
BPK Bicara Audit 2 BUMN Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada Semester I-2021 menerbitkan laporan hasil pemeriksaan atas pendapatan biaya dan investasi terhadap objek pemeriksaan pada dua Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau anak perusahaan.
Objek pemeriksaan tersebut adalah kegiatan operasional tahun 2017-2019 pada PT Pertamina Patra Niaga/PT PPN.
Objek pemeriksaan lainnya yakni pengelolaan program pensiun, program asuransi (tabungan hari tua/THT), jaminan kecelakaan kerja/JKK, jaminan asuransi kematian/JKM), investasi, pendapatan, dan biaya operasional tahun 2018-2019 pada PT Taspen (Persero).
Khusus pada PT Taspen, BPK menemukan ada permasalahan. Di antaranya PT Taspen melakukan perjanjian dengan PT PNk untuk jual-beli atau divestasi saham PT PTs pada Maret 2005.
Sesuai perjanjian seharusnya telah dibayar lunas pada Desember 2006, namun PT PNk belum melakukan pembayaran. Perjanjian tersebut dibatalkan dan dibuat perjanjian baru di tahun 2016, dengan jangka waktu pelunasan sampai Maret 2020.
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa PT PNk s.d. November 2020 masih belum melunasi hutang divestasi tersebut dengan sisa hutang sebesar Rp 90,91 miliar.
"Hal tersebut mengakibatkan PT Taspen tidak dapat memanfaatkan hasil divestasi saham dan terdapat potensi hutang tidak tertagih," jelas BPK seperti dikutip dalam laporan Ikhtisar Pemeriksaan Semester I (IHPS I) Tahun 2021, dikutip Rabu (8/12/2021).
Sebagai gambaran, divestasi saham adalah pengurangan saham yang dimiliki orang atau perusahaan pada perusahaan tertentu (anak perusahaan) untuk dialihkan ke pihak lain. Pengalihan saham ini biasanya dilakukan dengan cara penjualan saham di perusahaan kepada pihak lain.
Terkait permasalahan ini, BPK merekomendasikan kepada Direksi PT Taspen untuk segera melakukan analisis dan upaya hukum dalam rangka percepatan penyelesaian utang.
Persoalan selanjutnya pada PT Taspen yakni, investasi yang dilakukan PT Taspen terhadap 7 emiten saham belum mengalami peningkatan nilai selama tiga tahun. Selain itu, investasi pada 10 emiten saham mengalami penurunan nilai lebih dari 30%.
Sementara PT Taspen belum memiliki kebijakan yang memadai mengenai saham non produktif yang termasuk kategori 'Dalam Perhatian Khusus' (DPK), serta SOP yang dimiliki belum mendukung langkah-langkah konkrit untuk penyelesaian aset investasi DPK tersebut.
"Hal ini mengakibatkan potensi pengelolaan saham DPK menjadi berlarut-larut tanpa keputusan yang konkrit," jelas BPK.
BPK merekomendasikan kepada Direksi PT Taspen agar mengevaluasi dan menetapkan kebijakan penyelesaian aset investasi DPK.
Adapun pada PT PPN, BPK juga menemukan bahwa PT PPN memiliki piutang macet pada empat customer yang proses penyelesaiannya kurang memadai, karena terdapat selisih pengakuan piutang. Hal tersebut mengakibatkan potensi kerugian atas sengketa pengakuan nilai piutang minimal sebesar Rp 112,26 miliar.
Kemudian persoalan lainnya adalah PT PPN terbukti melakukan penjualan produk bahan bakar mineral (BBM) kepada empat customer secara non tunai tanpa jaminan, yang tidak melalui proses persetujuan Komite Kredit.
Hasil pemeriksaan lebih lanjut diketahui bahwa penjualan kepada 1 customer didukung dengan perjanjian tertulis, sedangkan 3 customer lainnya tanpa didasari perjanjian tertulis dan hanya berdasarkan purchase order.
Sehingga PT PPN tidak dapat mengenakan denda keterlambatan pembayaran karena tidak adanya perjanjian tertulis. Permasalahan tersebut mengakibatkan PT PPN kehilangan potensi penerimaan minimal sebesar Rp 290,96 miliar.
BPK merekomendasikan kepada Direksi PT PPN untuk memberikan sanksi sesuai ketentuan perusahaan kepada pihak terkait atas kelalaiannya dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Secara keseluruhan hasil pemeriksaan atas pendapatan, biaya, dan investasi pada PT PPN dan PT Taspen, BPK mengungkapkan adanya 23 temuan yang memuat 40 permasalahan.
Permasalahan tersebut meliputi 26 kelemahan sistem pengendalian intern, 12 ketidakpatuhan terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan sebesar Rp 245,51 miliar, dan 2 permasalahan ekonomis, efisiensi, dan efektivitas (3E) senilai Rp 6,13 miliar.
(cap/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article BPK Serahkan Hasil Investigasi LPEI & Kemenpora ke Kejagung