Exxon, BP, Shell Cs Ngerem Investasi, Pertamina Ngegas!

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
12 July 2021 20:21
Bisnis Pengolahan dan Petrokimia Pertamina Catatkan Kinerja Lampaui Target Triwulan I-2021
Foto: Dok Pertamina

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketidakpastian permintaan pada energi akibat pandemi Covid-19 dan arah transisi energi dunia ke Energi Baru Terbarukan membuat perusahaan minyak dan gas (migas) dunia seperti Exxon Mobil, Shell, dan BP menahan pengeluaran investasinya meski harga minyak terkerek naik.

Belanja modal (capital expenditure/ capex) perusahaan migas kemungkinan akan meningkat mulai tahun depan karena perusahaan membayar utang dan pemulihan pasca pandemi.

Namun demikian, capex akan banyak dialokasikan untuk sektor energi baru terbarukan (EBT), bukan pada hulu migas.

"Akan ada lebih banyak capex pada tahun depan, tetapi tidak banyak peningkatan masuk ke hulu migas (produksi migas), melainkan akan masuk ke energi terbarukan," kata Joyner, analis dari Redburn, sebagaimana dikutip dari Reuters, Senin (12/07/2021).

Produsen shale oil di Amerika Serikat juga telah berjanji kepada investor bahwa mereka akan mengendalikan pengeluaran dengan ketat pada 2021.

Seperti diketahui, harga minyak dalam beberapa pekan terakhir mendekati US$ 78 per barel, menjadi yang tertinggi dalam tiga tahun terakhir karena organisasi pengekspor minyak (OPEC) dan produsen migas besar lainnya gagal mencapai kesepakatan menaikkan produksi.

Kenaikan harga minyak ini diiringi dengan kenaikan harga gas global karena masalah pasokan. Ini akan menjadi pemasukan yang besar bagi perusahaan migas setelah mereka memangkas investasi di tengah pandemi tahun lalu.

Berbeda dengan perusahaan migas dunia tersebut, PT Pertamina (Persero), perusahaan migas terbesar RI, justru berani menggenjot investasinya pada tahun ini.

Menanggapi dinamika global yang terjadi, Pjs Senior Vice President Corporate Communication & Investor Relations PT Pertamina (Persero) Fajriyah Usman pun angkat bicara.

Dia mengatakan, sampai saat ini Pertamina tetap berkomitmen untuk menjalankan investasi dalam rangka pengembangan usaha, serta merealisasikan proyek strategis nasional.

"Pertamina tetap berkomitmen untuk menjalankan investasi dalam rangka pengembangan usaha dan juga merealisasikan proyek strategis nasional," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Senin (12/07/2021).

Meski demikian, imbuhnya, monitoring akan terus dilakukan secara ketat melihat dinamika situasi yang tengah terjadi sampai akhir tahun ini. Hal ini dilakukan supaya prioritas investasi bisa mencapai sasaran jangka pendek dan panjang.

"Pertamina terus melakukan monitoring ketat terhadap dinamika situasi yang tengah terjadi sampai akhir tahun ini agar prioritasĀ investasi dapat tetap mencapai sasaran jangka pendek dan jangka panjang perusahaan di tengah era transisi energi yang sedang berlangsung," jelasnya.

PT Pertamina (Persero) menargetkan investasi pada 2021 naik dua kali lipat dibandingkan 2020 menjadi US$ 10,7 miliar atau sekitar Rp 153 triliun (asumsi kurs Rp 14.300 per US$) dari US$ 4,7 miliar atau sekitar Rp 67,2 triliun pada 2020 lalu.

Fajriyah mengatakan, Pertamina terus berupaya mengoptimalkan perannya sebagai pengelola energi nasional melalui strategi investasi yang tepat di seluruh lini bisnis perusahaan.

Di sektor hulu, sejak 2017 Pertamina mendapat kepercayaan dari pemerintah untuk mengambil alih 11 Wilayah Kerja Migas terminasi yang sebelumnya dikelola operator lain. Pada Agustus 2021, ketika Blok Rokan resmi dikelola melalui Pertamina Hulu Rokan, maka kontribusi Pertamina Group akan meningkat signifikan terhadap produksi migas nasional.

"Langkah ini merupakan upaya perseroan untuk menjaga kedaulatan energi nasional dengan meningkatkan produksi minyak dan gas serta mendukung pemerintah mewujudkan produksi 1 juta barel (per hari)," ungkap Fajriyah, dalam keterangan resmi Pertamina, Rabu (16/06/2021).

Di sektor pengolahan, kata Fajriyah, anggaran investasi Pertamina juga ditujukan untuk membangun infrastruktur pengolahan empat Refinery Development Master Plan (RDMP) dan satu Grass Root Refinery (GRR) yang akan terintegrasi dengan kilang petrokimia.

Sebagai kelanjutan dari implementasi program biodiesel yang dijalankan sejak 2006, Pertamina juga berkomitmen mengembangkan biofuel atau biodiesel 100% dengan mempercepat penyelesaian proyek biorefinery di tiga lokasi, yakni kilang Cilacap, Dumai dan Plaju untuk memenuhi kebutuhan biodiesel dengan mengolah sumber energi dari kelapa sawit yang melimpah di dalam negeri.

Lalu di sektor hilir, Fajriyah menuturkan, Pertamina juga terus mengembangkan infrastruktur penyaluran BBM, LPG, dan Gas. Saat ini, Pertamina sedang menuntaskan 14 lokasi terminal BBM dan empat lokasi terminal LPG di Indonesia Timur. Untuk mendorong upaya konversi energi bagi pembangkit listrik PLN, Pertamina juga membangun infrastruktur LNG di 56 titik.

"Mengantisipasi era transisi energi, Pertamina terus mengembangkan PLTP, PLTS atau PLTGU untuk ketahanan energi nasional," imbuhnya.

Di tengah kerugian yang dialami pada perusahaan migas dunia pada 2020, Pertamina justru mencetak laba bersih sebesar US$ 1,05 miliar atau sekitar Rp 15,3 triliun (asumsi kurs Rp 14.572 per US$).

Pertamina pun akan membagikan dividen sebesar Rp 4 triliun pada tahun ini dari capaian laba bersih 2020 tersebut, sesuai persetujuan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada Senin, 14 Juni 2021 lalu.

Kinerja keuangan positif juga ditunjukkan dengan EBITDA sebesar US$ 7,6 miliar dengan EBITDA Margin 18,3%. Hal ini menunjukkan kondisi keuangan Pertamina aman dan mampu bertahan di tengah krisis ekonomi global.

"Kinerja 2020 Pertamina tersebut telah mendapatkan persetujuan pemegang saham yang disampaikan pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Senin 14 Juni 2021," ungkap Fajriyah, Senin (14/06/2021).

Sementara itu, BP, perusahaan migas asal Inggris, membukukan rugi bersih sebesar US$ 5,7 miliar selama 2020, anjlok signifikan dibandingkan dengan capaian laba bersih sebesar US$ 10 miliar pada 2019, seperti dikutip dari CNBC International, Selasa (02/02/2021).

Begitu pun Exxon Mobil, mencatatkan kerugian sebesar US$ 20,1 miliar selama kuartal keempat 2020, menandai kerugian empat kuartal berturut-turut karena raksasa energi itu bergulat dengan dampak pandemi.

Chevron pun membukukan kerugian US$ 11 juta pada kuartal keempat 2020, membuat total kerugian selama 12 bulan sepanjang 2020 mencapai US$ 5,54 miliar, dibandingkan pencapaian laba sebesar US$ 2,92 miliar pada 2019.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular