Biden Minta Stop Biayai Migas, RI Kian Sulit Gaet Raksasa AS?

Wilda Asmarini, CNBC Indonesia
Senin, 13/12/2021 18:05 WIB
Foto: Doc. Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintahan Joe Biden telah memerintahkan lembaga pemerintah AS untuk segera menghentikan pembiayaan proyek bahan bakar fosil baru penghasil intensif karbon di luar negeri dan memprioritaskan kolaborasi global untuk menerapkan teknologi energi bersih.

Hal tersebut disampaikan dalam nota diplomatik AS, dikutip dari Reuters, Minggu (12/12/2021).

Informasi yang dilihat oleh Reuters tersebut mengatakan bahwa keterlibatan pemerintah AS harus mencerminkan tujuan yang ditetapkan dalam perintah eksekutif yang dikeluarkan pada awal tahun yang bertujuan untuk mengakhiri dukungan keuangan Amerika untuk proyek energi batu bara dan proyek intensif karbon lainnya di luar negeri.


"Tujuan dari kebijakan ... adalah untuk memastikan bahwa sebagian besar keterlibatan energi internasional AS mempromosikan energi bersih, memajukan teknologi inovatif, meningkatkan daya saing teknologi bersih AS, dan mendukung transisi net-zero, kecuali dalam kasus yang jarang terjadi di mana ada kebijakan nasional yang memaksa, seperti masalah keamanan nasional, geostrategis, atau pengembangan/akses energi dan tidak ada alternatif karbon yang lebih rendah yang dapat mencapai tujuan yang sama," kata informasi tersebut, dikutip dari Reuters, Minggu (12/12/2021).

Kebijakan tersebut mendefinisikan keterlibatan energi internasional "padat karbon" sebagai proyek yang intensitas gas rumah kacanya di atas nilai ambang batas siklus hidup 250 gram karbon dioksida per kilo Watt jam dan termasuk batu bara, gas, atau minyak.

Dengan adanya instruksi ini, tentunya ini akan berdampak pada upaya RI untuk menggaet investor asal Negeri Paman Sam tersebut.

Terlebih, setidaknya dua "raksasa" migas AS menyatakan mundur dari proyek migas di Indonesia, yakni Chevron dan ConocoPhillips.

Chevron melalui unit usahanya, Chevron Indonesia Company (CICO) juga menyatakan akan mundur dari proyek gas laut dalam Indonesia Deep Water Development (IDD) di Kalimantan Timur.

Pihak Chevron menyampaikan bahwa proyek IDD tahap 2 dengan nilai investasi menembus US$ 5 miliar itu tidak dapat bersaing untuk mendapatkan modal dalam portfolio global Chevron.

Sebelumnya, Chevron juga telah menyerahkan pengelolaan blok minyak terbesar kedua di Indonesia, yakni Blok Rokan, Riau, kepada PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) pada 9 Agustus 2021 lalu.

Sementara ConocoPhillips Indonesia Holding Ltd (CIHL) melepas seluruh sahamnya kepada PT Medco Energi Indonesia Tbk (MEDC). CIHL merupakan pemegang 100% saham di Conocophillips Grisik Ltd (CPGL) dan 35% saham di Transasia Pipeline Company Pvt. Ltd. (Transasia). Yang mana, CPGL adalah operator dari Corridor PSC dengan kepemilikan 54% working interest (hak partisipasi).

ConocoPhillips melalui pernyataan resmi perusahaannya angkat bicara atas penjualan aset miliknya di Indonesia. Pada dasarnya penjualan aset 100% ConocoPhillips melalui ConocoPhillips Indonesia Holding Ltd kepada PT Medco Energi International Tbk (MEDC) untuk menambah saham di perusahaan migas Australia.

ConocoPhillips akan menggunakan hasil dari penjualan aset di Indonesia untuk kepentingan kepemilikan saham tambahan di Australia Pacific LNG (APLNG) sebesar 10% dari Origin Energy.

Perlu diketahui, nilai aset Blok Corridor yang dijual ke Medco ini mencapai US$ 1,355 miliar atau sekitar Rp 19,5 triliun (asumsi kurs Rp 14.400 per US$). Sementara, nilai kepemilikan saham tambahan APLNG sebesar 10% dari Origin Energy itu mencapai US$ 1,645 miliar (Rp 24 triliun).

Dengan dilepaskannya seluruh saham di Blok Corridor ini, maka artinya ConocoPhillips tak lagi menjadi operator atau pun mengelola blok migas di Indonesia, baik blok produksi maupun eksplorasi.

Sementara di sisi lain, Indonesia memiliki target untuk meningkatkan produksi menjadi 1 juta barel per hari (bph) minyak dan 12 miliar standar kaki kubik gas per hari (BSCFD) pada 2030 mendatang.

Untuk mencapai target ini tentunya diperlukan sejumlah investor mengingat besarnya modal yang dibutuhkan untuk mencapai target tersebut.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) pun pernah menyebutkan bahwa dana yang dibutuhkan untuk mewujudkan target produksi migas pada 2030 tersebut mencapai sebesar US$ 187 miliar atau sekitar Rp 2.711 triliun (asumsi kurs Rp 14.500 per US$).

Apalagi, hingga kuartal III 2021, lifting migas Indonesia masih jauh dari target tersebut.

Berdasarkan data SKK Migas, realisasi produksi terangkut (lifting) minyak hingga 30 September 2021 mencapai 661,1 ribu barel per hari (bph) atau hanya 93,8% dari target tahun ini 705 ribu bph, dan realisasi salur gas hingga kuartal III 2021 ini tercatat mencapai 5.481 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD), atau hanya 97,2% dari target di APBN 2021 sebesar 5.638 MMSCFD.

Sementara lifting migas hingga akhir kuartal III 2021 ini tercatat mencapai 1,64 juta barel setara minyak per hari (boepd), atau hanya 95,8% dari target 1,71 juta boepd.

Menanggapi kondisi ini, Deputi Perencanaan SKK Migas Benny Lubiantara pun mengakui bahwa adanya transisi energi seperti saat ini, termasuk ketika perusahaan-perusahaan migas mulai menarik diri dari proyek fosil, maka ini akan menjadi tantangan bagi Indonesia untuk menggaet investor "kelas kakap".

"Khawatir sih.. karena di era energi transisi ini, menarik investor hulu global kelas kakap semakin sulit," ungkapnya.

Namun demikian, menurutnya pihaknya terus mengevaluasi secara rutin dari capaian produksi migas nasional dan proyek baru mana saja yang akan mulai beroperasi dan mana yang akan mundur.


(wia)
Saksikan video di bawah ini:

Pertamina: Shifting Impor Minyak Jadi Cara Jitu Negosiasi Tarif Trump