
PLTU Stop & EBT Masif, Siap-Siap BPP-Subsidi Listrik Bengkak!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah RI tidak main-main untuk segera keluar dari bisnis batu bara. Sekitar 9,2 Giga Watt (GW) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara akan dipensiunkan lebih awal sebelum 2030 sebagaimana disampaikan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif.
Target ini sangat ambisius karena jauh di atas rencana PT PLN (Persero) yang hanya berencana memensiunkan 1 GW dan bahkan masih lebih tinggi dari yang disebutkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati 5,5 GW.
Selain itu, pemerintah saat ini tengah berupaya mencapai bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025 mendatang dari saat ini capaiannya baru sekitar 11%.
Di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030, penambahan pembangkit listrik EBT pun lebih mendominasi.
Pemerintah menargetkan ada tambahan pembangkit listrik baru selama 2021-2030 sebesar 40,6 GW, di mana pembangkit berbasis EBT mencapai 20,9 GW atau 51,6% dan pembangkit listrik berbasis energi fosil sebesar 48,4% atau 19,7 GW.
Akan tetapi, kebijakan EBT yang digencarkan oleh pemerintah akan berdampak pada kenaikan Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik hingga subsidi listrik.
"Kebijakan-kebijakan yang dibuat pemerintah akan sangat berpengaruh pada BPP, terutama kebijakan bauran EBT 23% pada 2025. BPP diproyeksikan akan meningkat signifikan pada tahun 2025 sehubungan dengan upaya untuk memenuhi kebijakan pemerintah terkait bauran energi dari EBT di atas 23% pada tahun 2025," dikutip dari dokumen RUPTL 2021-2030 tersebut.
BPP listrik pada 2025-2030 diperkirakan akan melonjak menjadi Rp 1.637 per kilo Watt hour (kWh) dari Rp 1.445 per kWh pada 2021-2024.
"Rata-rata BPP pada tahun 2021-2024 sebesar Rp 1.445/kWh dan meningkat menjadi rata-rata sebesar Rp 1.637/kWh pada tahun 2025-2030 untuk memenuhi target EBT 23% mulai tahun 2025," tulis RUPTL 2021-2030.
Berikut perkiraan BPP listrik dalam RUPTL 2021-2030:
Dengan asumsi tarif rata-rata tetap pada periode 2021-2030, sebesar Rp 1.127/kWh, maka BPP rata-rata listrik dari tahun ke tahun sebagai berikut:
- Tahun 2021 Rp 1.423 per kWh
- Tahun 2022 Rp 1.384 per kWh
- Tahun 2023 Rp 1.443 per kWh
- Tahun 2024 Rp 1.529 per kWh
- Tahun 2025 Rp 1.689 per kWh
- Tahun 2026 Rp 1.685 per kWh
- Tahun 2027 Rp 1.647 per KWh
- Tahun 2028 Rp 1.616 per kWh
- Tahun 2029 Rp 1.601 per kWh
- Tahun 2030 Rp 1.583 per kWh.
Tak hanya di sisi BPP listrik, subsidi listrik pun akan mengalami lonjakan serupa. Seperti diketahui, selama ini kebijakan tarif tenaga listrik dikendalikan oleh pemerintah, sehingga ada konsekuensi apabila BPP yang terdiri dari biaya operasi dan biaya pinjaman lebih tinggi dari tarif jual tenaga listrik, maka selisih tersebut akan ditanggung oleh pemerintah, dalam bentuk subsidi.
Kebutuhan subsidi listrik diperkirakan akan terus mengalami kenaikan, di mana pada 2021 kebutuhan subsidi dan kompensasi diperkirakan sebesar Rp 72 triliun, dan ini akan meningkat menjadi Rp 187 triliun pada 2030.
"Rata-rata subsidi dan kompensasi tahun 2021-2024 sebesar Rp 91 triliun per tahun, namun dengan pencapaian target EBT 23% di 2025, akan meningkat menjadi rata-rata Rp 186 triliun per tahun pada 2025-2030," tulis RUPTL 2021-2030.
Berikut perkiraan subsidi listrik dalam RUPTL 2021-2030:
- Tahun 2021 Rp 48,7 triliun
- Tahun 2022 Rp 55,8 triliun
- Tahun 2023 Rp 65,5 triliun
- Tahun 2024 Rp 79,2 triliun
- Tahun 2025 Rp 103,5 triliun
- Tahun 2026 Rp 108,3 triliun
- Tahun 2027 Rp 108,2 triliun
- Tahun 2028 Rp 108,7 triliun
- Tahun 2029 Rp 111,4 triliun
- Tahun 2030 Rp 113,6 triliun
Seperti diketahui, pemerintah saat ini sedang menyusun Rancangan Peraturan Presiden (RPerpres) mengenai tarif pembelian tenaga listrik berbasis energi terbarukan oleh PT PLN (Persero).
Salah satu substansi penting dari Rancangan Perpres ini adalah pemberian biaya penggantian bagi PT PLN (Persero) apabila pembelian listrik energi terbarukan menyebabkan peningkatan BPP listrik PLN.
Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Aneka Energi Baru dan Energi Terbarukan Direktorat Jenderal EBTKE Kementerian ESDM Chrisnawan Anditya.
Dia menjelaskan, pemerintah akan membayar selisih jika harga listrik dari energi terbarukan lebih mahal dari BPP setempat.
"Jadi kalau harga jual US$ 10 sen, BPP di setempat US$ 8 sen, maka US$ 2 sen per kWh akan diberikan negara ke PLN," ungkapnya dalam webinar 'Menuju COP26 Glasgow' baru-baru ini, dikutip Selasa (02/11/2021).
Selain pemerintah yang siap nombok, RPerpres energi terbarukan ini juga mengatur kewajiban PT PLN (Persero) untuk membeli listrik dari pembangkit energi terbarukan.
"Kami sedang menunggu RPerpres, di dalam RPerpres ini ada proses transparansi yang lebih baik di mana kita wajibkan PLN membeli listrik dari pembangkit energi terbarukan," lanjutnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Gencarkan Transisi Energi, Tapi Kapasitas PLTU Batu Bara RI Naik!
