Raja Bank di RI: Ada Tangan Dingin Liem Sioe Liong di BCA
Jakarta, CNBC Indonesia - Sepanjang tahun 2021, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) termasuk bank yang moncer kinerjanya. Laba bersih BBCA mencapai Rp 31,42 triliun atau tumbuh 15,8% secara tahunan atawa year on year (yoy) dibandingkan tahun sebelumnya. Kinerja ciamik ini melalui proses yang panjang sebagai bank swasta terbesar di Indonesia.
Bank swasta kelas kakap di Indonesia ini memang punya sejarah panjang. Eddy Sutriyono, dalam Kisah Sukses Liem Sioe Liong (1989) menyebut bank ini didirikan pada 1956, sebagai Bank Asia yang berdiri pada 12 Oktober 1956. Kala Liem Sioe Liong mendapat banyak untung dari pabrik tekstilnya.
Sebelum mendirikan bank ini, Liem Sioe Liong mendirikan pada Bank Windu Kencana pada 1954. Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016:214) menyebut Bank Asia lalu diubah namanya menjadi Bank Central Asia.
Perubahan nama itu terjadi pada 21 Februari 1957. Borsuk dan Chng menyebut Hasan Din, mertua dari Presiden Sukarno, pernah menjabat sebagai direktur bank ini di awal sejarahnya.
Liem selalu memakai orang-orang yang ahli untuk menjalankan segala bisnisnya.
Liem Sioe Liong pun mendekati Mochtar Riady, yang sudah punya banyak pengalaman mengurus bank sebelum 1970-an. Dalam sebuah pertemuan, mereka bicara serius soal bank.
"Anda mau membesarkan bank saya?" tanya Liem. Ketika Mochtar berminat dan diberi pilihan Bank Windu Kencana atau BCA, Mochtar memilih BCA digarapnya. Setelah di tangan Mochtar, bank yang pada 1975 BCA punya aset US$1 juta dengan 27 karyawan.
BCA melakukan merger dengan dua bank lain pada 1977. Salah satunya Gemari, bank yang dimiliki Yayasan Kesejahteraan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Kantor Bank Gemari pun dijadikan kantor cabang BCA. Merger itu membuat BCA bisa menjadi bank devisa.
BCA lalu melampaui Panin Bank, yang terkait dengan keluarga istri Mochtar Riady. Mochtar bergabung pada 1975 hingga 1991, Mochtar keluar baik-baik dari BCA dan kemudian membangun Lippo Bank. Mochtar cabut ketika BCA sudah menjadi sangat besar.
Selain Mochtar Riady, BCA juga pernah mempekerjakan ahli bank dari Betawi, Abdullah Ali. Karier Ali di Bank Indonesia, karena hampir pensiun. Ali nyaris menjadi direktur di BI, namun tanpa gelar sarjana itu sulit baginya. Ali lalu pindah dari bank sentral milik RI dia pindah ke Bank Central Asia.
"Di antara pemegang saham adalah putra-putri Presiden Soeharto. Ketika itu, masing-masing memiliki 15 persen, seorang jenderal pensiunan 10 persen dan sisanya 60 persen dimiliki Pak Liem tiga bersaudara," aku Mochtar Riady dalam autobigrafinya Manusia Ide (2015).
Porsi kepemilikan saham kerap berubah. Keluarga Hartono, Michael Bambang dan Robert Budi, pemilik Djarum (yang identik dengan rokok dan bulutangkis), kemudian masuk ke BCA setelah Soeharto jatuh pada 1998. "Di bawah pemilik baru, BCA berkembang pesat, menghasilkan prestasi menakjubkan," tulis Borsuk dan Chng (2016:432).
Kepemilikan saham yang besar di BCA membuat keluarga Hartono makin kaya. Duo Hartono itu lewat PT Dwimuria Investama Andalan memegang 54,94% saham BBCA atau setara dengan 67,73 miliar saham perusahaan setelah stock split (1:5). Robert dan Michael mengantongi dividen dari BBCA senilai triliunan rupiah.
BCA sendiri adalah saksi sejarah dalam bisnis Liem Sioe Lioang. Di zaman orde baru, perusahaan-perusahaan yang dipegangnya berkembang menjadi besar dan dikenal orang. Selain BCA, Liem identik dengan Indo Mobil, Indomie, Supermi, Bogasari dan lainnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pmt/pmt)