Energy Outlook 2022

Menyongsong Energi Masa Depan

Arif Gunawan & Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
24 February 2022 08:05
Cover Artikel, Energy Outlook 2022
Foto: Ilustrasi Energy Outlook 2022 (CNBC Indonesia/ Edward Ricardo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Seiring dengan pelonggaran mobilitas masyarakat, konsumsi energi diperkirakan naik tahun ini. Di tengah tren kenaikan harga minyak dan batu bara, tantangan besar menanti dari sisi fiskal yang membuka peluang bagi Energi Baru dan Terbarukan (EBT).

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Google, melalui Google Mobility Index, aktivitas masyarakat Indonesia kian menunjukkan tren positif yang menandakan bahwa aktivitas belanja dan konsumsi juga meningkat.


Walaupun mobilitas di tempat kerja masih di teritori negatif, ada tren perbaikan yang terlihat. Sementara itu, mobilitas di pusat perbelanjaan dan hiburan sudah masuk di area positif. Hanya mobilitas di pusat transportasi yang tertekan setelah kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) level 3 diberlakukan di beberapa daerah.

Namun, secara garis besar indeks tersebut menunjukkan bagaimana pelonggaran kebijakan PPKM dapat memacu mobilitas masyarakat. Dampaknya adalah peningkatan permintaan minyak mentah terutama bahan bakar minyak (BBM).

Selain itu, konsumsi minyak untuk industri pun diperkirakan naik seiring dengan investasi pabrik plastik pada semester-II 2022. Pabrik plastik menggunakan petrokimia sebagai bahan baku, sehingga permintaan minyak bisa meningkat seiring dengan ekspansi yang dilakukan.

Berdasarkan Statistik Migas 2019, hasil pengolahan minyak mentah Indonesia sebesar 72% digunakan untuk bahan bakar. Sementara sisanya untuk gas elpiji (liquefied petroleum gas/LPG), petrokimia, dan lain-lain.

Dari sisi produksi, Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) mengatakan produksi terangkut (lifting) minyak pada 2022 ditargetkan naik 6,5% menjadi 703.00 barel per hari (bph) dari realisasi lifting minyak 2021 sebesar 660.000 bph.

Deputi Operasi SKK Migas Julius Wiratno mengakui bahwa masih ada selisih (gap) yang cukup besar yang harus diperjuangkan untuk mencapai target lifting minyak pada 2022. Peningkatan kegiatan pengeboran tahun ini diharapkan mendorong pencapaian target lifting minyak.

"Lifting minyak ditargetkan di APBN 2022 sebesar 703.000 bph sehingga di sini kelihatan gap masih cukup besar yang harus diperjuangkan," tuturnya Senin (17/01/2022). Adapun lifting gas ditargetkan naik menjadi 5.800 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) dari realisasi 2021 sebesar 5.501 MMSCFD.

Ada beberapa aktivitas survei seismik dua dimensi (2D) yang bergeser menjadi survei seismik 3D. Jumlah pengeboran sumur eksplorasi pun naik dari 28 sumur (2021) menjadi 42 sumur tahun ini, sementara pengeboran sumur pengembangan naik menjadi 790 sumur dari 480 sumur (2021).

 

Namun, kenaikan produksi minyak tersebut belum bisa menutup kebutuhan dalam negeri yang diperkirakan mencapai 1,4 juta bph tahun ini. Dengan demikian, sekitar 700.000 bph minyak masih akan diimpor.

Jika harga naik menjadi US$ 100/barel, maka beban impor bakal melonjak dan membebani defisit transaksi berjalan, serta nilai tukar rupiah. Solusi selain menggenjot produksi bisa dilakukan dengan: mendiversifikasi energi, sesuai arah roda zaman menuju energi hijau.

Hal ini bukan berarti Energi Baru Terbaruan (EBT) harus digenjot sementara energi fosil dihapuskan dari daftar menu bauran energi, karena kebijakan demikian akan berujung pada ketimpangan fiskal mengingat energi fosil saat ini menjadi sumber energi yang murah dengan infrastruktur yang sudah mapan dalam kanal distribusi setingkat negara.

Pemerintah Indonesia sendiri dalam rencana pemenuhan energi primer dalam jangka panjang menargetkan pengembangan kedua energi secara bersamaan, baik energi fosil maupun energi non fosil. Semua jenis energi diproyeksikan masih tumbuh, dengan porsi EBT yang kian besar.

q


Dari sisi penggunaan EBT dalam produksi listrik, PT PLN (Persero) menargetkan pembangkit listrik berbasis EBT tahun ini akan mendapatkan tambahan kapasitas sebesar 648 Megawatt (MW). Hal ini dilakukan untuk mencapai target net zero emission (emisi impas) pada 2060.

Dalam jangka menengah, PLN menargetkan tambahan pembangkit listrik berbasis EBT sebesar 10,6 gigawatt (GW) pada 2025. Selanjutnya pada 2030, kapasitas terpasang pembangkit listrik EBT ditargetkan mencapai 20,9 GW.

Untuk memastikan bahwa penggunaan EBT tidak mengganggu ketahanan energi, PLN secara bertahap mulai 2026 akan menambah pembangkit listrik EBT yang berfungsi sebagai pemikul beban dasar (baseload) sebesar 100 MW. Selanjutnya di 2027 akan ditambah menjadi 265 MW, bertambah lagi sebesar 215 MW (2028), 280 MW (2029) dan 150 MW (2030).

Baseload sangatlah penting dalam jaringan listrik nasional karena menyediakan listrik secara tidak terputus ke grid. Beberapa EBT yang bisa menjadi baseload adalah Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) dan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) yang mampu menghasilkan listrik secara terus-menerus.

Potensi EBT di Indonesia sangatlah besar, mencapai 3.685 GW. Namun, saat ini pemanfaatannya baru mencapai 11 GW atau hanya 3% dari total potensi yang ada sehingga menjadi energi masa depan bagi Indonesia, melengkapi energi fosil yang ke depan bakal habis.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Luhut Turun Tangan Atasi Capaian EBT yang Mini, Simak Caranya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular