
Sultan Yogya Usul Lockdown, Anies Minta Warga Diam di Rumah

Jakarta, CNBC Indonesia - Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengkubuwono X dan Gubernur Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta Anies Rasyid Baswedan merilis pernyataan terbaru perihal lonjakan kasus Covid-19 belakangan.
Menurut Sri Sultan, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) belum efektif dalam menekan lonjakan kasus Covid-19.
"PPKM ini kan sudah bicara nangani RT/RW (mengatur masyarakat paling bawah). Kalau realitasnya masih seperti ini mau apa lagi, ya lockdown," ujarnya di kantor Gubernur DIY, Komplek Kepatihan, Kemantren Danurejan, Jumat (18/6/2021).
Sri Sultan menjelaskan, pemerintah selama ini telah mengatur masyarakatnya dari RT dan RW. Hal tersebut sebenarnya sebagai antisipasi terjadi penularan virus corona di lingkungan. Tapi dalam pelaksanaan, lanjut dia, ternyata PPKM ini tak bisa berjalan efektif. Bahkan, kasus baru Covid-19 di DIY di atas 500 orang.
"Kemarin (Ingub Nomor 15/INSTR/ 2021) maunya ada keputusan izin kelurahan harus sampai atasan (camat) gitu loh dan sebagainya dengan harapan semakin ketat masyarakat (tidak berkerumun) gitu, tapi kalau masih tembus arep apa meneh (mau apa lagi kebijakannya). Ya lockdown," kata Sri Sultan.
Ia melihat peningkatan kasus positif yang naik tersebut tak terlepas dari kedisiplinan masyarakat. Itu diperkuat dengan tracing yang tertular dari kasus positif.
"Selama masyarakat sendiri tidak mengapresiasi dirinya sendiri untuk disiplin," ujarnya.
Solusi lokcdown, lanjut Sultan, juga mempertimbangkan bed occupancy rate (BOR) di rumah sakit rujukan di DIY. Seminggu lalu, BOR di DIY masih 35%. Namun seminggu terakhir meningkat menjadi 75%.
"Karantina di rumah selama tidak punya toilet sendiri satu keluarga pasti kena gitu. Kalau nggak punya toilet sendiri juga ke tetangga yang bisa nular dan sebagainya. Sehingga kita ketati. Mereka sekarang mobil tidak disiplin. Nek ora ya wis (kalau tidak bisa disiplin). Lockdown aja gitu nggak ada pilihan," katanya.
Aturan lockdown itu tertuang dalam Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan Pasal 9 ayat 1 dan Pasal 49 ayat 4. UU itu menegaskan karantina wilayah atau yang sering disebut lockdown merupakan kewenangan pemerintah pusat/menteri terkait.
Bila ada kepala daerah yang gegabah mengambil keputusan lockdown sendiri tanpa berkoordinasi dengan pemerintah pusat, pidana menanti mereka. Aturan ini bersifat khusus mengesampingkan hukum.
"Dalam pidana berlaku lex specialis derogat legi generali, yang artinya hukum yang bersifat khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum, sehingga UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai UU khusus sepanjang terdapat ketentuan pidana, maka inilah yang diberlakukan," kata pakar ilmu perundang-undangan Dr Bayu Dwi Anggono saat berbincang dengan detikcom, Selasa (17/3/2020).
Sementara itu, sanksi pidana diatur dalam Pasal 93. Sanksi yang diberikan kepada kepala daerah yang mengambil kebijakan lockdown adalah pidana maksimal 1 tahun penjara dan atau denda Rp 100 juta.
"Sehingga setiap orang yang melanggar pasal ini, termasuk kepala daerah, bisa dikenai ketentuan pidana sesuai Pasal 93," jelas Bayu.
Berita selengkapnya >>> Klik di sini
