Ingat! Perubahan Patokan DMO Batu Bara, Justru Bebani Negara
Jakarta, CNBC Indonesia - Rencana pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengevaluasi harga patokan Domestick Market Obligation (DMO) batu bara US$ 70 per ton untuk kebutuhan listrik PT PLN (Persero) dinilai justru akan menambah beban negara.
Pasalnya, kenaikan harga DMO batu bara bakal mengakibatkan kenaikan biaya pokok produksi (BPP) listrik dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sehingga akan mendongkrak subsidi dan kompensasi yang harus ditanggung negara.
Maklum, penggunaan PLTU batu bara masih mendominasi bauran energi listrik nasional atau mencapai 60% lebih. Sehingga, jika harga batu bara berubah, maka BPP listrik dari pembangkit yang masih mendominasi itu akan meningkat.
"Kalau APBN tidak mampu menanggung beban subsidi dan kompensasi, maka kenaikan tarif listrik tak dapat dihindari dan akhirnya rakyat jadi korban," ungkap Mamit.
Dengan melihat dampak kenaikan harga batu bara DMO, lanjut Mamit, dikhawatirkan hanya akan membuat pengeluaran negara lebih besar, dibanding pendapatan negara atas kenaikan batu bara DMO.
"Jangan sampai itu hanya membuat beban negara bertambah dibanding manfaat yang didapat negara lebih sedikit," ungkap Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, kepada CNBC Indonesia.
Mamit juga menilai saat ini bukan waktu yang tepat untuk menaikan harga batu bara DMO. Pasalnya, akan menjadi membebani perkonomian nasional yang baru saja hendak berputar setelah diterpa badai Covid-19, konsumsi masyarakat pun belum pulih dan industri baru mulai bergeliat kembali.
"Untuk itu, kenaikan DMO saya kira sebisa mungkin tidak perlu dilakukan saat ini," kata Mamit
Mamit pun berharap para pengusaha memiliki jiwa nasional, dengan mengedepankan kepentingan negara dan rakyat dibandingkan mengejar keuntungan berlebih di tengah kenaikan harga batu bara.
"Mudah-mudahan teman pengusaha batu bara ada merah putihnya dan pemerintah menahan dulu kenaikan harga DMO, tunggu dulu sampai ekonomi benar tumbuh, daya beli naik, industri tumbuh, itu jadi pertimbangan ke depannya untuk saat ini tahan dululah," ujar Mamit.
Yang terang saat ini, dengan harga DMO batu bara tetap dipatok US$ 70 per ton dan biaya produksi berkisar US$ 39-45 per ton, pengusaha saat ini telah menikmati untung sekitar US$ 3,44 miliar hingga US$ 4,26 miliar dengan asumsi kebutuhan DMO batu bara 137,5 juta ton per tahun pada 2021.
Keuntungan ini belum ditambah kenaikan margin yang diperoleh pengusaha seiring dengan meroketnya harga batu bara di pasar internasional yang tembus di atas US$ 170 per ton. Sekedar informasi, saat ini dari total volume produksi batu bara nasional, sekitar 25 persen dijual ke pasar domestik, sementara sebagian besar diekspor.
"Dengan harga batu bara DMO US$ 70 ton, pengusaha enggak rugi, walaupun memang masing-masing wilayah punya tingkat kesulitan yang berbeda, harga US$ 70 per ton ini moderat teman-teman pengusaha tidak mengalami kerugian dan sesuai kemampuan PLN," Kata Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan.
Mamit menjelaskan, jika pada tahun depan pemerintah memutuskan untuk melepas harga DMO, di mana harga batu bara acuan (HBA) pada 2022 dipatok US$ 150 per ton, maka pengusaha mengantongi untung US$ 105-111 per ton. Dengan asumsi kebutuhan DMO batu bara 2022 sama dengan tahun ini 137,5 juta ton, maka windfall profit yang bisa diraup pengusaha berkisar US$ 14,43-15,26 miliar.
(pgr/pgr)