mentah dunia misalnya, pada Selasa (08/03/2022) pukul 06:41 WIB, harga minyak jenis Brent berada di US$ 123,21 per barel, melonjak 4,32% sekaligus jadi yang termahal sejak Maret 2012 atau 10 tahun lalu.

Sementara yang jenis light sweet harganya US$ 120,14 per barel, naik 0,62% dan menjadi rekor tertinggi sejak Juli 2008.

Harga minyak mentah dunia ini sudah mencapai dua kali lipat dibandingkan asumsi harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ ICP) pada APBN 2022 yang telah ditetapkan sebesar US$ 63 per barel.

JPMorgan bahkan sempat menyebut, bila Perang Rusia-Ukraina terus terjadi, maka harga minyak diperkirakan bisa menembus US$ 185 per barel pada akhir tahun ini.

Begitu juga dengan harga batu bara. Harga si batu hitam kian nyaman di level US$ 400 per ton. Kemarin, Senin (07/03/2022), harga batu bara di pasar ICE Newcastle (Australia) ditutup di US$ 435 per ton, naik 6,87% dari hari sebelumnya dan menyentuh rekor tertinggi setidaknya sejak 2008.

Ini membuat harga batu bara naik selama dua hari beruntun. Dalam dua hari tersebut, harga melonjak 21,35%.

Hal serupa juga terjadi pada harga gas dunia. Pada Senin (07/03/2022) pukul 14:50 WIB, harga gas Eropa acuan Belanda tercatat Euro 241,01 per Mega Watt hour (MWh), naik 25,16% dibandingkan posisi hari perdagangan sebelumnya.

Ini merupakan pertama kalinya sepanjang sejarah harga gas Eropa acuan Belanda berada di atas Euro 200/Mwh. Sekaligus mencatat kenaikan 1.392,2% dibandingkan harga tahun lalu (year-on-year/yoy).

Lonjakan harga gas juga tak terlepas dari kian bertambahnya sanksi internasional untuk Rusia, sehingga semakin memicu kekhawatiran pasokan gas dari Rusia akan terhambat. Seperti diketahui, Eropa bergantung pada pasokan gas dari Rusia.

Bila kondisi ini terus berlanjut, maka diperkirakan ini akan berimbas pada terjadinya krisis energi dunia, termasuk Indonesia.

Widhyawan Prawiraatmadja, Pengamat Perminyakan dan juga Mantan Gubernur Indonesia untuk negara-negara pengekspor minyak (OPEC) 2015-2016, mengatakan kondisi ketidakpastian seperti saat ini berpotensi untuk memicu terjadinya energy shock. Hal ini ditandai dengan harga komoditas yang tinggi, paling tidak untuk waktu tertentu.

"Kalau berkepanjangan bisa saja menjadi krisis, terutama jika ada demand yang tidak bisa dipenuhi karena supply berkurang, apalagi kalau menjadi langka, misal karena terganggunya supply chain," jelasnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (08/03/2022).

Hal senada diungkapkan Praktisi Migas Tumbur Parlindungan. Dia menilai, krisis energi mungkin terjadi karena transisi energi tidak berjalan sesuai dengan rencana. Begitu juga dengan investasi untuk bahan bakar fosil, seperti minyak dan gas, baik eksplorasi dan pengembangan, yang sudah jauh berkurang.

Akibatnya, pasokan bahan bakar fosil bisa terganggu, sementara pasokan energi baru terbarukan juga belum sanggup menutupi kebutuhan energi.

"Hal ini yang menyebabkan krisis energi. Kemungkinan untuk terjadi (krisis energi) cukup besar karena pandemi sudah dikatakan hampir selesai dan kebutuhan energi akan meningkat pesat tanpa didukung supply yang baik," tuturnya.

Mau tidak mau, lanjutnya, Indonesia harus segera berbenah dan menerapkan efisiensi energi. Bila tidak, krisis energi bisa berlanjut ke krisis ekonomi.

"Pengimplementasian energy efficiency harus segera dilaksanakan untuk men-support pertumbuhan ekonomi. Kalau tidak, krisis energi bisa berlanjut ke krisis ekonomi," tandasnya.

Sebelumnya, Wakil Ketua IHS Markit Daniel Yergin mengatakan Perang Rusia-Ukraina diperkirakan dapat memicu gangguan pasar energi dunia pada skala besar, seperti yang terjadi pada krisis minyak pada era 1970-an.

Seperti diketahui, Rusia merupakan salah satu negara pengekspor minyak terbesar di dunia. Sanksi yang diberikan Amerika Serikat dan sekutunya terhadap sistem keuangan Rusia telah memicu reaksi terhadap minyak mentah Rusia dari bank, pembeli, dan pengirim.

Yergin, juga seorang penulis dan sejarawan pasar energi, mengatakan meskipun energi Rusia tidak dikenakan sanksi oleh AS dan negara-negara lain, namun mungkin ada kerugian besar dari penjualan minyak Rusia. Dia menyebut, Rusia mengekspor sekitar 7,5 juta barel per hari minyak dan produk olahan.

"Ini akan menjadi gangguan yang sangat besar dalam hal logistik, dan orang-orang akan berebut minyak," kata Yergin, seperti dikutip dari CNBC International, Jumat (04/03/2022).

"Ini adalah krisis pasokan. Ini adalah krisis logistik. Ini adalah krisis pembayaran, dan ini bisa terjadi seperti krisis pada skala tahun 1970-an," tuturnya.

Dia mengatakan, komunikasi yang kuat antara pemerintah yang memberlakukan sanksi dan industri dapat mencegah skenario terburuk.

"Ini bisa menjadi krisis terburuk sejak embargo minyak Arab dan revolusi Iran pada 1970-an," kata Yergin. Kedua peristiwa tersebut merupakan kejutan bagi industri minyak pada dekade itu.

Pada tahun 1973, produsen minyak Timur Tengah memutus pasokan dari AS dan negara-negara Barat lainnya sebagai pembalasan karena membantu Israel selama perang Arab-Israel pada tahun itu. Dunia pun mengalami kekurangan pasokan minyak, dan orang Amerika mengantre di pompa bensin untuk membeli bensin yang harganya meroket. Kejutan lainnya adalah akibat dari revolusi Iran 1978-1979, yang berujung pada penggulingan Syah Iran.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Berisiko Tinggi Alami Tumpahan Minyak dari Kegiatan Migas

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular