Sektor Industri Disebut Hadapi Banyak Tantangan di 2022
Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Indonesia diprediksi masih dalam fase pemulihan pada 2022. Permintaan pada segmen industri diperkirakan akan mengalami perbaikan tahun depan, seiring dengan perbaikan ekonomi global.
"Pada tahun 2022, kami berharap seluruh industri akan pulih secara bertahap seiring dengan perbaikan ekonomi global dan domestik. Menurunnya jumlah kasus baru COVID-19 dan pelonggaran pembatasan mobilitas menjadi pendorong utama meningkatnya permintaan produk industri," kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, dalam webinar Economic Outlook 2022, Rabu (17/11/2021).
Meski demikian, dia tidak memungkiri masih ada berbagai tantangan yang akan dihadapi sektor industri pada masa pemulihan. Josua mengatakan tantangan pertama adalah realisasi tapering dan kenaikan suku bunga pada 2022 yang bakal memperkuat nilai dolar terhadap rupiah.
"Dolar Amerika Serikat yang kuat akan menekan kinerja industri yang mengandalkan bahan baku impor, dan produknya ditujukan untuk pasar domestik," kata Josua.
Sementara itu, kenaikan suku bunga berpotensi meningkatkan beban keuangan industri. Harga bahan baku dan energi secara global sedang dalam tren meningkat. Akibatnya, biaya produksi industri akan meningkat ke depannya.
Menurutnya pelaku industri dapat melewati kenaikan harga bahan baku ke konsumen yang menyebabkan pada inflasi.
"Namun, dalam kondisi pemulihan ekonomi pasca pandemi COVID-19, kami memperkirakan kemampuan konsumen menyerap kenaikan harga akan terbatas," kata dia.
Josua mengatakan rantai pasok di tingkat global bukan menjadi tantangan. Namun, masalah logistik karena ketersediaan kontainer akan menghambat aliran bahan baku ke seluruh dunia.
"Selain itu, isu semikonduktor yang menjadi bahan baku industri besar dunia, khususnya otomotif dan elektronik, dapat menghambat laju peningkatan output industri pengolahan," jelasnya.
Tantangan selanjutnya adalah penerapan pajak karbon pada 2022. Dia menilai efek pajak karbon pada industri akan memburuk jika negara lain belum sepenuhnya menerapkan pajak karbon.
"Ini karena biaya produksi kita akan meningkat dibandingkan dengan negara lain. Kebijakan tersebut dapat meningkatkan biaya produksi bagi sektor industri," ungkapnya.
(rah/rah)