La Nina di Depan Mata, Waspada Sektor Pangan RI Kena Parah!
Jakarta, CNBC Indonesia - Menjelang akhir tahun, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan bakal terjadinya fenomena La Nina, saat curah hujan sangat tinggi dari biasanya.
Pemerintah harus menaruh perhatian yang besar pada sektor pangan, tujuannya demi meminimalisir potensi terjadinya kerugian besar. Bila tak diantisipasi maka dampaknya pada produksi pangan.
Sayang, kalangan petani menilai saat ini belum ada persiapan yang maksimal. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Tebu Republik Indonesia (APTRI) Soemitro Samadikun mengungkapkan bahwa gairah petani pun turun dari hari ke hari.
Pilihan Redaksi |
"Pemerintah harus tanggap (antisipasi La Nina), untuk itu kebutuhan petani harus tepat waktu, pupuk tepat waktu, tepat jenis dan tepat jumlah. Sekarang cari pupuk susah ini. Sudah nggak ada pupuk subsidi. 90% bahkan banyak yang 100% menggunakan pupuk non subsidi," katanya kepada CNBC Indonesia, Senin (1/11/21).
Ia menyebut telah melakukan sejumlah kunjungan ke beberapa wilayah Subang, Madiun, hingga Malang, dan sebagian besar mengeluhkan kekurangan pupuk. Hal seperti ini yang berpotensi membuat produksi tidak berjalan optimal dalam menghadapi la nina. Selain berpotensi mengurangi produksi, kualitas rendemen tebu pun bakal menurun.
"Kalau merawatnya bagus dengan makin banyak air diuntungkan, tapi pupuknya aja susah, biaya perawatan nggak ada masih bingung cari utangan, ya hujan akan berlalu atau jadi angin lalu. Tapi kalau pupuk tepat waktu, ada traktor, kebutuhannya ada, maka akan jadi menguntungkan. Pemerintah yang harus merubah sikap ke kita," sebut Soemitro.
Pemerintah perlu mengambil langkah cepat dalam menyikapi masalah ini. Pasalnya, La Nina tahun ini diprediksikan relatif sama dan akan berdampak pada peningkatan curah hujan bulanan berkisar antara 20 - 70% di atas normalnya.
"Pemerintah harus memberi perhatian lebih di kedua sektor tersebut, karena dampaknya akan mengancam ketahanan pangan karena berpotensi merusak tanaman akibat banjir, hama dan penyakit tanaman, serta juga mengurangi kualitas produk karena tingginya kadar air," ungkap Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati dalam keterangan tertulis, dikutip Jumat (29/10/2021).
(hoi/hoi)