
Produk Negara Lain Bikin Was-Was Pengusaha RI, Ini Sebabnya

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah Indonesia melalui Komite Anti Dumping Indonesia (KADI) Kementerian Perdagangan tengah melakukan penyelidikan sunset review anti dumping atas barang impor Polyester Staple Fiber (PSF), dengan nomor pos tarif 5503.20.00, yang berasal dari India, Republik Rakyat Tiongkok (RRT), dan Taiwan, berdasarkan PMK No. 114/PMK.010/2019.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta menilai penyelidikan tersebut penting demi melindungi pasar dalam negeri. Jika tidak, maka harga PSF impor bakal lebih murah karena mendapat dukungan dari pemerintah di negara asal. BMAD pada produk PSF ini sudah berlangsung selama 8 tahun terakhir.
"Cost based kalau perlakuan fair sama. Artinya misal harga bahan baku sama, cost produksi nggak jauh beda jadi harga keluar pabrik dibilang sama. Tapi begitu dia stok banyak, dia harus buang, dia mulai dumping," kata Redma kepada CNBC Indonesia, Kamis (19/8).
Nilai dumping berkisar di angka 10%, namun tidak sampai di situ, importir juga memanfaatkan fasilitas subsidi ekspor (export VAT rebate) dari negara asalnya. Ada juga produsen atau importir yang menjual produk lebih murah dari harga produksi karena mengambil keuntungan dari fasilitas subsidi ekspor yang diberikan pemerintahnya.
"Begitu dapat ekspor rebate dari pemerintah, jadi jual produknya tanpa profit, tapi profit diambil dari selisih ekspor rebate. Sampai Indonesia memang PPN kena, tapi kita juga sama-sama bayar PPN, beda harga 15%-20% kalau dia nggak dikasih BMAD," sebutnya.
Kekhawatiran masuknya produk China karena produksi PSF di negara itu surplus. Redma mengungkapkan dari produksi 20 juta ton PSF setiap tahun, produsen dalam negeri hanya bisa menyerap sekitar 15 juta ton/tahun, sisa 5 juta ton itu berpotensi masuk ke banyak pasar di negara lain. Sedangkan kapasitas PSF di Indonesia hanya 800 ribu ton/tahun dengan serapan 600 ribu ton/tahun.
"Makanya hitungan KADI pengenaan BMAD China untuk PSF sebesar 16% selama 8 tahun," jelas Redma.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Barang Impor Ini Bikin Resah, Terpaksa Dihambat Masuk RI!