Ini Kronologi Gugatan UU Minerba Sampai Akhirnya Ditolak MK

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
Kamis, 28/10/2021 19:14 WIB
Foto: Cover Topik/Tambang Nikel/Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya menolak uji formil Undang-Undang No.3 tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba) kemarin, Rabu (27/10/2021).

Ahmad Redi, salah satu tim pengacara penggugat uji formil UU Minerba, mengatakan bahwa penolakan ini berdasarkan sidang putusan tertanggal 27 Oktober 2021.

"Pengujian formil ditolak, tapi ada tiga hakim yang dissenting opinion," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (28/10/2021).


Dia mengatakan, ada tiga hakim menyatakan bahwa seharusnya permohonan pengujian formil UU Minerba dikabulkan. Tiga hakim tersebut di antaranya Saldi Isra, Wahiduddin Adams, dan Suhartoyo.

"Enam hakim lain menyatakan bahwa permohonan ditolak," ungkapnya.

Gugatan UU No.3 tahun 2020 tentang Minerba ini berjalan cukup panjang, mencapai lebih dari setahun lamanya sejak gugatan diajukan. Seperti diketahui, DPR RI telah menyetujui UU Minerba ini dalam Sidang Paripurna DPR pada 12 Mei 2021.

Lalu, pada 10 Juni 2020 Presiden Joko Widodo (Jokowi) pun mengesahkan UU No.3 tahun 2020 ini dan akhirnya UU Minerba ini berlaku sejak tanggal diundangkan pada tanggal yang sama, 10 Juni 2020.

Tepat satu bulan setelah disahkan menjadi Undang-Undang, beberapa pihak mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Adapun para Pemohon yang akan mengajukan Permohonan Pengujian UU No.3 Tahun 2020 untuk pertama kali ke MK yaitu:
1. Dr. H. Erzaldi Rosman Djohan, S.E (Gubernur Kepulauan Bangka Belitung)
2. Dr. H. Alirman Sori, S.H (Ketua PPUU DPD RI)
3. Tamsil Linrung (anggota DPD RI)
4. Dr. Hamdan Zoelva, S.H (Perkumpulan Serikat Islam)
5. Dr. Marwan Batubara (IRESS)
6. Ir. Budi Santoso (IMW)
7. Ilham Rifki Nurfajar (Sekretaris Jenderal Perhimpunan Mahasiswa Pertambangan)
8. M. Andrean Saefudin (Ketua Umum Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia).

Salah satu penggugat ditemui di Gedung MK yakni Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Erzaldi Rosman Djohan mengatakan uji formil ini perlu karena pihaknya sebagai pemerintah daerah merasa tidak pernah diajak untuk berkonsultasi dalam penyusunan Undang-Undang ini.

"Intinya kami dari pemerintah daerah mengajukan uji formil ini semata-mata kami ingin daerah itu dilibatkan dalam menyusun UU karena ini perlu urusan sumber daya alam ini sangat-sangat sensitif," ungkapnya, Jumat (10/7/2020).

Menurutnya, ada satu pasal yang membuat kreativitas pemerintah daerah akan sangat terkekang. Saat ini Bangka Belitung sedang bertransformasi dari pertambangan ke pariwisata.

Lebih lanjut ia mengatakan jika sudah melakukan perubahan transformasi untuk daerah sendiri kaitannya dengan tata ruang juga harus dilakukan perubahan.

"Saya ambil contoh pasal 35 mengenai tata ruang, tata ruang itu kata-katanya pemerintah daerah menjamin tidak merubah tata ruangnya untuk pertambangan. Waktu kita mengesahkan Perda RZWP-3-K tata ruang laut karena di laut pun ada pertambangan sehingga konflik dengan masyarakat nelayan konflik dengan masyarakat pesisir sangat tinggi menyusun Perda itu pun butuh waktu 4 tahun, terlebih lagi ketika kami mempunyai visi dan misi mentransformasi mining ke tourism," jelasnya.

Meski gugatan sudah diajukan sejak Juli 2020, namun proses sidang sempat tertunda berkali-kali, terutama karena adanya sidang sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

Ahmad Redi, salah satu tim pengacara penggugat UU Minerba mengatakan sidang sudah beberapa kali digelar, namun sidang UU Minerba ini dia sebut tidak menjadi prioritas oleh MK.

Menurutnya, MK lebih memprioritaskan pemeriksaan sengketa Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dibandingkan permohonan pengujian UU Minerba. Padahal, imbuhnya, pengujian UU Minerba telah terlebih dahulu didaftarkan dan diperiksa dalam persidangan oleh MK.

"Namun, ini justru dikesampingkan dengan mendahulukan perkara lain. MK menunda sampai batas waktu yang tidak jelas," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (05/01/2021).

Redi berpendangan langkah penundaan yang diambil MK tidak sesuai dengan etika administrasi, yakni pertama datang, pertama dilayani. Redi menyebut UU Minerba ini adalah UU yang penting untuk segera diberikan kepastian konstitusinya.

"Selain itu, permohonan putusan sela ke MK agar pemberlakuan UU Minerba ditunda dulu oleh Presiden juga tidak jelas, padahal ada kepentingan konstitusionalitas warga negara dalam permohonan putusan sela ini," tegasnya.

Secara pribadi, Redi berpandangan bahwa manajemen perkara dan pemenuhan kebutuhan hukum atas hak konstitusional warga negara di MK tidak jelas.

"Ada penegasian kepentingan hukum warga negara lain dengan memberi prioritas pada perkara lain," sesalnya.


UU Minerba Kembali Digugat!

Selanjutnya, gugatan lainnya juga muncul dari Koalisi Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Gerakan #BersihkanIndonesia. Pada Senin (21/06/2021), Koalisi Masyarakat Sipil ini mengajukan uji materiil atau judicial review (JR) atas UU Minerba.

Uji materiil ini diajukan oleh dua warga dan dua lembaga masyarakat sipil, yakni Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur. Sementara dua warga sebagai pemohon yaitu Nurul Aini (46), warga dari Desa Sumberagung, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, dan Yaman, nelayan dari Desa Matras, Kabupaten Sungailiat, Bangka Belitung.

Adapun sejumlah pasal dalam UU Minerba yang digugat ini antara lain berkaitan dengan sentralisasi kewenangan dalam penyelenggaraan penguasaan minerba, jaminan operasi industri pertambangan meski bertentangan dengan tata ruang, perpanjangan izin otomatis atas Kontrak Karya dan PKP2B tanpa evaluasi dan lelang, serta pasal pembungkaman hak veto rakyat yang tidak setuju terhadap keberadaan proyek pertambangan dari hulu hingga hilirnya di pembangkitan.

Salah satu pasal yang disoroti adalah Pasal 162, yang berdampak pada banyaknya kriminalisasi pada warga.

Pasal ini berbunyi "Setiap orang yang merintangi atau mengganggu kegiatan Usaha Pertambangan dari pemegang IUP, IUPK, IPR atau SIPB yang telah memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 136 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)."

Dalam keterangannya yang ditayangkan melalui akun YouTube, Senin (21/06/2021), Lasma Natalia, Penasehat Hukum Penggugat dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung mengatakan, ada beberapa hal yang digarisbawahi dalam pengajuan judicial review ini.

Pertama, soal pasal kewenangan dari daerah yang dialihkan ke pusat."Kewenangan berpindah hambat akses masyarakat di daerah yang berhadapan langsung dengan kegiatan pertambangan tersebut," ungkapnya.

Lalu, terkait adanya jaminan di dalam Undang-Undang untuk operasi tambang. Jaminan tersebut menurutnya tidak pada prinsip hidup yang baik. Menurutnya, mestinya warga diberikan ruang aspirasi dan kerugian yang dialami sebagai evaluasi.

"Jaminan otomatis Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) jadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), masalah karena nggak ada proses evaluasi dan negara malah berikan jaminan," tegasnya.

Kemudian, terkait pasal pidana yang digunakan untuk mengkriminalisasi warga yang menolak pertambangan. Dia mengatakan, ada beberapa warga yang dilaporkan dengan Pasal 162.

"Pasal pidana digunakan untuk kriminalisasi warga yang menolak pertambangan, ada warga lain yang jadi terlapor pakai pasal 162," ungkapnya.

Nurul Aini, Warga Desa Sumberagung, Banyuwangi sebagai pemohon JR mengatakan bahwa dirinya mengajukan JR ke MK dengan alasan kerusakan lingkungan yang semakin parah. Lalu, masalah kriminalisasi, dia mengaku menjadi salah satu korban.

"Kalau masalah intimidasi sudah biasa. Seolah-olah saya menghalangi aktivitas pertambangan. Preman tambang (yang intimidasi) istilahnya saya mau dibakar rumah saya," paparnya bercerita.

Dia menegaskan bahwa dirinya menolak tambang yang ada di wilayah Tumpang Pitu karena akibat pertambangan ini, lingkungannya menjadi rusak. Sama seperti gugatan yang pertama dilakukan, gugatan dari Gerakan #BersihkanIndonesia juga sudah melangsungkan sidang.

"Gunungnya hancur, dulu Tumpang Pitu serapan air, sekarang kalau kemarau sudah gak ada air. Itu juga terganggu soal ketersediaan air," lanjutnya.


MK Menganggap UU Minerba Sah, dan Menolak Gugatan

Setelah semua gugatan diterima MK dan beberapa kali sidang digelar dengan menghadirkan beberapa saksi, ahli dan lainnya, MK akhirnya menolak gugatan. Penolakan dilakukan MK setelah sekitar 1,5 tahun UU Minerba disahkan.

Mengenai penolakan ini, Ahmad Redi mengatakan bahwa penolakan ini berdasarkan sidang putusan tertanggal 27 Oktober 2021.

"Pengujian formil ditolak, tapi ada tiga hakim yang dissenting opinion," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Kamis (28/10/2021).

Dia mengatakan, ada tiga hakim menyatakan bahwa seharusnya permohonan pengujian formil UU Minerba dikabulkan. Tiga hakim tersebut di antaranya Saldi Isra, Wahiduddin Adams, dan Suhartoyo.

"Enam hakim lain menyatakan bahwa permohonan ditolak," ungkapnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, pihaknya tidak akan melakukan upaya hukum lagi karena putusan MK memiliki sifat final dan mengikat (final and binding).

"Sudah tidak ada upaya hukum. Putusan MK final and binding," lanjutnya.


(wia)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Tambang Kerap Diterpa Isu Lingkungan, Begini Saran DPR