Ada Tax Amnesty II Berarti Pemerintah Menjilat Ludah Sendiri!

MAIKEL JEFRIANDO, CNBC Indonesia
Sabtu, 02/10/2021 15:10 WIB
Foto: Infografis/Ini Insentif Pajak yang Sudah Diobral Jokowi Feat Sri Mulyani/Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Program pengampunan pajak alias tax amnesty jilid II akan terwujud pada 1 Januari 2022 mendatang. Hal ini menyusul disepakatinya Rancangan Undang-Undang (RUU) Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

RUU HPP akan segera disahkan pada sidang Paripurna DPR pekan depan.

Kebijakan tersebut memang cukup mencengangkan. Apalagi bila mengingat pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2016 lalu, ketika diselenggarakannya tax amnesty.


"Kesempatan ini tidak akan terulang lagi. Jadi tax amnesty adalah kesempatan yang tidak akan terulang lagi. Ini yang terakhir. Yang mau gunakan silakan, yang tidak maka hati-hati," kata Jokowi.

Jokowi juga menekankan, bagi siapa saja yang tidak ikut maka pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan mengejar para pengemplang tersebut tanpa memberikan ampunan lagi. Klaim pemerintah waktu itu, sudah memiliki data pengemplang yang akan dituju.

Pernyataan yang senada juga sempat diungkapkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Kebijakan yang seharusnya dilakukan adalah dengan mengejar orang yang tidak mengikuti tax amnesty.

"Ya, kalau mereka selama ini masih memiliki harta yang belum disampaikan, sebaiknya ikut tax amnesty. Kalau tidak, nanti mereka harus membayar sesuai dengan tarif normal, itu saja yang kami lakukan.

Direktur Eksekutif Insitute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Tauhid berpandangan, kebijakan ini adalah bentuk ketidakkonsistenan pemerintah. Padahal dasar penting dalam perpajakan adalah kepercayaan.

"Saya setuju disebut menjilat ludah sendiri. Seharusnya komitmen lah apa yang disampaikan beberapa tahun lalu, bahwa ini penting," ujarnya kepada CNBC Indonesia.

Ada beberapa alasan perihal kebijakan ini tidak layak untuk diulangi. Di antaranya jarang yang terlalu dekat dengan tax amnesty sebelumnya, yakni pada 2016 lalu.

Selanjutnya, baik ketika tax amnesty sekalipun sunset policy pada 2008, tingkat kepatuhan wajib pajak juga tidak meningkat. Ada penerimaan memang yang berlebih ketika kebijakan dilaksanakan. Namun setelahnya penerimaan kembali merosot.

Buktinya adalah penerimaan pajak yang tidak pernah lagi mencapai target dan rasio pajak yang kini di level 8%.

Alasan lain yang juga penting adalah merusak kepercayaan wajib pajak yang tekah patuh. Mereka bisa berdalih tidak lagi menjalankan kewajiban yang seharusnya, baik itu membayar maupun melaporkan.

"Pada akhirnya akan menurunkan orang bayar pajak tepat waktu sesuai dengan apa yang ditentukan. Seperti halnya banyak sumber penerimaan pajak, nunggu ada pemutihan, dan orang akan menunda dan menunggu tax amnesty," terangnya.

Ahmad menduga ada desakan secara politik ataupun pihak berkepentingan lainnya. Akan tetapi bukan berarti pemerintah mengabaikan kepentingan publik secara luas dan berpihak pada segelintir kelompok.

"Jadi aji mumpung dan tidak pas, atas nama situasi pandemi semuanya jadi serba salah langkah. Kita gak bisa memiliki sistem KUP dan perpajakan yang agak revolusioner karena sepotong-sepotong," paparnya.


(mij/wia)
Saksikan video di bawah ini:

Video: DJP Tegaskan Pemungutan PPH di E-Commerce Bukan Pajak Baru