Internasional

Was-was Rusia, Ukraina Ancam Lepas Status Negara Non-nuklir

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
21 February 2022 15:50
Ukrainians attend a rally in central Kyiv, Ukraine, Saturday, Feb. 12, 2022, during a protest against the potential escalation of the tension between Russia and Ukraine. Russian President Vladimir Putin and U.S. President Joe Biden are to hold a high-stakes telephone call on Saturday as tensions over a possibility imminent invasion of Ukraine escalated sharply and the U.S. announced plans to evacuate its embassy in the Ukrainian capital. (AP Photo/Efrem Lukatsky)
Foto: Sejumlah warga melakukan aksi protes terhadap potensi eskalasi ketegangan antara Rusia dan Ukraina di pusat Kyiv, Ukraina, Sabtu (12/2/2022). (AP Photo/Efrem Lukatsky)

Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis antara Rusia dan Ukraina masih memanas. Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky bahkan memperingatkan negaranya bisa melepas janji puluhan tahun untuk menjadi negara non-nuklir, jika terus diancam Rusia.

Sebelumnya, Ukraina bergabung dengan Memorandum Budapest 1994 dan menyerahkan senjata nuklirnya dengan imbalan jaminan keamanan. Dia mengatakan bahwa Ukraina mencoba untuk memulai konsultasi dengan negara-negara penjamin dari Memorandum Budapest itu tiga kali tetapi semuanya tanpa hasil.

"Kami tidak memiliki senjata atau keamanan. Kami telah kehilangan bagian dari wilayah kami, yang lebih luas dari Swiss, Belanda, Belgia. Dan, yang paling penting, kami telah kehilangan jutaan warga negara kami," kata Zelensky dikutip dari Russian Today.

"Kami akan melakukannya untuk (negosiasi ke negara penjamin Memorandum Budapest) keempat kalinya," ujarnya lagi. "Jika ... tidak ada keputusan konkret mengenai jaminan keamanan untuk negara kami, Ukraina berhak untuk percaya bahwa Memorandum Budapest tidak berfungsi dan semua keputusan paket tahun 1994 telah dipertanyakan."

Pemimpin Ukraina itu menggarisbawahi bahwa "kecaman kolektif" oleh sekutu Barat sejauh ini belum berubah menjadi "tindakan kolektif." Zelensky juga mengatakan bahwa dia tidak setuju dengan "pemimpin satu negara besar" tentang masalah sanksi potensial terhadap Rusia.

"Kami tidak membutuhkan sanksi ketika kami sudah ditembaki, ketika perbatasan hilang, ketika negara kami sudah diduduki. Apa manfaat sanksi ini bagi kita setelahnya?" katanya lagi.

Selama beberapa bulan terakhir, negara-negara Barat telah menuding Rusia atas dugaan rencana untuk menyerang Ukraina. Namun hal ini terus disangkal oleh Moskow.

Saat ini kondisi Ukraina makin panas dengan baku tembak antara pemerintah dengan pemberontak pro Rusia. Terbaru, Presiden AS Joe Biden disebut bersedia berbicara dengan Presiden Rusia Vladimir Putin dengan perantara Prancis.


(tfa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Hubungan Rusia-Ukraina Memanas, Putin Diawasi Ketat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular