
Harga DMO Batu Bara Jangan Diubah, Pengusaha Masih Cuan!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah mengevaluasi harga patokan Domestic Market Obligation (DMO) batu bara untuk kebutuhan listrik PT PLN (Persero) yang saat ini harganya dipatok US$ 70 per ton.
Evaluasi perubahan harga itu ditanggapi dingin oleh sejumlah pihak, dengan berubahnya patokan harga DMO batu bara itu, maka akan memiliki efek domino terhadap harga listrik di dalam negeri. Maklum, 60% lebih penggunaan listrik dalam negeri masih menggunakan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Yang terang, harga patokan DMO batu bara US$ 70 per ton saat ini sudah menguntungkan para pengusaha pertambangan batu bara.
Direktur eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan menyampaikan bahwa dengan harga DMO batu bara dipatok US$ 70 per ton dan biaya produksi berkisar US$ 39 - 45 per ton, pengusaha saat ini telah menikmati untung sekitar US$ 3,44 miliar hingga USD 4,26 miliar dengan asumsi kebutuhan DMO batu bara 137,5 juta ton per tahun pada 2021.
Malah, keuntungan ini belum ditambah kenaikan margin yang diperoleh pengusaha seiring dengan meroketnya harga batu bara di pasar internasional yang tembus di atas US$ 170 per ton. Seperti yang kita ketahui, patokan harga US$ 70 per ton hanya berlaku bagi 25% produksi batu bara para perusahaan batu bara. Sementara sisanya dijual bebas secara ekspor dengan mekanisme harga pasar.
"Dengan harga batu bara DMO US$ 70 ton dan hanya wajib pasok 25% saja, pengusaha tidak rugi. Ini harga yang moderat bagi pengusaha dan sesuai dengan kemampuan PLN," ungkap dia kepada CNBC Indonesia, kamis (30/12/2021).
Mamit menjelaskan, jika pada tahun depan pemerintah memutuskan untuk melepas harga DMO, di mana harga batu bara acuan (HBA) pada 2022 dipatok US$ 150 per ton, maka pengusaha mengantongi untung US$ 105-111 per ton. Dengan asumsi kebutuhan DMO batu bara 2022 sama dengan tahun ini 137,5 juta ton, maka windfall profit yang bisa diraup pengusaha berkisar US$ 14,43-15,26 miliar.
Sementara di sisi lain, kenaikan harga DMO batu bara bakal mengakibatkan kenaikan biaya pokok produksi (BPP) listrik dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) sehingga akan mendongkrak subsidi dan kompensasi yang harus ditanggung negara.
"Kalau APBN tidak mampu menanggung beban subsidi dan kompensasi, maka kenaikan tarif listrik tak dapat dihindari dan akhirnya rakyat jadi korban," ungkap Mamit.
Direktur Pembinaan Program Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Sunindyo Suryo Herdadi menyampaikan, bahwa sesuai ketentuan persentase minimal kewajiban pemenuhan 25% yang tertera dalam Keputusan Menteri (Kepmen) 139 tahun 2021 tentang Pemenuhan Kebutuhan Batu Bara Dalam Negeri.
Ketentuan minimal kewajiban pemenuhan batu bara 25% itu merupakan perbandingan antara kebutuhan batu bara dalam negeri keseluruhan (termasuk utk PLN) terhadap total produksi batubara nasional.
Berdasarkan kepmen tersebut, kata Sunindyo, ketentuan persentase minimal pemenuhan DMO tersebut berlaku untuk tahun 2022 dan selanjutnya. Adapun berdasarkan Kepmen 139.K/2021, ketentuan patokan harga DMO batu bara US$ 70 per ton untuk kelistrikan umum berlaku juga di tahun 2022.
"Evaluasi terkait kebijakan harga ini secara kontinyu dilakukan berdasarkan perkembangan pemenuhan DMO oleh badan usaha pertambangan. Namun sampai dengan saat ini belum ada perubahan atas kebijakan harga US$ 70 per ton untuk batu bara kebutuhan kelistrikan umum," terang Sunindyo kepada CNBC Indonesia, Jumat (24/12/2021).
Sunindyo menekankan, bahwa evaluasi baik ketentuan minimal wajib 25% DMO dan patokan harga US$ 70 per ton, di evaluasi mengikuti dinamika kenaikan kebutuhan di dalam negeri. "Tapi secara prosentase saat ini masih mengacu ke Kepmen 139/2021," tandas Sunindyo.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Makin Terang! Bank Himbara Akan Tarik Pungut Iuran Batu Bara