Internasional

Sederet Alasan Kenapa Malaysia Alami 'Tsunami' Covid-19

tahir saleh & Monica Chua, CNBC Indonesia
Minggu, 08/08/2021 07:14 WIB
Foto: AP/Vincent Thian

Jakarta, CNBC Indonesia - Fasilitas kesehatan negeri jiran Malaysia kian 'ambruk' akibat kasus virus corona yang terus melonjak setiap harinya. Bahkan Malaysia kini disebut mengalami 'tsunami Covid-19 mini', seperti yang sebelumnya sempat terjadi di India.

"Ketakutan terbesar Malaysia terhadap Covid-19 ialah apakah akan menjadi seperti India mini dan sayangnya, itu menjadi kenyataan," kata James Chai, analis politik yang berbasis di Kuala Lumpur, Malaysia, dalam kolom opininya di Al-jazeera, dilansir CNBC Indonesia, Sabtu ini (7/8).

Opini Chai itu dipublikasikan di media asal Timur Tengah tersebut pada 3 Agustus lalu berjudul "Malaysia: From COVID role model to a mini-India".


Dia mengatakan infeksi harian dan jumlah kematian per kapita di Malaysia melampaui puncak yang terjadi di India.

Pada akhir Juli lalu, kasus harian Malaysia per juta orang mencapai 515,9 dan kematian harian per juta berada di 4,95. Sebaliknya, pada puncaknya, India mencapai 283,50 kasus dan 3,04 kematian. Negara ini juga memiliki kasus per sejuta kasus tertinggi di Asia, dan salah satu per juta kematian tertinggi di Asia Tenggara.

Fasilitas-fasilitas kesehatan Malaysia terpaksa merawat pasien di tempat parkir menggunakan kasur kanvas sementara, para pasien harus memakai oksigen bergantian, dan bahkan di beberapa fasilitas kesehatan, aksi penyelamatan darurat terpaksa di lakukan di atas lantai, akibat tempat tidur yang tidak tersedia baik di UGD maupun ICU.

Para nakes juga mengatakan, banyak keluarga yang terpaksa mendapatkan rawatan di rumah sakit, dan banyak di antaranya meninggal dunia di waktu yang bersamaan.

Akibat kematian yang terus bertambah ini, fasilitas kesehatan Malaysia juga kewalahan mengurus jenazah pasien Covid 19 sehingga jenazah terpaksa di letakkan di atas trolley dan di angkut bersamaan ke tempat pengebumian.

Chai dalam ulasannya mengutip wawancara seorang petugas kesehatan dilansir Malaysiakini. Petugas kesehatan itu mengatakan "sekarang, kami tidak lagi mempunyai empati yang berlebihan, apa yang terjadi, sudah terjadi, kematian yang terlalu sering membuat anda merasa mati rasa."

Adapun dalam 3 hari terakhir, negara jiran terus mencatatkan kasus positif corona yang mencetak rekor. Pada 5 Agustus 2021, Malaysia mencatatkan 20.596 infeksi Covid 19 baru dalam 24 jam terakhir.

Dengan demikian, Malaysia mencetak rekor kasus Covid-19 dalam 3 hari beruntun setelah melaporkan 19.819 infeksi corona baru pada Rabu (4/8).

"Ini adalah pembalikan nasib yang dramatis bagi sebuah negara yang pernah dianggap sebagai panutan dalam menangani pandemi," kata Chai.

"Setahun yang lalu, Malaysia merayakan diri sebagai negara dengan transmisi lokal Covid-19 mencapai nol selama beberapa hari, meraih banyak pujian dari para ahli asing, akademisi, dan organisasi seperti WHO," katanya.

"Tindakan cepat pemerintah Malaysia untuk menerapkan penguncian skala penuh, berinvestasi dalam pengujian dan fasilitas medis, dan menyebarkan komunikasi proaktif dengan publik menghasilkan lebih sedikit kasus daripada di seluruh Asia Tenggara," jelas Chai.

Tetapi keberhasilan negara itu, tegas Chai, juga merupakan kutukan lantaran pemerintah Malaysia cepat berpuas diri.

Pemicu Covid 'Meledak' di Malaysia

Chai menganalisis begini. Tidak seperti perayaan awal kesuksesan India, Malaysia dinilai terlalu cepat untuk memberi selamat kepada diri sendiri karena telah berhasil menahan virus tersebut.

Sebab itu, pemerintah di sana menjadi terlalu percaya diri dengan hasil yang baik dari tindakan anti-pandemi pada 2020 dan pada Agustus 2020 memutuskan untuk mengadakan pemilihan umum di seluruh wilayah, termasuk di wilayah bagian termiskin Malaysia, Sabah.

Selama masa kampanye, maskapai penerbangan meningkatkan frekuensi penerbangan untuk mengangkut politisi dan pendukung masuk dan keluar wilayah.

Secara total, 257 aksi unjuk rasa disetujui dan banyak yang diadakan dengan sedikit jarak sosial, penggunaan masker, atau kepatuhan terhadap pedoman kesehatan. Pada hari pemilihan, 1,1 juta pemilih hadir di tempat pemungutan suara.

Peneliti dari National University of Singapore menemukan bahwa pemilu Sabah menyumbang 70% kasus di negara bagian itu sendiri dan setidaknya 64% di wilayah lain.

Pada bulan-bulan berikutnya, karena jumlah kasus terus meningkat, pemerintah berupaya melakukan aksi penolakan, menyatakan bahwa situasinya "masih dapat dikendalikan" dan "terkendali".

"Perjalanan antarnegara bagian diizinkan dan pembatasan dilonggarkan pada bulan Desember, meskipun negara itu mengalami peningkatan hampir sepuluh kali lipat dalam kasus kumulatif dari Oktober hingga Desember," kata Chai.

Pada Januari 2021, para profesional medis menulis surat terbuka kepada Perdana Menteri (PM) Malaysia Muhyiddin Yassin tentang bencana yang akan datang di rumah sakit jika penularannya tidak dikendalikan.

Tapi kepuasan pemerintah memberi makna minimnya aksi yang dilakukan untuk mencegah pandemi.

Pembatasan dilakukan setengah hati dan tidak ilmiah. Ketika penguncian total secara nasional akhirnya dilakukan pada Juni, sudah terlambat, dan tidak dapat menghentikan angka infeksi tertinggi, dengan kasus mendekati 1 juta, di negara berpenduduk hanya 32 juta.

Selain berpuas diri, kedaruratan kesehatan tahun 2021 di Malaysia juga terjadi lantaran tidak adanya kesatuan rantai komando di pemerintahan Muhyiddin.

Kabinetnya terdiri dari menteri-menteri dari berbagai partai yang merupakan saingan politik dan oleh karena itu, tidak dapat dipercaya dan tidak kooperatif dalam kerja kolektif mereka.

Pertengkaran publik antara faksi yang berbeda dari partai perdana menteri yakni Partai Pribumi Bersatu Malaysia (Bersatu), dan Partai Organisasi Persatuan Melayu Nasional (UMNO), partai terbesar di pemerintahan, telah menghasilkan keputusan yang kontradiktif dan kebijakan yang membingungkan.

UMNO pun 'menarik diri' dari koalisi lantaran PM Muhyiddin Yassin dianggap gagal menangani pandemi.

Pada Mei lalu, ketika krisis kesehatan semakin cepat, Zahid Hamidi, Presiden UMNO, meminta publik untuk tidak mengaitkan kegagalan Muhyiddin dengan partainya, meskipun UMNO menjadi anggota pemerintah koalisi.

"Memang benar bahwa [kami] adalah bagian dari [koalisi pemerintah] ... [tetapi] sebagian besar pandangan dan saran kami tentang Covid-19 tidak mendapat banyak perhatian," katanya.

Legitimasi Rendah

Faktor lain yang berkontribusi terhadap krisis Covid-19 yang masif adalah legitimasi pemerintah yang semakin berkurang, yang mengakibatkan rendahnya kepatuhan publik terhadap langkah-langkah antipandemi.

Alih-alih bertindak sebagai panutan, para menteri dan pejabat terpilih malah secara konsisten melanggar aturan Covid-19, sehingga menimbulkan klaim standar ganda.

Para menteri dibebaskan dari masa karantina wajib 14 hari setelah kembali dari luar negeri, sementara anggota parlemen diizinkan bepergian ke luar negeri dengan bebas.

Ada laporan tentang pejabat yang tidak mematuhi pembatasan penguncian, termasuk menteri yang makan di restoran ketika tidak diizinkan.

Ketika mereka tertangkap melanggar langkah-langkah anti-pandemi, hukumannya jauh lebih ringan daripada yang akan dihadapi orang Malaysia biasa.

Insiden-insiden ini telah menyulut kemarahan publik yang semakin besar, yang telah membuat banyak orang Malaysia enggan mematuhi aturan Covid-19.

Larangan perjalanan antarkabupaten dan antarnegara bagian telah diabaikan, sementara barikade yang didirikan oleh polisi telah dibakar sebagai bentuk pembangkangan warga.

Kemarahan dan frustrasi ini memuncak ketika ratusan pengunjuk rasa yang sebagian besar masih muda turun ke jalan untuk menuntut pengunduran diri perdana menteri.

Unjuk rasa, yang menampilkan spanduk, plakat, bendera hitam, dan patung "mayat", melewati jalan-jalan utama Kuala Lumpur pada 31 Juli.

"Tetapi mungkin indikasi paling signifikan bahwa pemerintah telah kehilangan legitimasi adalah bahwa orang Malaysia semakin saling mencari bantuan karena pandemi telah membuat mereka miskin dan putus asa," tulis Chai.

Banyak orang, termasuk perdana menteri, percaya bahwa 40% masyarakat termiskin Malaysia, yang disebut B40 (40% terbawah), kini telah berkembang menjadi B50.

Gaji rata-rata telah turun untuk pertama kalinya sejak 2010, memotong semua demografi. Kasus bunuh diri telah melonjak, dan jumlah panggilan ke hotline darurat telah meningkat ke tingkat yang mengkhawatirkan. Jutaan orang kehilangan pekerjaan dan terjebak di rumah dengan sedikit tabungan.

Setelah kehilangan kepercayaan bahwa pihak berwenang dapat menyediakan bagi mereka, keluarga mulai memasang bendera putih untuk meminta bantuan tetangga mereka.

Seluruh komunitas telah dimobilisasi untuk menyediakan bagi mereka yang berjuang untuk mengatasinya. Orang-orang biasa telah mendirikan bank makanan nasional untuk membantu orang lain.

Seorang pemilik minimarket di kota kecil Johor Bahru mendirikan rak di depan tokonya sebagai bank makanan darurat.

"Meskipun banyak yang datang dan mengambil apa yang mereka butuhkan, persediaan tampaknya tidak pernah habis. Kemudian dia menyadari bahwa bank makanan itu diam-diam diisi kembali oleh donor tanpa nama dan tanpa wajah atas namanya," kata Chai.

"Cerita seperti ini menunjukkan ketahanan orang Malaysia dan kekuatan semangat komunitas. Ketika pandemi ini berakhir, mereka yang selamat akan merayakan semangat ini untuk membantu mereka berhasil melewatinya, dan bukan [karena] kebijakan gagal dari pemerintahan yang kacau balau," tegasnya.


(tas/tas)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Presiden Prabowo Sambut Kedatangan PM Malaysia Anwar Ibrahim