Nah! Ternyata Fakta Ini Bikin Pak Jokowi Cukup Lega
Jakarta, CNBC Indonesia - Asing kini tidak lagi mendominasi kepemilikan surat berharga negara (SBN). Tentunya ini kabar bahagia sebab bisa meningkatkan ketahanan ekonomi Indonesia.
"Itu memang strategi pemerintah bagaimana mengurangi ketergantungan kita dalam bentuk mata uang asing," ungkap Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Luky Alfirman dikutip Rabu (15/12/2021)
Data DJPPR menunjukkan porsi kepemilikan asing pada surat berharga negara (SBN) turun secara gradual. Hingga awal Desember 2021, porsi asing berada di bawah 20%. Porsi asing diambil oleh perbankan dalam negeri yang alami kenaikan menjadi 25,91% per 9 Desember 2021.
Selain perbankan, ada Bank Indonesia (BI) serta asuransi dan dana pensiun yang juga menambah porsi pada kepemilikan surat utang. "Sebelum pandemi kepemilikan asing 40% dan sempat 41%, dan per hari ini hanya di bawah 20%," ujarnya.
Dengan penurunan porsi asing, artinya pemerintah tidak lagi khawatir apabila ada gejolak di pasar keuangan global. Biasanya ketika ada gejolak entah dari belahan dunia mana, Indonesia selalu terkena imbasnya. Modal mengalir ke luar dan membuat nilai tukar rupiah melemah.
"Jadi kalau kita dolar makin sedikit, kita mengurangi exposure kita dari risiko mata uang. Ke depan kami ingin menurunkan curency risk," jelas Luky.
Risiko mata uang juga menjadi salah satu indikator penentu bagi yield SBN. Kini posisi yield SBN berada di sekitar 6%. Masih terbilang sangat tinggi bila dibandingkan dengan yield US Treasury, sementara inflasi di Indonesia sangat rendah. Penurunan yield artinya bunga utang yang dikenakan ke pemerintah juga lebih rendah. "Makanya kita mau domestik mendukung SBN kita," pungkasnya.
Economist & Fixed-income Research Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro menyampaikan, langkah untuk menekan porsi asing baik buat ekonomi Indonesia ke depan. Setidaknya tidak ada kekhawatiran lagi aliran dana keluar (outflow) ketika ada gejolak di negara lain.
"Rendahnya kepemilikan asing, atau tingginya peran dari investor domestik seperti perbankan dan bank sentral, justru bagus untuk meredam guncangan ekonomi dari sentimen global, seperti tren kenaikan suku bunga," kata Satria kepada CNBC Indonesia.
Apalagi kini ada ancaman tapering dari Amerika Serikat (AS). Bila porsi asing masih di level 40%, tentu akan ada kemungkinan outflow dan membuat nilai tukar tertekan. Seperti yang terjadi pada 2013 lalu, nilai tukar tertekan direspons kenaikan suku bunga acuan dan dampaknya terjadi perlambatan ekonomi.
Porsi asing pada level 20-22%, menurutnya sudah pada tahapan ideal. "Dalam beberapa tahun ke depan kepemilikan asing justru bisa naik kembali ke angka 25% karena real-yield Indonesia masih positif di tengah kenaikan tren inflasi global," tutupnya.
(mij/mij)