Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia dikaruniai beragam 'harta karun' yang bisa dikatakan melimpah, mulai dari gas, batu bara, bahkan hingga energi baru terbarukan (EBT), termasuk melimpahnya pasokan listrik. Tapi sayangnya, masih belum dimanfaatkan secara optimal untuk kepentingan dalam negeri. Ironisnya, Indonesia malah memilih sumber energi yang diperoleh dari impor, salah satunya Liquefied Petroleum Gas (LPG).
Impor LPG RI bisa dikatakan semakin parah, terutama dalam enam tahun terakhir ini.
Berdasarkan data Content Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2020, impor LPG pada 2015 mencapai 4,24 juta ton atau sekitar 66% dari total kebutuhan LPG nasional sebesar 6,38 juta ton.
Jumlah impor ini terus meningkat hingga pada akhir 2020 tercatat mencapai 6,4 juta ton atau sekitar 80% dari total kebutuhan 8,02 juta ton.
Impor LPG RI memang terlihat terus meningkat seiring dengan berhasilnya program konversi minyak tanah ke LPG tabung 3 kilo gram (kg) sejak 2007 lalu. Namun sayang tak diiringi dengan peningkatan produksi dari kilang di dalam negeri.
Terus membengkaknya impor LPG tak ayal membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) geram, dan memerintahkan agar segera mencari alternatif bahan bakar pengganti, termasuk salah satunya dari batu bara.
Presiden menyampaikan sejak enam tahun lalu dirinya telah memerintahkan agar hilirisasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) segera berjalan karena DME ini bisa menjadi pengganti LPG.
"Saya sudah berkali-kali sampaikan mengenai hilirisasi, industrialisasi. Pentingnya mengurangi impor. Ini sudah enam tahun yang lalu saya perintah, tapi alhamdulillah hari ini meski dalam jangka panjang belum bisa dimulai, alhamdulillah bisa kita mulai hari ini, groundbreaking proyek hilirisasi batu bara menjadi DME," ungkapnya saat memberikan acara sambutan groundbreaking proyek DME di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, Senin (24/01/2022).
Jokowi menyebut, impor LPG Indonesia selama ini sangat besar bisa sekitar Rp 80 triliun dari kebutuhan Rp 100 triliun. Di sisi lain, pemerintah masih memberikan subsidi sekitar Rp 60-70 triliun per tahunnya.
"Pertanyaan saya, apakah ini mau kita lakukan terus-terusan? impor terus? Yang untung negara lain, yang terbuka lapangan kerja juga di negara lain, padahal kita memiliki raw material-nya, yaitu batu bara yang diubah jadi DME," tuturnya.
Seperti diketahui, proyek DME yang diresmikan groundbreakingnya ini merupakan proyek senilai Rp 33 triliun yang dikerjakan bersama antara PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Pertamina (Persero) dan Air Products & Chemicals Inc (APCI), perusahaan petrokimia asal Amerika Serikat. Adapun investasi untuk pembangunan proyek ini sepenuhnya dilakukan oleh Air Products, sementara PTBA akan beperan memasok batu bara, dan Pertamina sebagai pembeli produk DME nantinya.
Proyek DME di Tanjung Enim ini rencananya beroperasi selama 20 tahun. Dengan utilisasi 6 juta ton batu bara per tahun, proyek ini dapat menghasilkan 1,4 juta DME per tahun untuk mengurangi impor LPG 1 juta ton per tahun, sehingga dapat memperbaiki neraca perdagangan.
Dengan masih minimnya potensi pengurangan LPG dari proyek DME yang tengah berjalan tersebut, maka artinya dibutuhkan pengembangan proyek DME lainnya, terutama karena dari sisi cadangan batu bara sebagai bahan baku DME di Tanah Air masih melimpah.
Presiden pun meminta proyek DME ini diperluas di tempat lain.
"Jangan ada mundur-mundur lagi. Dan kita harapkan nanti setelah di sini selesai, dimulai lagi di tempat lain karena ini hanya bisa suplai Sumsel dan sekitarnya, kurang lebih 67 juta KK," tuturnya.
Lantas, berapa besar cadangan batu bara RI? dan bagaimana dengan 'harta karun' lainnya? Simak ulasan CNBC Indonesia berikut ini. Lanjut ke halaman berikutnya.
1. Batu Bara
Berdasarkan data BP Statistical Review 2021, Indonesia merupakan negara dengan pemilik cadangan terbukti batu bara terbesar ketujuh di dunia hingga akhir 2020, yakni tercatat mencapai 34,87 miliar ton.
Adapun negara yang memiliki cadangan batu bara terbesar di dunia yaitu Amerika Serikat dengan jumlah 248,94 miliar ton.
Berdasarkan data Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), status per Juli 2020, jumlah sumber daya batu bara RI mencapai 148,7 miliar ton dan cadangan 39,56 miliar ton.
Sementara dari sisi produksi, Indonesia merupakan produsen batu bara terbesar ketiga di dunia pada 2020 lalu. China merupakan produsen batu bara terbesar di dunia dengan jumlah produksinya mencapai 3,9 miliar ton pada 2020. Kemudian, disusul India dengan jumlah produksi 756,5 juta ton. Sementara Indonesia tercatat 562,5 juta ton.
Pada 2021, produksi batu bara Indonesia bahkan lebih tinggi lagi dibandingkan 2020, yakni tercatat mecapai 614 juta ton, berdasarkan data Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara (Ditjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Adapun dari produksi pada 2021 tersebut, pemanfaatan batu bara di dalam negeri hanya sebesar 133 juta ton atau sekitar 21,7% dari total produksi batu bara nasional. Artinya, masih ada ruang besar untuk meningkatkan pemanfaatan batu bara di dalam negeri.
Pada 2022, pemerintah menargetkan produksi batu bara melonjak menjadi 663 juta ton, dengan target pemanfaatan untuk dalam negeri naik menjadi 165,7 juta ton. Artinya, masih ada ruang besar untuk peningkatan pemanfaatan batu bara di dalam negeri, salah satunya bisa untuk gasifikasi batu bara menjadi DME, sehingga berperan mengurangi impor LPG.
2. Gas Alam
Indonesia kaya akan sumber daya gas alam yang bisa dimanfaatkan sebagai pengganti LPG. Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), jumlah cadangan terbukti gas alam RI hingga 31 Desember 2021 tercatat mencapai 42,93 triliun kaki kubik (TCF).
Dengan asumsi produksi gas sebesar 6.000 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), maka cadangan terbukti gas ini masih cukup untuk sekitar 19,6 tahun ke depan.
Jumlah cadangan terbukti gas ini masih bisa semakin meningkat, terutama bila kegiatan eksplorasi hulu minyak dan gas bumi (migas) terus digalakkan. Indonesia memiliki 128 cekungan hidrokarbon (basin). Namun sampai saat ini, hanya 20 cekungan yang telah diproduksi, 27 cekungan lainnya sudah dibor dan menemukan potensi cadangan, 12 cekungan sudah dibor tapi tidak menemukan cadangan, dan masih ada 69 cekungan lainnya yang belum sama sekali dibor.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, pihaknya optimistis potensi migas di Indonesia masih cukup besar bila cekungan hidrokarbon tersebut bisa terus dieksplorasi dan dieksploitasi. Dengan demikian, jumlah cadangan minyak maupun gas di Tanah Air akan semakin meningkat.
"Upaya memenuhi energi masih terus dilakukan dan potensi migas masih cukup besar. Masih sekitar 20 basin yang baru berproduksi di Indonesia, 27 basin pengeboran dan adanya discovery (temuan) dan masih ada hitung-hitungan untuk masuk ke Plan of Development/ PoD (Rencana Pengembangan) dari tingkat keekonomian, dan masih ada 69 basin belum dilakukan pengeboran, sementara 12 basin sudah dibor tapi tidak ada discovery (temuan). Ini potensi yang bisa kita lihat ke depan," paparnya dalam konferensi pers, Senin (17/01/2022).
Sejumlah Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menjadi andalan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun merupakan penghasil gas alam. Proyek strategis karena selain besarnya investasi yang dikeluarkan investor, proyek ini juga didominasi oleh produksi gas yang sangat bermanfaat untuk kebutuhan dalam negeri, bukan hanya untuk ekspor.
Beberapa proyek strategis penghasil gas tersebut antara lain proyek gas laut dalam Indonesia Deepwater Development (IDD) di Kalimantan Timur, Lapangan Abadi, Blok Masela di Maluku, Jambaran Tiung Biru di Jawa Timur, hingga Train 3 Kilang LNG Tangguh di Papua Barat.
Adapun total tambahan produksi dari empat proyek strategis nasional penghasil gas ini diperkirakan mencapai 65.000 barel per hari (bph) minyak/kondensat dan 3.484 MMSCFD gas. Perlu diketahui, jumlah salur (lifting) gas rata-rata selama 2021 tercatat "hanya" 5.501 MMSCFD.
Namun sayangnya, pemanfaatan gas alam di dalam negeri masih belum optimal.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemanfaatan gas domestik pada 2021 sebesar 66%. Artinya, sebesar 34% sisanya masih diekspor.
Masih minimnya pemanfaatan gas alam di dalam negeri bisa dipicu salah satunya karena masih minimnya infrastruktur pipa gas untuk menyalurkan gas alam ke masyarakat. Pada 2021 jaringan gas kota (jargas) bertambah sebanyak 126.876 sambungan rumah tangga (SR) di 21 kabupaten/kota.
Adapun total jumlah sambungan jaringan gas pipa pada rumah tangga hingga 2021 tercatat mencapai 799 ribu. Tentunya jumlah ini masih sangat minim dan belum semua provinsi teraliri gas pipa.
Pada 2022 ini pemerintah hanya menargetkan tambahan 40.000 sambungan rumah tangga untuk proyek jargas. Artinya, total rumah tangga tersambung jargas hingga akhir 2022 ditargetkan hanya mencapai 839.000 rumah tangga.
Padahal, bila jargas ini digalakkan dan juga industri/komersial menggunakan gas alam, maka tentunya ini bisa berperan mengurangi pemakaian LPG, dan pada akhirnya bisa berkontribusi mengurangi impor LPG.
3. Energi Baru Terbarukan & Pasokan Listrik
Presiden Joko Widodo (Jokowi) membeberkan betapa kayanya negeri ini akan energi hijau alias sumber energi baru terbarukan (EBT). Jokowi mengatakan, Indonesia memiliki potensi EBT sebesar 418 Giga Watt (GW), baik dari air, panas bumi (geothermal), hingga matahari.
Bila ini dioptimalkan, maka pasokan listrik Tanah Air bisa semakin melimpah, dan berpotensi untuk membuka peluang pemanfaatan kompor listrik sebagai alternatif pengganti LPG.
Bahkan untuk saat ini, PT PLN (Persero) pun menyatakan telah mengalami kelebihan pasokan listrik dari pembangkit listrik yang ada. Oleh karena itu, PLN pun mendorong peralihan penggunaan kompor listrik sebagai alternatif pengganti LPG.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir juga sempat mengatakan penggunaan kompor listrik/induksi dapat memberikan penghematan untuk negara dan rumah tangga sekaligus. Bahkan, Erick menyebut penghematan bisa mencapai Rp 60 triliun bagi negara.
Hal ini karena penggunaan energi listrik lebih murah ketimbang dengan penggunaan gas yang saat ini masih dipenuhi dari impor.
Dia mengatakan hal ini juga merupakan bagian dari upaya mencapai ketahanan energi nasional dan dilakukan dengan dukungan masyarakat.
"Saya optimis ini akan berjalan baik ketika semua BUMN Karya dan kebijakan di Kementerian PUPR untuk memastikan pembangunan rumah dan apartemen dilengkapi fasilitas listrik dan kompornya. Ini percepatan penekanan impor dalam 5 tahun ke depan, kalau kita bisa rubah minyak tanah ke LPG kenapa ga rubah LPG ke listrik saja," kata Erick dalam konferensi pers virtual, Rabu (31/3/2021).
Dia mengatakan, untuk negara, penggunaan kompor listrik ini akan memberikan penghematan biaya impor yang per tahun-tahunnya rata-rata memakan dana hingga Rp 60 triliun.
Sedangkan untuk rumah tangga, setelah dilakukan uji coba, penggunaan listrik untuk memasak akan menghemat biaya pengeluaran LPG dari sebelumnya Rp 147 ribu menjadi Rp 118 ribu.