
RI Gak Bisa Cuma Andalkan Pertamina Naikkan Produksi Migas!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah memiliki target ambisius terkait masa depan industri hulu minyak dan gas bumi (migas) di Tanah Air. Pemerintah menargetkan produksi minyak mencapai 1 juta barel per hari (bph) dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) pada 2030 mendatang.
Di tengah target ini, sayangnya sejumlah perusahaan migas asing berskala besar menyatakan mundur dari proyek hulu migas di Tanah Air. Bila ini terus terjadi, maka ini akan menjadi ancaman bagi industri hulu migas Indonesia di masa depan.
Meskipun Indonesia memiliki Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor migas yakni PT Pertamina (Persero) yang kini menguasai sekitar 70% produksi minyak nasional, namun untuk mencapai target ambisius di masa depan itu Pertamina dinilai tidak bisa diandalkan sepenuhnya, dan negara tetap membutuhkan investasi dari asing.
Hal tersebut diungkapkan Praktisi Migas Tumbur Parlindungan. Menurut Tumbur, industri hulu migas yang memiliki tipikal padat modal, berisiko tinggi, dan memerlukan teknologi canggih dan kompleks, Indonesia masih membutuhkan investasi dari perusahaan migas internasional atau International Oil Companies (IOCs).
"Sangat disayangkan kalau IOC (International Oil Company) keluar dari Indonesia. Industri ini padat modal, high risk, and high technology. Indonesia masih membutuhkan investasi dan teknologi dari IOC. Pertamina membutuhkan partner dan investasi. Kalau hanya Pertamina sendiri semakin sulit untuk meningkatkan aktivitas eksplorasi dan meningkatkan produksi dengan teknologi," jelasnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (14/12/2021).
Dia mengatakan, untuk meningkatkan produksi, termasuk juga eksplorasi untuk meningkatkan cadangan migas nasional, maka dengan bermitra dengan perusahaan lain bisa berbagi risiko dan investasi. Dengan demikian, risiko ini tidak ditanggung sendiri oleh Pertamina.
"Partnership and joint venture sangat dibutuhkan dalam eksplorasi and produksi untuk sharing resiko and investasinya, terutama di lokasi yang high risk area," ujarnya.
Menurutnya, potensi migas di Indonesia masih sangat besar. Mundurnya sejumlah 'raksasa' migas asing dari proyek hulu migas di Indonesia menurutnya bukan karena minimnya potensi migas RI, melainkan iklim investasi yang tidak mendukung.
"Potensinya Indonesia itu masih besar sekali. Investment climate-nya yang tidak mendukung," ucapnya.
Termasuk rencana hengkanya ConocoPhillips, perusahaan migas asal Amerika Serikat, dari pengelolaan Blok Corridor di Sumatera Selatan dan lebih memilih untuk meningkatkan investasi di Australia, menurutnya ini dikarenakan iklim investasi di Australia jauh lebih baik dibandingkan Indonesia.
"Kepastian hukum dan kemudahan berbisnis di Australia jauh lebih baik," imbuhnya.
Seperti diketahui, ConocoPhillips menjual asetnya di Indonesia senilai US$ 1,355 miliar kepada PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) untuk menambah kepemilikan saham di Australia Pacific LNG (APLNG) sebesar 10% dari Origin Energy. Dengan begitu, total kepemilikan aset ConocoPhillips di Origin energy mencapai US$ 1,645 miliar.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article 248 Inisiatif Optimalisasi Biaya Disetujui Produsen Migas
