
Gila Indonesia, Kaya akan Gas Alam Tapi LPG Impor!

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia dianugerahi berbagai jenis sumber daya alam (SDA), termasuk komoditas energi yang bisa dikatakan cukup melimpah. Namun sayangnya, pemanfaatannya masih minim, bahkan malah lebih memilih sumber energi dari impor ketimbang memberdayakan yang ada di bumi Pertiwi.
Kecanduan Indonesia terhadap impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) misalnya, selama satu dekade terakhir ini terus menanjak. Bahkan, pada 2020 tercatat porsi impor mencapai 80% dari total kebutuhan LPG nasional.
Di sisi lain, Indonesia kaya akan sumber daya gas alam yang bisa dimanfaatkan sebagai pengganti LPG. Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), jumlah cadangan terbukti gas alam RI hingga 31 Desember 2021 tercatat mencapai 42,93 triliun kaki kubik (TCF).
Dengan asumsi produksi gas sebesar 6.000 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), maka cadangan terbukti gas ini masih cukup untuk sekitar 19,6 tahun ke depan.
Jumlah cadangan terbukti gas ini masih bisa semakin meningkat, terutama bila kegiatan eksplorasi hulu minyak dan gas bumi (migas) terus digalakkan. Indonesia memiliki 128 cekungan hidrokarbon (basin). Namun sampai saat ini, hanya 20 cekungan yang telah diproduksi, 27 cekungan lainnya sudah dibor dan menemukan potensi cadangan, 12 cekungan sudah dibor tapi tidak menemukan cadangan, dan masih ada 69 cekungan lainnya yang belum sama sekali dibor.
Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan, pihaknya optimistis potensi migas di Indonesia masih cukup besar bila cekungan hidrokarbon tersebut bisa terus dieksplorasi dan dieksploitasi. Dengan demikian, jumlah cadangan minyak maupun gas di Tanah Air akan semakin meningkat.
"Upaya memenuhi energi masih terus dilakukan dan potensi migas masih cukup besar. Masih sekitar 20 basin yang baru berproduksi di Indonesia, 27 basin pengeboran dan adanya discovery (temuan) dan masih ada hitung-hitungan untuk masuk ke Plan of Development/ PoD (Rencana Pengembangan) dari tingkat keekonomian, dan masih ada 69 basin belum dilakukan pengeboran, sementara 12 basin sudah dibor tapi tidak ada discovery (temuan). Ini potensi yang bisa kita lihat ke depan," paparnya dalam konferensi pers, Senin (17/01/2022).
Sejumlah Proyek Strategis Nasional (PSN) yang menjadi andalan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun merupakan penghasil gas alam. Proyek strategis karena selain besarnya investasi yang dikeluarkan investor, proyek ini juga didominasi oleh produksi gas yang sangat bermanfaat untuk kebutuhan dalam negeri, bukan hanya untuk ekspor.
Adapun total tambahan produksi dari empat proyek strategis nasional penghasil gas ini diperkirakan mencapai 65.000 barel per hari (bph) minyak/ kondensat dan 3.484 MMSCFD gas. Perlu diketahui, jumlah salur (lifting) gas rata-rata selama 2021 tercatat "hanya" 5.501 MMSCFD.
Beberapa PSN penghasil gas tersebut antara lain:
1 Proyek Gas Laut Dalam (Indonesia Deepwater Development/ IDD)
Masih ada dua hub yang belum diproduksi yaitu Gendalo dan Gehem Hub. Ditargetkan proyek gas ini bisa beroperasi pada kuartal IV 2025 dengan puncak produksi sekitar 844 MMSCFD gas dan 27.000 barel per hari (bph) minyak. Proyek ini diperkirakan menelan biaya US$ 6,98 miliar. Saat ini proyek direncanakan dikembangkan oleh Chevron Indonesia Company (CICO), namun sejak beberapa tahun lalu Chevron menyebut akan keluar dari proyek ini karena sudah tidak sesuai dengan portofolio perusahaan. Rencananya, proyek ini akan dialihkan kepada perusahaan migas asal Italia, ENI, namun hingga saat ini belum ada kesepakatan di antara kedua belah pihak.
2. Jambaran Tiung Biru
Dikelola oleh PT Pertamina EP Cepu, proyek gas senilai US$ 1,53 miliar ini ditargetkan bisa beroperasi pada kuartal II 2022. Puncak produksi gas dari proyek ini diperkirakan mencapai 190 MMSCFD.
3. Train 3 Kilang LNG Tangguh
Proyek gas ini dikembangkan oleh BP Berau Ltd dengan perkiraan investasi US$ 8,9 miliar. Train 3 Kilang LNG Tangguh ini diperkirakan bisa memproduksi 700 MMSCFD dan 3.000 bph kondensat. Proyek ini ditargetkan bisa beroperasi pada Desember 2022 mendatang.
4. Proyek Gas Lapangan Abadi, Blok Masela
Proyek gas 'raksasa' ini dikembangkan oleh perusahaan asal Jepang, Inpex Masela Ltd. Disebut raksasa, karena diperkirakan memakan investasi jumbo senilai US$ 19,8 miliar, proyek gas yang juga akan membuat kilang LNG di darat (onshore) ini diperkirakan akan menghasilkan gas alam cair (LNG) sebesar 9,5 juta ton per tahun (MTPA) atau sekitar 1.600 MMSCFD gas dan 35.000 bph kondensat. Proyek ini ditargetkan bisa beroperasi pada kuartal II 2027.
Meski potensi cadangan gas dan juga produksi gas alam nasional cukup besar, bahkan masih ada ruang untuk ekspor, namun nyatanya pemanfaatan gas alam di dalam negeri masih belum optimal.
Berdasarkan data Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Ditjen Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemanfaatan gas domestik pada 2021 sebesar 66%. Artinya, sebesar 34% sisanya masih diekspor.
Masih minimnya pemanfaatan gas alam di dalam negeri bisa dipicu salah satunya karena masih minimnya infrastruktur pipa gas untuk menyalurkan gas alam ke masyarakat. Pada 2021 jaringan gas pipa (jargas) bertambah sebanyak 126.876 sambungan rumah tangga (SR) di 21 kabupaten/kota.
Adapun total jumlah sambungan jaringan gas pipa pada rumah tangga hingga 2021 tercatat mencapai 799 ribu. Tentunya jumlah ini masih sangat minim dan belum semua provinsi teraliri gas pipa.
Padahal, bila jargas ini digalakkan dan juga industri/komersial menggunakan gas alam, maka tentunya ini bisa berperan mengurangi pemakaian LPG, dan pada akhirnya bisa berkontribusi mengurangi impor LPG.
Pada 2022 ini pemerintah hanya menargetkan tambahan 40.000 sambungan rumah tangga untuk proyek jargas. Artinya, total rumah tangga tersambung jargas hingga akhir 2022 ditargetkan hanya mencapai 839.000 rumah tangga.
Impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) RI bisa dikatakan semakin parah, terutama dalam enam tahun terakhir ini.
Berdasarkan data Content Handbook of Energy and Economic Statistics of Indonesia 2020, impor LPG pada 2015 mencapai 4,24 juta ton atau sekitar 66% dari total kebutuhan LPG nasional sebesar 6,38 juta ton.
Jumlah impor ini terus meningkat hingga pada akhir 2020 tercatat mencapai 6,4 juta ton atau sekitar 80% dari total kebutuhan 8,02 juta ton.
Impor LPG RI memang terlihat terus meningkat seiring dengan berhasilnya program konversi minyak tanah ke LPG tabung 3 kilo gram (kg) sejak 2007 lalu.
Pada 2010 impor LPG RI masih berada di kisaran 1,6 juta ton atau sekitar 43% dari kebutuhan 3,76 juta ton.
Namun setiap tahun, angka impor ini terus meningkat seiring dengan meningkatnya kebutuhan, namun tidak diimbangi dengan produksi dari dalam negeri.
Berikut data impor LPG selama satu dekade terakhir, terutama sejak 2010-2020:
2010: 1,6 juta ton.
2011: 1,9 juta ton.
2012: 2,6 juta ton.
2013: 3,3 juta ton.
2014: 3,6 juta ton.
2015: 4,2 juta ton.
2016: 4,5 juta ton.
2017: 5,5 juta ton.
2018: 5,6 juta ton.
2019: 5,7 juta ton.
2020: 6,4 juta ton.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Masa Depan RI Cerah, Punya Harta Karun Gas Melimpah