INTERNASIONAL

Tiga Pelajaran dari Pandemi Flu Spanyol untuk Melawan Corona

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
22 November 2021 16:00
Dok Florida Memorys/Florida Department of State Division of Library & Information Services/CNN
Foto: Potret masyarakat saat Flu Spanyol (Dok Florida Memorys/Florida Department of State Division of Library & Information Services/CNN)

Jakarta, CNBC Indonesia - Jauh sebelum adanya pandemi Covid-19, dunia sempat digegerkan oleh pandemi influenza tahun 1918. Virus yang sering kali disebut "Flu Spanyol" ini, meskipun tidak berasal dari Spanyol, berhasil menewaskan lebih dari 50 juta orang di seluruh dunia.

"Intensitas dan kecepatan yang melanda hampir tak terbayangkan - menginfeksi sepertiga dari populasi bumi," kata Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dikutip dari CNN International.

Rupanya, beberapa pelajaran yang dipetik dari pandemi 1918 masih relevan hingga saat ini, dan bahkan dapat membantu mencegah infeksi semakin meluas. Berikut tiga pelajaran untuk menghindari "malapetaka" dunia ini.

1. Tidak terlalu cepat meninggalkan social distancing dan melepas masker

Para ahli epidemiologi mengatakan masyarakat berhenti menjaga jarak (social distancing) terlalu dini selama pandemi flu 1918. Alhasil gelombang kedua infeksi jadi jauh lebih mematikan daripada yang pertama.

Faktanya, satu pertemuan besar menjelang akhir gelombang pertama pada tahun 1918 membantu memicu gelombang kedua yang lebih mematikan.

Ahli Epidemiologi Dr Larry Brilliant mengatakan, saat itu San Francisco di Amerika Serikat (AS) langsung membuka kotanya sesaat setelah jumlah kasus infeksi hampir nol. Masyarakat berbondong-bondong melepas masker mereka.

"Dua bulan kemudian, karena peristiwa itu, influenza hebat kembali lagi menderu," kata Dr Brilliant.

Philadelphia di AS juga mengalami nasib serupa. Meskipun 600 pelaut dari Philadelphia Navy Yard terkena virus pada September 1918, kota itu tidak membatalkan parade yang dijadwalkan pada 28 September 1918.

Kota tersebut langsung memiliki 635 kasus baru flu tiga hari kemudian, menurut Pusat Arsip & Catatan Universitas Pennsylvania.

"Dengan cepat, Philadelphia menjadi kota dengan angka kematian influenza tertinggi di AS," kata penelitian, menambahkan St. Louis yang menjadwalkan parade serupa tetapi kemudian membatalkannya bernasib jauh lebih baik.

2. Reaksi berlebihan sistem kekebalan orang dewasa muda sehat bisa memakan korban

John M. Barry, seorang profesor di Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Tropis Universitas Tulane mengatakan, pandemi tahun 1918 menewaskan banyak orang dewasa muda yang sehat.

"Sekitar dua pertiga dari kematian saat itu terjadi pada orang berusia 18 hingga 50 tahun, dan usia puncak kematian adalah 28 tahun," kata Barry, penulis buku 'The Great Influenza: The Story of the Deadliest Pandemic in History'.

Dapat dikatakan orang muda yang sehat tidak terkalahkan saat pandemi, tetapi sistem kekebalan mereka yang kuat mungkin bekerja melawan mereka.

"Melihat kembali pandemi 1918, para ilmuwan sekarang percaya bahwa reaksi berlebihan sistem kekebalan berkontribusi pada tingkat kematian yang tinggi di antara orang dewasa muda yang sehat pada tahun 1918," tulis Dr. Richard Gunderman, seorang profesor kedokteran di Universitas Indiana.

Sementara Kepala Koresponden Medis CNN Dr. Sanjay Gupta mengatakan satu abad setelah pandemi itu, sistem kekebalan hiperaktif juga dapat berkontribusi pada kematian orang muda akibat virus corona. Menurutnya, respons yang terlalu kuat ini sering disebut badai sitokin.

"Pada beberapa orang muda yang sehat, sistem kekebalan yang sangat reaktif dapat menyebabkan badai inflamasi besar yang dapat membanjiri paru-paru dan organ lainnya," kata Gupta.

"Dalam kasus-kasus itu, bukan sistem kekebalan yang menua atau melemah yang menjadi masalah - itu adalah salah satu yang bekerja terlalu baik."

3. Tidak menggunakan obat yang belum terbukti pada virus

Pada tahun 1918, pengobatan saat pandemi sangat bervariasi. Mulai dari obat yang baru dikembangkan hingga minyak dan herbal, menurut sebuah catatan penelitian Universitas Stanford.

"Terapi itu jauh lebih ilmiah daripada diagnostik, karena obat-obatan itu tidak memiliki teori tindakan yang jelas," menurut penelitian tersebut.

Pada tahun 2020, ada spekulasi luas tentang apakah hydroxychloroquine, obat yang digunakan untuk mengobati malaria, lupus, dan rheumatoid arthritis, dapat membantu pasien virus corona.

Namun sebuah studi belum ini menemukan hydroxychloroquine tidak membantu pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit. Sebaliknya, beberapa pasien yang mengkonsumsi obat ini mengembangkan ritme jantung yang tidak normal.

"Ini memberikan bukti bahwa hydroxychloroquine tampaknya tidak mengobati pasien dengan Covid 19. Lebih buruk lagi, ada efek samping yang disebabkan oleh obat, toksisitas jantung yang mengharuskannya dihentikan," kata Dr. Paul Offit, seorang dokter spesialis penyakit menular di Children's Hospital of Philadelphia.

Dokter di Brasil dan Swedia juga mengkhawatirkan penggunaan klorokuin, obat yang sangat mirip dengan hidroksiklorokuin, pada pasien virus corona karena masalah jantung.

Intinya masih belum jelas apakah beberapa obat akan menyebabkan lebih banyak kerugian daripada kebaikan dalam perang melawan virus corona.


(tfa/tfa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tahun Baru, Kasus Covid-19 di Australia Cetak Rekor Baru

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular