Internasional

Bencana Baru Pasca Covid Kian Nyata, Efeknya Mematikan

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
24 August 2021 09:07
A general view shows 100,000 postcards with messages against climate change, sent by young people from all over the world and stuck together to break the Guinness World Record of the biggest postcard on the Jungfraufirn, the upper part of Europe's longest glacier, the Aletschgletscher, near Jungfraujoch, Switzerland November 16, 2018.   REUTERS/Arnd Wiegmann
Foto: Sebuah pandangan umum menunjukkan 100.000 kartu pos dengan pesan-pesan menentang perubahan iklim, yang dikirim oleh orang-orang muda dari seluruh dunia dan berkumpul bersama untuk memecahkan Rekor Dunia Guinness dari kartu pos terbesar di Jungfraufirn, bagian atas gletser terpanjang di Eropa, Aletschgletscher, dekat Jungfraujoch, Swiss 16 November 2018. REUTERS / Arnd Wiegmann

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebuah studi internasional meminta penduduk bumi bersiaga pada bencana baru selain Covid-19. Bahkan bencana itu sudah mulai terlihat saat ini dan bisa lebih mematikan.

Ancaman itu merujuk ke perubahan iklim atau climate change. Dalam studi terbaru di Eropa, perubahan iklim bisa membuat hujan dan banjir mematikan terjadi sembilan kali lebih sering di benua biru.

Juli lalu, Jerman dan Belgia dilanda banjir besar. Sebanyak 190 orang tewas dalam banjir parah di Jerman barat dan 38 orang tewas setelah hujan ekstrem di wilayah Wallonia selatan Belgia.

Penelitian mengaitkan kejadian ini. Hal serupa dengan korban jiwa makin banyak bisa lebih sering terjadi.

Laporan studi yang diterbitkan Selasa (24/8/2021) ini dilakukan dengan ilmu atribusi. Para ahli iklim kini menghubungkan perubahan iklim yang "dibuat manusia" dengan peristiwa cuaca ekstrem tertentu.

Untuk menghitung peran perubahan iklim pada curah hujan yang menyebabkan banjir, para ilmuwan menganalisis catatan cuaca dan simulasi komputer untuk membandingkan iklim hari ini dengan iklim masa lalu. Saat ini suhu 1,2 derajat Celcius lebih hangat karena emisi buatan manusia.

Mereka berfokus pada tingkat curah hujan satu dan dua hari. Mereka menemukan bahwa dua daerah yang terkena dampak paling parah mengalami curah hujan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

Di wilayah Ahr dan Erft di Jerman misalnya, 93 millimeter (3,6 inci) hujan turun dalam satu hari pada puncak krisis. Wilayah Meuse di Belgia mengalami hujan 106 millimeter yang memecahkan rekor selama periode dua hari.

Mereka menghitung bahwa banjir antara 1,2 dan sembilan kali lebih mungkin terjadi di iklim hangat. Ini jika dibandingkan dengan skenario di mana tidak ada pemanasan sejak era pra-industri.

Sehingga menurut penelitian yang diselenggarakan oleh World Weather Attribution ini, hujan di Jerman dan wilayah Benelux kini antara 3-19% lebih berat. "Karena pemanasan global yang disebabkan manusia," tulis AFP mengutip peneliti.

Dengan menganalisis pola curah hujan lokal di seluruh Eropa Barat tersebut, penulis studi juga memperkirakan kemungkinan peristiwa serupa dengan banjir bulan lalu terjadi lagi. Ini bisa terjadi di daerah mana pun di Eropa, bahkan di seluruh Eropa Barat dalam jangka waktu tersebut.

"Perubahan iklim meningkatkan kemungkinan (banjir), tetapi perubahan iklim juga meningkatkan intensitasnya," kata seorang pakar cuaca di badan pemerintah Jerman, Frank Kreienkamp, dikutip media yang sama.

Sementara itu, Direktur Asosiasi Institut Perubahan Lingkungan Universitas Oxford Friederike Otto, mengatakan banjir menunjukkan bahwa bahkan negara-negara maju tidak aman dari bencana ini. Dampak parah cuaca ekstrem memburuk dengan perubahan iklim.

"Ini adalah tantangan global yang mendesak dan kita perlu melangkah ke sana. Ilmunya jelas dan sudah bertahun-tahun," katanya.

Para ilmuwan juga mengatakan bahwa mereka fokus pada curah hujan dalam penelitian ini. Karena data ketinggian sungai hilang setelah beberapa stasiun pengukuran hanyut terbawa banjir.


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Muncul yang Lebih Ngeri dari Covid, Tokoh Agama Turun Tangan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular