Cerita Bank Muamalat yang Lahir Demi Umat Saat Era Orde Baru
Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) memenuhi seluruh persyaratan sebagai Pemegang Saham Pengendali (PSP) PT Bank Muamalat Indonesia Tbk.
Pada hari Senin (14/2/2022), Kepala Badan Pelaksana BPKH Anggito Abimanyu mengatakan, ketetapan OJK ini menunjukkan BPKH selaku PSP Bank Mumalat dinilai mampu dan layak untuk mengembangkan dan melakukan transformasi mencapai kinerja yang kian positif.
BPKH resmi menjadi PSP Bank Muamalat setelah menerima hibah saham dari Islamic Development Bank (IsDB) dan SEDCO Group pada tanggal 15 dan 16 November 2021 lalu sebanyak 7,9 miliar saham atau setara dengan 77,42%.
Tanpa terasa usia Bank Muamalat sudah hampir tiga dekade. Bank Muamalat pertama kali beroperasi pada Mei 1992. Sedari awal sejarahnya, bank ini lahir dari kegelisahan umat Islam Indonesia atas bunga bank yang hukumnya haram.
Jangankan perkara bunga, berurusan dengan bank saja juga haram. Sementara itu, sebagian umat Islam membutuhkan kehadiran lembaga keuangan yang bebas bunga. Para pemuka agama Islam di Indonesia tentu saja menjadi orang yang kerap ditanyai soal perkara bank.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode 1984-1990 KH Hasan Basri pun bertindak. Seperti dicatat dalam Mimbar Ulama: Perjalanan 42 Tahun MUI (2017:17), dia menjawab kebutuhan umat itu dengan menggelar seminar bank tanpa bunga pada 18 hingga 20 Agustus 1990 di Hotel Safari Cisarua, Bogor. Seminar itu dihadiri para ulama, pejabat Bank Indonesia, pakar ekonomi, dan menteri yang terkait dengan keuangan.
Hasil seminar lalu dibawa ke Musyawarah Nasional (Munas) MUI pada akhir Agustus 1990. MUI kemudian menggagas bank tanpa bunga. Ide itu lalu sampai pula ke Baharuddin Jusuf Habibie, yang saat itu menjabat sebagai Menteri Riset dan Teknologi. Setelah Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) mendeklarasikan diri pada 7 Desember 1990, Habibie menyatakan dukungan bank tanpa bunga tersebut.
"Ketika hal ini saya sampaikan kepada Presiden Soeharto, beliau tidak saja sangat menyambut baik, bahkan menyatakan kesediaannya untuk duduk sebagai pemprakarsa utama pendirian bank Islam pertama di Indonesia ini," tulis Habibie dalam sambutannya di buku Bank Muamalat: Sebuah Mimpi, Harapan, dan Kenyataan (2006:11).
Dalam perkembangannya, bank tanpa bunga itu pernah hendak dinamai sebagai Bank Muamalat Islam Indonesia. Terkait dengan nama itu, Hasan Basri pernah melakukan pembicaraan dengan Presiden Soeharto terkait nama itu dan perubahan pun terjadi.
"Pendapat saya adalah: Anda tidak perlu mencantumkan kata 'Islam' setelah kata Muamalat. Kata Muamalat sendiri sudah menunjukkan Islam," kata Soeharto seperti dicatat Triyuwono dalam Organisasi dan Akuntansi Syari'ah (2000:116). Kata-kata Soeharto pun dituruti oleh Hasan Basri dan para pelopor lain dari bank tanpa bunga itu.
Akhirnya pada 1 November 1991, di Hotel Sahid Jakarta, Akta Pendirian Bank Muamalat Indonesia (BMI) dengan Akte Notaris Yudo Paripurno SH nomor 1 tanggal 1 November 1991 ditandatangani. Dan nama bank itu adalah: Bank Muamalat Indonesia (BMI).
Waktu itu, Zainulbahar Noor menjadi direktur utama dan di bawahnya ada direktur Maman W Natapermadi. Dalam jajaran komisaris duduk Rachmat Saleh, Amir Batubara, Amin Azis, dan Omar Abdalla dan Sukamdani Sahid. Akhirnya pada 1 Mei 1992, BMI secara resmi mulai beroperasi di Indonesia.
"Ketika Indonesia mengalami krisis moneter enam tahun kemudian, Bank Muamalat bertahan lebih baik dibandingkan bank-bank umum, karena bank ini tidak terikat dengan komitmen finansial yang akan membangkrutkan hampir seluruh sektor bisnis modern Indonesia," tulis Merle Calvin Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 (2008:671).
Bank ini kemudian melewati krisis 1998 dengan baik. Belakangan, bank-bank nasional di Indonesia pun tampak ingin terlihat seperti Bank Muamalat dengan mendirikan semacam bank syariah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pmt/pmt)