Dunia Sudah Bersiap dari Ancaman Lebih Ngeri Selain Covid-19

Redaksi, CNBC Indonesia
10 August 2021 07:35
Sebuah pandangan umum menunjukkan 100.000 kartu pos dengan pesan-pesan menentang perubahan iklim, yang dikirim oleh orang-orang muda dari seluruh dunia dan berkumpul bersama untuk memecahkan Rekor Dunia Guinness dari kartu pos terbesar di Jungfraufirn, bagian atas gletser terpanjang di Eropa, Aletschgletscher, dekat Jungfraujoch, Swiss 16 November 2018. REUTERS / Arnd Wiegmann
Foto: Sebuah pandangan umum menunjukkan 100.000 kartu pos dengan pesan-pesan menentang perubahan iklim, yang dikirim oleh orang-orang muda dari seluruh dunia dan berkumpul bersama untuk memecahkan Rekor Dunia Guinness dari kartu pos terbesar di Jungfraufirn, bagian atas gletser terpanjang di Eropa, Aletschgletscher, dekat Jungfraujoch, Swiss 16 November 2018. REUTERS / Arnd Wiegmann

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah situasi banyak negara terengah-engah hadapi pandemi covid-19, ramalan mengerikan tentang masa depan muncul. Pemerintah manapun harus berjuang agar ramalan bernama perubahan iklim itu tak sepenuhnya jadi kenyataan.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sudah mengingatkan tentang ancaman perubahan iklim bagi banyak negara di dunia. Negara-negara yang telah menandatangani kesepakatan Paris untuk mengatasi perubahan iklim dinilai perlu lebih ambisius di tingkat nasional.

Menurut Kepala Iklim PBB Patricia Espinosa hanya lebih dari setengah negara yang menjadi bagian dalam kesepakatan tersebut telah mengajukan proposal terbaru untuk membatasi emisi karbon mereka.

"Selain itu tingkat ambisi yang tercermin dalam rencana aksi iklim nasional itu juga perlu ditingkatkan," kata Espinosa dikutip dari AFP


Perjanjian Paris merupakan perjanjian internasional yang mengikat secara hukum tentang perubahan iklim yang diadopsi oleh 196 negara pada Desember 2015. Perjanjian ini bertujuan membatasi pemanasan global hingga di bawah 2 derajat Celcius.

Berdasarkan kesepakatan tersebut, setiap negara peserta awalnya memiliki waktu hingga akhir 2020 untuk mengirimkan 'kontribusi yang ditentukan secara nasional' yang diperbarui (NDC).

Sayangnya, pandemi Covid-19 membuat konferensi iklim COP26 di Glasgow tertunda hingga November 2021. Selain itu sejumlah negara mengatakan mereka tidak dapat memenuhi target yang ditentukan sesuai dengan tenggat waktu.

"Kami menerima NDC baru atau yang diperbarui dari 110 pihak," kata Espinosa, termasuk Amerika Serikat, yang kembali ke Perjanjian Paris setelah mantan presiden Donald Trump menarik diri.

"Ini lebih baik dibandingkan dengan NDC baru atau yang diperbarui dari 75 pihak yang diterima hingga akhir Desember 2020 ... tetapi masih jauh dari memuaskan, karena hanya sedikit lebih dari setengah Para Pihak atau 54% yang telah memenuhi batas waktu ."

Panel antar pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) telah mengindikasikan bahwa pada akhir dekade ini, emisi harus telah berkurang setidaknya 45% dibandingkan dengan tingkat tahun 2010.

"Gelombang panas ekstrem baru-baru ini, kekeringan, dan banjir di seluruh dunia merupakan peringatan mengerikan bahwa masih banyak yang harus dilakukan, dan jauh lebih cepat, untuk mengubah jalur kita saat ini. Ini hanya dapat dicapai melalui NDC yang lebih ambisius," kata Espinosa.

HALAMAN SELANJUTNYA >> Amerika Serikat

Presiden AS, Joe Biden baru saja mengungkapkan ancaman bagi DKI Jakarta. Ibukota Indonesia itu dikatakan bisa tenggelam dalam 10 tahun ke depan.

Biden berbicara hal tersebut dalam sambutannya di kantor Direktur Intelijen Nasional AS, 27 Juli lalu. Dia juga menyinggung perubahan iklim jadi ancaman besar bagi AS.

Namun hanya sedikit tempat yang menghadapi tantangan seperti Jakarta. NASA juga mencatat banjir yang sering menghampiri ibu kota Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Masalah banjir itu juga semakin memburuk dalam beberapa dekade karena adanya pemompaan air tanah yang menyebabkan tanah tenggelam atau surut, dikutip Jumat (30/7/2021).

Kenaikan laut global yang rata-rata naik sebesar 3,3 mm per tahun dan adanya tanda badai hujan makin intens saat atmosfer memanas, NASA mengatakan banjir jadi hal biasa. Sejak tahun 1990-an bahkan banjir besar telah terjadi di Jakarta dan musim hujan 2007 membawa kerusakan dengan 70 persen wilayah terendam.

NASA juga mengunggah gambar landsat yang menunjukkan evolusi Jakarta dalam tiga dekade terakhir. Adanya pembabatan hutan dan vegetasi lain dengan permukaan kedap air di daerah pedalaman di sepanjang sungai Ciliwung dan Cisadane telah mengurangi jumlah air yang dapat diserap.

Ini juga yang menyebabkan adanya limpahan serta banjir bandang. Populasi wilayah Jakarta lebih dari dua kali lipat antara tahun 1990 dan 2020 telah membuat lebih banyak orang yang memadati dataran banjir dengan resiko tinggi.

Celakanya lagi, banyak saluran sungai dan kanal yang menyempit atau tersumbat secara berkala oleh sedimen dan sampah, sehingga sangat rentan terhadap luapan.

Salah satu gambar yang menunjukkan wilayah pada tahun 1990, lahan buatan dan pembangunannya baru menyebar ke perairan dangkal Teluk Jakarta. Salah satu analis data menunjukkan orang membangun setidaknya 1.185 hektar lahan bar di sepanjang pantai.

Lahan tersebut sebagai besar digunakan untuk perumahan kelas atas dan lapangan golf, ungkap ilmuwan penginderaan jauh di East China Normal University, Dhritiraj Sengupta.

NASA juga menyoroti Pulau-Pulau buatan seringkali merupakan jenis tanah yang paling cepat surut karena pasir dan tanahnya mengendap dan menjadi padat seiring waktu.

Satelit dan sensor berbasis darat mencatat sebagian Jakarta Utara mengalami penurunan puluhan milimeter per tahun. Di pulau-pulau buatan baru, angka itu melonjak hingga 80 milimeter per tahun, kata Sengupta.

China yang selama ini dianggap jadi biang kerok kemunculan pandemi Covid-19, justru makin waspada soal perubahan iklim.

Sebab itu Tiongkok akan merilis rencana terbaru untuk mengurangi emisi karbon. Langkah ini sebagai upaya konkret dari Negeri Tirai Bambu menekan masalah perubahan iklim.

Utusan China mengatakan akan merilis rencana terbaru pengurangan emisi karbon itu dalam waktu dekat, menjelang acara global United Nations (UN) Climate Change Conference (COP26) di Glasgow, Skotlandia pada November 2021 mendatang.

"Dalam waktu dekat makalah kebijakan yang relevan akan ada di luar sana, akan ada rencana implementasi terperinci," kata Xie Zhenhua dalam webinar online yang diselenggarakan oleh Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong, dikutip AFP.

"Kemudian kita akan berbicara tentang dukungan itu untuk Konferensi Perubahan Iklim PBB di Glasgow," tambahnya.

Salah satu hal yang ditekankan oleh China tersebut adalah janji Negeri Tirai Bambu untuk menjadi netral karbon pada 2060. Dalam implementasinya, ada beberapa hal yang ingin dilakukan seperti mengurangi konsumsi batubara.

Namun sejauh ini, China sedang membangun pembangkit listrik tenaga batu bara di lebih dari 60 lokasi di seluruh negeri, sementara pembangkit listrik yang tidak beroperasi telah dibuka kembali. Hal ini membuat beberapa ilmuwan bertanya kembali mengenai komitmen Beijing.

"Pesta batu bara baru ini merusak tujuan iklim jangka pendek dan jangka panjang," kata Christine Shearer, direktur program batubara GEM kepada AFP.

Menurut para peneliti di Universitas Tsinghua Beijing, dalam memenuhi target emisi China, sebanyak 90% listrik harus berasal dari nuklir dan energi terbarukan pada tahun 2050. Namun pada faktanya, sejauh ini baru 15%. Progres ini cukup lambat pasalnya lobi dari pelaku industri batubara terlalu kuat sehingga komoditas itu menjadi menarik.

"Tetapi perusahaan utilitas masih enggan meningkatkan jumlah listrik hijau yang mereka beli karena tekanan kuat dari lobi batu bara," kata Han Chen, peneliti kebijakan energi China di Dewan Pertahanan Sumber Daya Nasional, sebuah kelompok advokasi iklim yang berbasis di AS.

"Itulah sebabnya energi terbarukan hanya berkontribusi 15% dari bauran energi China meskipun semua investasi mengalir ke industri," katanya.

Dari segi kendaraan listrik, Beijing diketahui mulai mengambil langkah mundur pada pada tahun 2020 setelah beberapa kasus penipuan subsidi yang mengguncang industri. Hal ini menghambat insentif industri mobil listrik.

Terakhir, para pegiat lingkungan mengingatkan agar China tetap berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon. Kuncinya terletak di pengurangan konsumsi bahan bakar fosil.

"Kuncinya adalah untuk mengurangi kecanduan negara terhadap bahan bakar fosil," ujar penasihat kebijakan iklim di Greenpeace China, Li Shuo.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular