Shell-ConocoPhillips Minggat dari RI, Ini Kata Bos SKK Migas

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
23 December 2021 09:50
ConocoPhillips, Conoco Phillips
Foto: ConocoPhillips, Conoco Phillips

Jakarta, CNBC Indonesia - Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) akhirnya buka suara terkait sejumlah perusahaan migas asing yang menyatakan mundur dari proyek hulu migas di Indonesia.

Sejumlah 'raksasa' migas yang telah menyatakan akan mundur dari proyek migas nasional antara lain Shell di Blok Masela, Chevron di proyek gas laut dalam Indonesia Deep Water Development, dan terbaru ConocoPhillips dari Blok Corridor.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto pun menjelaskan bahwa pelepasan saham perusahaan migas atau divestasi itu merupakan sesuatu yang wajar dan bukanlah sesuatu yang asing. Menurutnya, perusahaan pasti akan melakukan aksi yang bisa lebih menguntungkan perusahaannya masing-masing.

"Sebenarnya divestasi itu dari pemain-pemain minyak itu bukan suatu yang asing, selalu terjadi divestasi. Dan divestasi itu kalau ternyata kalkulasinya lebih menguntungkan buat yang akan divestasi, akan dilakukan," jelasnya dalam program Energy Corner CNBC Indonesia, Rabu (22/12/2021).

Terkait dengan rencana Shell untuk mundur dari kepemilikan hak partisipasi di Blok Masela, Maluku, menurutnya sampai saat ini belum terealisasi karena belum ada kesepakatan dengan calon mitra penggantinya. Dengan demikian, sampai saat ini Shell masih menjadi pemegang hak partisipasi (Participating Interest/ PI) di Blok Masela bersama Inpex Masela Ltd sebagai operatornya.

"Sejauh ini rencana Shell tersebut belum terealisasi karena belum ada deal, sehingga Lapangan Abadi Blok Masela masih pemegang PI-nya adalah Inpex dan Shell. Shell pun telah menyatakan, kalau tidak ada deal, ya Shell masih jadi pemegang saham di Blok Masela," paparnya.

Menurutnya, rencana mundurnya Shell dari Blok Masela ini karena perusahaan juga akan lebih serius untuk mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) dan hilir migas.

"Kenapa demikian, karena masing-masing korporasi punya reason sendiri-sendiri. Sebagaimana kita tahu Shell sendiri sangat serius di EBT dan sebagainya, dan dia juga serius di hilir. Itu kepentingan masing-masing," tuturnya.

Sementara terkait Chevron yang juga telah menyatakan akan mundur dari proyek IDD, Dwi juga mengatakan Chevron juga tengah mencari calon investor penggantinya.

"Kalau gak ada (deal dengan calon investor pengganti),, ya kita akan melaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan dan Chevron harus menindaklanjuti POD (Plan of Development/ rencana pengembangan) pertama yang sekarang sedang dalam proses untuk melaksanakan untuk menyusun POD," jelasnya.

Terkait pelepasan saham ConocoPhillips ke PT Medco Energi Internasional Tbk, Dwi menyebut ConocoPhillips telah mengirimkan surat kepada SKK Migas dan menjelaskan bahwa sudah ada penandatanganan perjanjian antara ConocoPhillips yang akan melepaskan kepemilikan sahamnya di CIHL kepada Medco.

Menurutnya, proses transaksi ini masih berlangsung dan masih menunggu sikap seluruh pemegang hak partisipasi di Blok Corridor. Selain ConocoPhillips, ada juga pemegang hak partisipasi lainnya di Blok Corridor ini, antara lain PT Pertamina Hulu Energi Corridor dan Talisman Corridor Ltd (Repsol).

"Tanggal 9 Desember 2021 kemarin, ChonocoPhillips mengirimkan surat ke SKK yang menyampaikan bahwa sudah ditandatangani Share Parties Agreement untuk penjualan 100% saham tadi, dari kepemilikan mereka ChonocoPhillips Indonesia Holding ke Medco," jelasnya dalam program Energy Corner CNBC Indonesia, Rabu (22/12/2021).

"Tentu saja, prosesnya masih akan berjalan, termasuk bagaimana sikap dari seluruh konsorsium, karena saat ini pemegang PI (participating interest/ hak partisipasi) untuk Corridor itu adalah ConocoPhillips, Talisman, dan PT Pertamina," lanjutnya.

Seperti diketahui, pada 22 Juli 2019 pemerintah juga telah memperpanjang kontrak ConocoPhillips di Blok Corridor yang akan berakhir pada 2023. Dalam perpanjangan kontrak ini ditetapkan bahwa pemegang hak partisipasi (PI) ConocoPhillips (Grissik) Ltd sebesar 46% sebagai operator, Talisman Corridor Ltd (Repsol) sebesar 24%, dan PT Pertamina Hulu Energi Corridor sebesar 30%. Hak partisipasi yang dimiliki tersebut sudah termasuk Partisipasi Interes 10% yang akan ditawarkan kepada Badan Usaha Milik Daerah.

Kontrak Bagi Hasil Blok Corridor akan berlaku untuk 20 tahun, efektif sejak 20 Desember 2023 dan menggunakan skema Gross Split.

Terkait hal ini, dia pun mengatakan bahwa setelah tiga tahun masa perpanjangan pengelolaan Blok Corridor sejak 2023 itu, Pertamina dapat menjadi operator pengganti bila perseroan menyatakan diri sudah siap untuk mengelolanya.

"Pasca 2023 itu pemegang hak partisipasinya (Blok Corridor) ConocoPhillips, Talisman, dan juga Pertamina. Itu yang terjadi sebenarnya, pada perpanjangan itu juga diperjanjikan juga, bahwa setelah tiga tahun perpanjangan, Pertamina dapat menjadi operartor pengganti," tuturnya.

Pengamat dan Praktisi Hulu Migas Tumbur Parlindungan menjelaskan, ada beberapa alasan utama perusahaan raksasa migas hengkang dari Tanah Air.

"Alasan utamanya lebih ke shifting portofolio dari perusahaan asing," ujarnya dalam program Energy Corner CNBC Indonesia, Rabu (22/12/2021).

Kendati demikian, di luar itu ada rentetan-rentetan lain yang 'menghantui' investor. Salah satunya menurutnya yaitu karena saat ini banyak blok migas yang berakhir kontraknya diserahkan pemerintah kepada PT Pertamina (Persero).

Ketika proyek migas ini diberikan kepada Pertamina, dan biayanya dijanjikan akan dibayarkan kembali, namun nyatanya masih banyak yang belum dibayarkan sampai saat ini.

"Sehingga persepsinya seperti ada nasionalisasi di Indonesia di dalam industri hulu migas. Jadi persepsi nasionalisasi itu yang tumbuh di para investor," ucapnya.

Kemudian, kata Tumbur, para investor juga menunggu kepastian hukum dari Revisi Undang-Undang Minyak dan Gas (Revisi UU Migas) yang sampai saat ini belum dibahas dan disahkan menjadi payung hukum yang sah.

Menurutnya, tidak adanya kepastian hukum ini membuat para investor "wait and see".

"Walaupun sudah banyak peruabahannya nih, dan masih beberapa big player yang ada di Indonesia, tapi karena kepastian hukum ini belum ada dan adanya beberapa yang keluar tadi, membuat mereka masih wait and see. Untuk country entry itu sangat sulit untuk kembali lagi biasanya. Biasanya mereka akan wait and see bagaimana UU Migas ini terjadi dengan peraturan-peraturan tambahan lainnya. Dilihat bagaimana implementasinya, baru mereka akan berpikir kembali untuk kembali ke Indonesia atau investor lain untuk datang ke Indonesia," jelasnya.

"Secara resources (sumber daya) kita nggak takut, tapi secara kepastian hukum itu yang paling mendasar," tegasnya.

Ditambah dengan banyaknya pemain besar yang juga keluar dari Indonesia, menurutnya ini membuat investasi di sektor migas menjadi tidak menarik lagi di mata investor lainnya atau calon investor.

"Kita bisa lihat dari beberapa kali melakukan lelang (blok migas) dan tidak ada peminatnya, itu masalahnya. Dari pemain besar atau pemain kecil hingga regional pun tak mau berinvestasi," jelas Tumbur.

Selain persepsi nasionalisasi hulu migas di Indonesia dan tidak adanya kepastian hukum, menurutnya yang paling dilihat oleh para investor adalah insentif fiskal yang masih minim.

"Kita (Indonesia) termasuk below average dibandingkan negara-negara penghasil minyak lainnya, baik di regional maupun internasional. Itu salah satu penyebab utamanya," jelas Tumbur.

"Tapi contract sanctity (kesucian kontrak) itu menjadi tolak ukur utama bagi mereka untuk berinvestasi. Dampaknya ke ekosistemnya, gak akan jalan," kata Tumbur melanjutkan.

Pada kesempatan yang sama, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto turut mengomentari pernyataan Tumbur. Dwi mengungkapkan bahwa kompetisi antar negara pasti terjadi dan itu disadari oleh pemerintah dan otoritas.

Pemerintah pun, kata Dwi, saat ini sudah cukup agresif dalam memperbaiki ekosistem iklim investasi di Indonesia, mulai dari penyederhanaan perizinan yang saat ini sudah dilakukan melalui satu pintu atau dikenal sebagai Online Single Submission (OSS).

"Pemerintah mulai mempercepat proses-proses yang ada. Nah kita selalu melaporkan waktu perizinan di masing-masing institusi," jelas Dwi.

Kemudian dari sisi fiskal pun, kata Dwi pemerintah saat ini sudah mulai luwes atau fleksibel dalam menentukan insentif fiskalnya.

Menurut dari dari sembilan usulan insentif fiskal yang diajukan oleh otoritas, saat ini enam di antaranya sudah disetujui dan berjalan. Sementara sisanya masih terus diperjuangkan.

"Berkaitan dengan masalah split ke bagian negara, sekarang pun tidak begitu kaku untuk memegang negara, minyak sekian dan gas sekian, sangat dilihat dari keekonomian masing-masing sumur," jelas Dwi.

"Kalau gak salah tinggal tiga (insentif fiskal yang belum disetujui). Masalah pajak langsung, DMO price yang masih dalam proses. Ini butuh waktu, tapi saya pikir

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular