Duh Gawat! Gegara Perang, Dunia Terancam Krisis Ekonomi Lagi

MAIKEL JEFRIANDO, CNBC Indonesia
04 March 2022 12:15
Update Terkini: Ini Wilayah Ukraina yang telah Dikuasai Rusia

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang Rusia dan Ukraina bukan cuma persoalan dua negara. Secara cepat, hal ini menjadi persoalan serius bagi dunia, baik soal ketidakpastian, perlambatan ekonomi hingga adanya ancaman krisis terulang lagi.

"Perang di Ukraina datang pada saat yang buruk bagi dunia karena inflasi sudah meningkat," kata David Malpass, Presiden Bank Dunia (World Bank) kepada BBC, Jumat (4/3/2022).

Bank Dunia memperkirakan ekonomi dunia pada 2022 sebesar 4,1%, lebih rendah dari 2021 yang mencapai 5,5%. Proyeksi tersebut diumumkan pada Januari 2022, dimana belum dimulainya serangan oleh Rusia ke Ukraina.

Malpass menyebutkan, perang yang meletus pada pekan lalu membuat lonjakan pada harga minyak dunia. Kini sudah berhasil menembus level di US$ 110 /barel.

Begitu juga dengan harga gas Eropa acuan Belanda tercatat Euro 148,5/megawatt hour di mana sepanjang tahun 2022 telah meroket 114,49%. Lonjakan lain juga terjadi pada harga batu bara di mana kenaikannya mencapai US$ 446/ton.

Hal ini akan berdampak pada inflasi banyak negara. Beberapa negara yang sudah alami lonjakan inflasi yang tinggi akan semakin tertekan.

"Ini merupakan masalah yang sangat nyata bagi orang-orang di negara miskin," jelasnya.

Perang juga menyebabkan terhambatnya pasokan barang, khususnya pangan kepada banyak negara. Maklum saja Rusia dan Ukraina merupakan pemasok bahan baku gandum sebanyak 28,9% dari total global.

Apalagi ada sanksi yang diberikan banyak negara terhadap Rusia dan menghambat jalur pasokan untuk komoditas apapun.

"Tidak ada cara untuk menyesuaikan diri dengan cukup cepat terhadap hilangnya pasokan dari Ukraina dan Rusia, sehingga menambah harga" kata Malpass

Economist & Fixed-income Research Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro bahkan memperkirakan krisis ekonomi dunia akan kembali terulang akibat perang tersebut. Padahal ini baru dialami dua tahun yang lalu.

"Hanya dua tahun setelah dimulainya pandemi Covid-19, dunia akan kembali memasuki krisis ekonomi dengan titik awal yang lebih buruk dari sebelumnya," jelasnya kepada CNBC Indonesia.

Indikatornya hampir sama dengan yang disampaikan oleh Bank Dunia. Hanya saja, dirinya melihat tidak ada seorang pun bisa memperkirakan apa yang akan dilakukan oleh Presiden Rusia Vladimir Putin. Menurutnya, bukan tidak mungkin Putin bisa berbuat lebih buruk sekarang. Apalagi selepas AS dan sekutunya mengenakan banyak sanksi kepada Rusia.

"Kita tidak tahu apa yang akan dilakukan Putin. Dan faktor yang tidak dapat diketahui itu sendiri adalah alasan untuk bersikap defensif, dalam pandangan kami. Jika kita hanya fokus pada kemungkinan opsi ekonomi makro yang dapat dibalas oleh Putin (tidak termasuk opsi nuklir), dampaknya terhadap pasar keuangan masih bisa luar biasa," ungkap Putera.

"Putin benar-benar dapat memotong ekspor gas ke Eropa. Embargo selama tiga bulan dapat menyebabkan hilangnya pendapatan sebesar US$ 20 miliar bagi perusahaan energi negara Gazprom. Namun, itu tidak substansial dibandingkan dengan US$ 90 miliar dari laba operasional kotor tahunannya - bahkan lebih kecil jika dibandingkan dengan cadangan FX Bank Rusia sebesar US$ 630 miliar," jelasnya.

Bila hal tersebut terjadi, lonjakan harga minyak dunia dan komoditas lainnya tidak bisa dibendung. Negara berkembang dan miskin yang kini sudah alami lonjakan inflasi akan semakin terpukul. Antara lain di belahan Amerika Selatan, Afrika dan juga Asia.

Apalagi di sisi lain, suku bunga acuan yang diberlakukan negara tersebut sudah amat rendah. Kenaikan suku bunga dalam teorinya menjadi solusi ampuh untuk menahan laju inflasi. Akan tetapi ketika kebijakan tersebut diambil sebelum ekonomi pulih, maka dampak yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu krisis.

Persoalan lain yang mengkhawatirkan adalah utang. Beberapa negara yang sama juga telah alami lonjakan utang dalam dua tahun terakhir untuk menghadapi pandemi. Menambah utang untuk menyelamatkan perekonomian adalah opsi sulit. Mereka kini bahkan sudah terjebak dalam pembayaran cicilan utang jatuh tempo.

"Pilihan kebijakan akan lebih terbatas karena suku bunga sudah berada di basis yang lebih rendah, sementara utang fiskal lebih tinggi," imbuhnya.

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular