Internasional

Covid Minggir, China Pening 'Kiamat Babi' & 'Resesi Seks'

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
24 November 2021 09:07
Peternak babi di Amerika Serikat. (REUTERS/PHIL NOBLE)
Foto: Peternak babi di Amerika Serikat. (REUTERS/PHIL NOBLE)

Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis sepertinya tidak habis-habis mendera China. Setelah negara itu berhasil menurunkan angka kasus Covid-19 dengan aturan yang ketat, kali ini negara pimpinan Presiden Xi Jinping itu harus menghadapi masalah baru yakni 'kiamat babi' dan juga 'resesi seks'.

Kiamat babi sendiri merupakan istilah yang merujuk pada lonjakan tajam harga daging babi. Istilah ini pertama kali digunakan oleh CNN International yang menggambarkan lonjakan harga bahan pangan itu di negara bagian California dan mengancam warga tak bisa mengakses makanan itu.

Di China, harga komoditas pangan itu melonjak sebesar 34,9% secara kumulatif selama lima minggu terakhir. Padahal babi merupakan makanan pokok warga China yang disediakan di meja tiap rumah tangga negeri itu.

"Harga mingguan daging babi grosir mengalami kenaikan selama lima minggu, mencapai 24,02 yuan (Rp 53,6 ribu) per kilogram," sebut Kementerian Pertanian dan Urusan Pedesaan China kepada Global Times, dikutip Selasa (23/11/2021).

Ada faktor penting dibalik kenaikan ini. Seorang pedagang daging di Beijing mengaku permintaan sedang naik tajam untuk cuaca dingin yang sedang berlangsung namun pasokan tidak dapat memenuhi hal itu.

Hal yang sama juga disuarakan oleh salah seorang konsumen. Konsumen bermarga Yan mengatakan bahwa dengan musim dingin yang akan datang, banyak keluarga akan membuat bakso babi dan menyimpan daging babi cincang untuk pangsit.

"Ini meningkatkan permintaan," katanya.

Selain 'kiamat babi', Negeri Panda juga sepertinya mengalami 'resesi seks'. Istilah ini digunakan koresponden CNBC International dalam tulisannya yang menggambarkan menurunnya mood pasangan untuk melakukan hubungan seksual, menikah dan punya anak di AS tahun 2019.

Pada 2020, angka kelahiran China mengalami penurunan yang sangat drastis. Bahkan, angka ini merupakan angka terendah dalam 43 tahun terakhir.

Dalam pemberitaan media resmi China, Global Times kemarin, Biro Statistik Nasional China mengumumkan tingkat kelahiran pada tahun 2020 tercatat 8,52 per seribu orang. Selain itu, badan resmi pemerintah itu mencatat bahwa tingkat pertumbuhan alami populasi menyumbang 1,45 per seribu, nilai terendah dalam 43 tahun.

Mengutip Strait Times yang melansir Bloomberg, tak ada alasan langsung mengapa angka kelahiran turun. Tetapi angka-angka baru mengonfirmasi pertumbuhan populasi di ekonomi nomor dua dunia itu melambat secara dramatis.

Bahkan, jumlah pasangan yang baru menikah di China pada tiga kuartal pertama telah anjlok 17,5% dibandingkan dengan 2019. Selain itu, kemauan kaum muda untuk menikah semakin menurun baik di kota maupun di pedesaan.

Pada Oktober lalu, Liga Pemuda Komunis China mengeluarkan publikasi yang mencatat hampir setengah atau 50% dari wanita muda yang tinggal di perkotaan negeri itu enggan menikah.

Ada beberapa alasan yang menyebabkan keengganan untuk menikah ini. Mulai dari tak punya waktu hingga biaya keuangan pernikahan dan beban ekonomi memiliki anak.

"Mereka yang disurvei mengatakan tidak punya waktu atau energi untuk menikah," kata laporan tersebut.

Sepertiga responden juga mengatakan mereka tidak percaya pada pernikahan. Bahkan dalam persentase yang sama, mereka juga mengatakan tidak pernah jatuh cinta.

Dari seluruh alasan itu, ada juga satu alasan terkait kultur bekerja 9-9-6. Budaya ini adalah posisi bekerja di mana warga bekerja 9 pagi sampai 9 malam, enam hari seminggu.

Budaya ini paling kentara di perusahaan digital seperti Alibaba, Pinduoduo, dan JD.com. Hal ini membuat pekerja merasa terhalang dalam membina keluarga.


(tps/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Omicron Minggir! China Mumet 'Kiamat Babi' & 'Resesi Seks'

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular