Raksasa Hengkang, Pertamina Mampu Naikkan Produksi Migas RI?
Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah perusahaan minyak dan gas bumi (migas) asing menyatakan mundur dari proyek hulu migas di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir ini.
Beberapa 'raksasa' migas asing yang menyatakan mundur dari proyek hulu migas di Tanah Air antara lain Shell dari proyek Blok Masela di Maluku, Chevron dari proyek gas laut dalam Indonesia Deep Water Development (IDD) Kalimantan Timur, dan terbaru ConocoPhillips dari Blok Corridor Sumatera Selatan.
Ketika sejumlah 'raksasa' migas asing ini memutuskan keluar dari Indonesia, maka mau tidak mau Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sektor migas yakni PT Pertamina (Persero) akan menjadi andalan RI untuk bisa meningkatkan produksi migas di Tanah Air.
Hal tersebut disampaikan Benny Lubiantara, Deputi Perencanaan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas).
Terlebih, saat ini Pertamina menguasai sekitar 70% dari total produksi minyak nasional, terutama setelah diambialihnya pengelolaan Blok Rokan dari Chevron Pacific Indonesia per 9 Agustus 2021 lalu.
"Iya," ungkapnya saat ditanya CNBC Indonesia apakah artinya pemerintah hanya bisa mengandalkan Pertamina untuk mendorong produksi migas di Tanah Air, dikutip Senin (13/12/2021).
Lantas, apakah PT Pertamina (Persero) mampu menjalani mandat ini dan mendorong produksi minyak dan gas bumi di Tanah Air?
Arya Dwi Paramita, Corporate Secretary PT Pertamina Hulu Energi (PHE), Subholding Upstream Pertamina, mengatakan bahwa perseroan terus berupaya memenuhi seluruh target yang disepakati, khususnya untuk meningkatkan produksi migas dan mencapai ketahanan energi nasional.
"Pertamina selalu berupaya untuk memenuhi seluruh target-target yang disepakati, khususnya berkontribusi maksimal dalam mencapai ketahanan energi nasional melalui upaya peningkatan produksi, serta upaya penemuan cadangan migas," tuturnya kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (14/12/2021).
Sementara itu, Pri Agung Rakhmanto, Ahli Ekonomi Energi dan Perminyakan Universitas Trisakti dan pendiri ReforMiner Institute, menilai bahwa Pertamina bisa diandalkan untuk bisa mengoptimalkan produksi dan menahan laju penurunan produksi agar tidak terlalu tajam dari lapangan-lapangan yang ada saat ini (existing).
"Selain karena secara risiko lapangan-lapangan tersebut relatif lebih manageable, Pertamina relatif juga "menguasai medan" di dalam negeri dan memiliki spesialisasi dan keunggulan kompetitif maupun komparatif dalam mengelola lapangan-lapangan yang existing atau sudah berproduksi tersebut," jelasnya.
Namun di sisi lain, untuk meningkatkan produksi migas secara signifikan, baik dari lapangan-lapangan baru dalam skala besar maupun dalam proyek-proyek Enhanced Oil Recovery (EOR) skala besar, menurutnya Pertamina tetap perlu berkolaborasi dengan pemain-pemain lain, yang dalam hal ini yang memiliki kemampuan dana dan teknologi dan relatif lebih berani mengambil risiko, mayoritas adalah "raksasa" migas asing alias International Oil Company (IOC) majors.
Dia beralasan, untuk mengelola dan mengembangkan sejumlah blok migas baru yang masih frontier yang belum diketahui potensi dan cadangan terbukti (proven reserves) secara riil ataupun mengembangkan proyek-proyek EOR/ eksploitasi lanjut skala besar, secara relatif memiliki tingkat risiko dan tingkat ketidakpastian yang lebih tinggi dibandingkan mengelola lapangan-lapangan yang telah berproduksi.
"Di situ peran para IOC majors diperlukan, untuk berkolaborasi dan berbagi risiko dengan Pertamina," ucapnya.
Namun demikian, dia pun mengakui biasanya "raksasa" migas asing ini cenderung lebih memilih bertindak langsung sebagai operator atau pengelola lapangan migas, dibandingkan hanya menjadi mitra atau pemegang hak partisipasi.
"Hal itu tentu tergantung kesepakatan B to B (business to business) di antara mereka. Tetapi memang umumnya, mereka (IOCs) akan lebih memilih sebagai operator di dalam partnership itu," pungkasnya.
Seperti diketahui, pemerintah memiliki target untuk mencapai produksi sebesar 1 juta barel per hari (bph) minyak dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) pada 2030 mendatang. Target ini tentunya sangat ambisius dan butuh kerja keras. Pasalnya, produksi migas saat ini masih jauh dari target tersebut, bahkan terus menurun sejak satu dekade terakhir.
Berdasarkan data SKK Migas, realisasi produksi terangkut (lifting) minyak hingga 30 September 2021 mencapai 661,1 ribu barel per hari (bph) atau hanya 93,8% dari target tahun ini 705 ribu bph, dan realisasi salur gas hingga kuartal III 2021 ini tercatat mencapai 5.481 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), atau hanya 97,2% dari target di APBN 2021 sebesar 5.638 MMSCFD.
Sementara lifting migas hingga akhir kuartal III 2021 ini tercatat mencapai 1,64 juta barel setara minyak per hari (boepd), atau hanya 95,8% dari target 1,71 juta boepd.
(wia)