Dear Omicron, Jangan Galak-galak! Hotel Butuh Nafas Nih
Jakarta, CNBC Indonesia - Geliat bisnis perhotelan diakui mulai membaik meski masih tertahan. Pemulihan juga masih berada di radius jauh di tengah ketidakpastian akibat pandemi Covid-19.
"Kuartal pertama ini seharusnya lebih baik. Memang ada ketidakpastian tinggi. Tapi, ini sudah Februari, kalau tidak ada PPKM, nggak ada apa-apa, mestinya lebih baik. Membaik tapi belum pulih," kata Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani kepada CNBC Indonesia, Rabu (2/2/2022).
Untuk peluang semester-I tahun 2022, Hariyadi mengaku belum bisa memprediksi. Pasalnya, kata dia, lonjakan kasus penyebaran Omicron memicu kekhawatiran.
"Ini kan dinamis ya. Saat ini, yang bagus itu tertentu saja. Liburan Desember kemarin daerah-daerah wisata memang ramai, tapi ada yang belum bisa berlibur. Yogyakarta, Bandung, Malang, Bali, okupansi liburan kemarin bagus. Tapi, Bali juga baru Selatan, di Utara dan Tengah belum," kata dia.
Pengusaha perhotelan diakui tengah harap-harap cemas dengan perkembangan Omicron di Indonesia.
"Meski belum ada pengumuman, kita khawatirnya ada PPKM lagi. Kalau kena PPKM level 4 kan terpukul lagi," ujarnya.
Saat ini, anggota PHRI mencakup sekitar 5 ribu hotel, berbintang dan non bintang. Didomominasi hotel bintang 1,2 dam 3.
Liburan dekat rumah atau staycation yang tren di saat pandemi, kata dia, tidak terlalu menolong okupansi hotel. Meski, untuk waktu-waktu tertentu bisa menambah daftar tamu hotel yang tidak ingin direpotkan urusan pembatasan perjalanan karena pandemi.
"Dengan dibukanya kembali Bali bagi turis asing, akan membantu tapi perlu waktu. Karena tergantung pesawatnya ada atau nggak, dan tergantung juga aturan keimigrasian mereka," kata Hariyadi.
AS Larang Warganya ke Indonesia
Terkait travel advisory level 4, atau dilarang melakukan perjalanan, yang diterbitkan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (AS) untuk Indonesia, dinilai tidak berdampak signifikan bagi pariwisata dan bisnis perhotelan di Tanah Air.
"Market turis AS itu kecil, memang ada sepanjang tahun. Di Bali misalnya, turis Australia mendominasi. Juga Asia seperti Jepang, Korea Selatan. Dan sekarang memang kan di mana-mana dilarang karena pandemi. Itu tidak akan memberi sentimen negatif," kata Hariyadi.
Apalagi, lanjut dia, turis AS biasanya juga tidak terlalu suka bepergian jauh, lebih mengutamakan lokasi di sekitar benua Amerika.
"Yang suka travel jauh itu Eropa, mereka senang ke Asia. Soal spending memang turis AS besar karena kan dia memang negara maju, duitnya banyak, lebih royal. Mereka kaget dengan mata uangnya pas belanja di sini. Soal lama tinggal, biasanya turis itu semakin jauh semakin lama tinggalnya," kata Hariyadi.
Mengutip katalog BPS tentang Statistik Pengeluaran Wisatawan Mancanegara tahun 2020, rata-rata lama tinggal wisatawan AS di Indonesia pada tahun 2020 adalah 15,89 hari, dengan perbedaan karakter turis laki-laki dan perempuan. Sementara, rata-rata pengeluaran per kunjungan di tahun 2020 oleh wisatawan dari AS adalah US$2.941,95.
BPS mencatat, kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) tahun 2021 anjlok 61,57% dibandingkan 2020.
Kepala BPS Margo Yuwono mengatakan dampak pandemi menurunkan tingkat kunjungan wisman dan sangat berpengaruh terhadap ekonomi.
Kedatangan wisman pada 2021 hanya 1,55 juta orang, sementara 2020 mencapai 4,05 juta orang. Jika dibandingkan masa sebelum pandemi, pada 2019 kunjungan total kunjungan mencapai 16,10 juta dan 15,81 juta orang di 2018.
Secara bulanan, Desember 2021 kemarin kunjungan wisatawan mancanegara naik 8,6% atau mencapai 163,6 ribu kunjungan, dari bulan sebelumnya 150,6 ribu kunjungan. Meski turun 0,28% dari Desember 2020 sebesar 164,1 ribu kunjungan.
(dce/dce)