Pandemi Belum Usai, Sederet Masalah Ini Ancam Ekonomi RI!

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
15 June 2021 08:50
ekspor

Jakarta, CNBC Indonesia - Momentum pemulihan ekonomi sudah sangat diharapkan oleh pemerintah bisa terwujud pada Kuartal II-2021. Namun, masih ada persoalan lain di belakangnya yang juga turut menjadi kekhawatiran pemerintah.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati bahkan mulai meragukan proyeksi pertumbuhan ekonomi Kuartal II-2021 pada kisaran 7,1% - 8,3% bisa tercapai. Mengingat adanya lonjakan kasus Covid-19 yang masih belum bisa dikendalikan.

Apabila kasus lonjakan kasus Covid-19 terus meningkat, maka salah satu solusi yang harus ditempuh pemerintah adalah melakukan lagi pembatasan aktivitas secara ketat.

"Pertumbuhan ekonomi kita kuartal II antara 7,1 - 8,3%. Ini seiring kenaikan Covid harus hati-hati terutama proyeksi upper bound di 8,3%," ujarnya saat rapat bersama Komisi XI DPR, Senin (14/6/2021).

Mengingat kasus Covid-19 melonjak drastis. Per 13 Juni 2021 angka positif tercatat bertambah 9.868 kasus. Ini adalah angka tertinggi sejak awal tahun ini. Adapun per 14 Juni 2021, kasus baru bertambah 8.189 kasus.

Hingga Senin (14/6/2021), total pasien Covid-19 di Tanah Air berjumlah 1.919.547 orang sejak adanya. Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, penambahan tertinggi ada DKI Jakarta sebanyak 2.722 kasus, disusul Jawa Barat dengan 1.532 kasus, dan Jawa Tengah dengan 1.400 kasus.

"Kuartal II kita berharap terjadi pemulihan kuat, namun Covid-19 pada minggu kedua Juni akan mempengaruhi koreksi ini. Kalau Covid-19 bisa menurun, masih bisa berharap," terang Sri Mulyani.

"Kalau menurunkan Covid-19 harus melakukan pembatasan, maka proyeksi ekonomi akan terkoreksi. Ini trade off yang akan dihadapi pada bulan-bulan ini," kata Sri Mulyani melanjutkan.


Halaman Selanjutnya >> Ekonomi AS Pulih, Indonesia Siap Siaga



Kementerian Keuangan dan Bank Indonesia (BI) mengungkapkan mulai mengantisipasi adanya pemulihan ekonomi Amerika Serikat (AS) dan sudah siap siaga mengatur strategi dari ancaman tersebut.

Sri Mulyani menjelaskan, ekspektasi pemulihan ekonomi AS yang lebih cepat memicu arus modal asing keluar (capital outflow) di negara berkembang, termasuk Indonesia, yang akan menekan nilai tukar rupiah dan pasar Surat Berharga Negara (SBN).

Percepatan pemulihan ekonomi AS tersebut salah satunya tercermin dari inflasi AS yang lebih besar dari target 2%, di mana pada Mei 2021 lalu, inflasi AS berada pada posisi 5%.

"Dampak rambatan kondisi tersebut terhadap perekonomian domestik, berpotensi menurunkan daya dukung investor global terhadap pembiayaan fiskal melalui SBN," jelas Sri Mulyani.

Selain itu, lanjut Sri Mulyani, penyesuaian imbal hasil (yield) SBN untuk menjaga daya tarik SBN dan stabilitas nilai tukar rupiah dapat mengurangi minat bank untuk menyalurkan kredit yang diperlukan bagi pemulihan ekonomi.

Terlebih, kata Sri Mulyani, tidak selamanya pemerintah bisa bergantung dari pembelian SBN oleh Bank Indonesia (BI).

"Saat ini kami masih memiliki SKB I dengan Pak Gubernur BI (Perry Warjiyo) dan untuk itu BI bisa melakukan beberapa langkah sebagai standby buyer (SBN). Tapi, ini tentu bukan sesuatu yang akan seterusnya jadi kami juga perlu untuk terus kembalikan penguatan dari sektor fiskal kita dan potensi pembiayaan," ujarnya.

Pemerintah, kata Sri Mulyani, akan tetap mewaspadai potensi pengetatan kebijakan moneter Bank Sentral AS, The Fed. Sektor tenaga kerja di AS juga menjadi perhatiannya. Pasalnya, di AS sudah mulai adanya penurunan klaim pengangguran menjadi 376 ribu pekan lalu.

Penurunan klaim pengangguran di AS tersebut, kata Sri Mulyani, berpotensi mengerek upah lantaran perusahaan akan berlomba mencari tenaga kerja. Kenaikan upah, kata dia, tentunya akan mengerek kembali inflasi AS pada periode berikutnya.

"Ini hal yang terus kami waspadai, karena meskipun kejadian di AS tapi respons policy (kebijakan) The Fed akan memberikan pengaruh pada seluruh dunia. Biasanya kalau terjadi kenaikan suku bunga di AS berarti capital flow ke negara emerging sangat terpengaruh," tuturnya.

Senada, juga disampaikan oleh Gubernur BI, Perry Warjiyo, yang hadir dalam kesempatan yang sama. Perry mengungkapkan kondisi pemulihan ekonomi di AS telah meningkat pesat. Ini karena adanya vaksinasi, didukung adanya stimulus jumbo yang diberikan oleh pemerintahan Presiden Joe Biden.

Stimulus tersebut akhirnya berdampak terhadap kenaikan inflasi dan menyebabkan surat utang pemerintah AS (US Treasury) cukup tinggi 1,6% dari sebelumnya hanya 1,2% - 1,3%.

Oleh karena itu, kata Perry, BI bersama pemerintah terus melakukan pendalaman pasar untuk melakukan stabilisasi nilai tukar rupiah dan stabilisasi SBN.

"Itu juga berdampak pada stabilitas eksternal kita. Terjadi outflow, kenaikan terhadap nilai tukar rupiah, kenaikan yield SBN. Kami bersama Bu Menkeu terus melakukan langkah stabilitas tidak hanya nilai tukar, tapi juga stabilisasi SBN," jelas Perry.



Halaman Selanjutnya >> Dana Asing Sulit Balik ke RI

Keluarnya aliran modal asing atau capital outflow dari tanah air juga tak luput dari perhatian dari Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini. Menurut dia, jika dibandingkan dengan krisis keuangan global pada 2008, aliran modal asing saat ini sulit kembali.

"Periode global financial crisis (krisis keuangan) aliran modal asing kembali ke negara emerging pada bulan keenam. Sementara pada covid-19 ini capital flow belum kembali meskipun sudah memasuki bulan ke-15," jelas Sri Mulyani.

Adapun, sejak Januari 2020 hingga 10 Juni 2021, investor di pasar modal, kata Sri Mulyani, membukukan posisi jual bersih Rp 125,62 triliun dan lebih besar disumbangkan oleh outflow di pasar SBN. Dari catatan BI, investor asing yang melakukan aksi beli (net buy) sebesar Rp 14,65 triliun dari awal tahun hingga 10 Juni 2021.

Capital outflow di tengah pandemi Covid-19 juga pernah diakui Sri Mulyani dua kali lipat lebih deras dibandingkan krisis ekonomi pada 2008 dan 2013 silam.

Di mana, aliran modal asing yang keluar saat krisis ekonomi pada 2008 sebesar Rp 69,9 triliun. Sementara, pada krisis 2013 lalu, asing hanya menarik investasinya sebesar Rp 36 triliun.Sedangkan, pada periode Januari-Maret 2020 saja, arus modal keluar mencapai Rp 145 triliun akibat pandemi Covid-19.

Waspada Ledakan Kredit Macet >> Halaman Selanjutnya 



Sri Mulyani Indrawati bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) mulai mempertimbangkan dan antisipasi berbagai sektor ekonomi yang kemungkinan akan sulit membayar tunggakan di perbankan.

Sri Mulyani menjelaskan, kelompok slow starter mengalami kontraksi penjualan paling dalam, jauh di bawah industri. Kelompok ini mengalami dampak terdalam akibat Covid-19 dan sangat bergantung pada pulihnya aktivitas masyarakat.

"Kelompok slow starter yakni perdagangan, konstruksi, transportasi, dan jasa-jasa. Ini kelompok mengalami knock down effect yang sangat dalam karena covid, korelasinya negatif. Ketika covid naik mereka turun, ketika covid turun mereka pulih tapi slow. Nah ini jadinya tidak simetris," jelas Sri Mulyani, saat rapat kerja dengan Komisi XI, Senin (14/6/2021).

Sementara sektor ekonomi yang menjadi growth driver, kata Sri Mulyani, berasal dari sektor manufaktur. Meskipun terpukul, tapi sektor tersebut saat ini sudah mulai tumbuh. Return of asset-nya pun sudah mulai pulih, tercermin pada kuartal IV-2021 sudah mulai menyentuh 3,67%.

Kendati demikian, profitabilitas baik kelompok slow starter dan growth driver masih sangat rendah.

"Kemampuan membayar kelompok resilience berada di atas threshold 1,5 sementara kelompok slow starter dan growth driver di bawah threshold atau rendah," jelas Sri Mulyani.

Hal itu, lanjut Sri Mulyani, akan membuat interest coverage ratio (ICR) atau kemampuan membayar, baik itu bagi kelompok slow starter dan growth driver perlu diintervensi oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

"ICR atau kemampuan untuk membayar pinjaman. Ini persoalan di OJK, untuk memberikan pinjaman. Untuk sektor yang semakin terpukul makin tidak mau (bayar), ini kita perlu intervensi," tuturnya.

"Kalau yang terpukul pulih dan langsung dapat kredit baru. Tapi yang terpukul dan tidak pulih, bank akan menghindari untuk meminjamkan di sektor ini. Ini tantangan pemulihan ekonomi dan akan terus membahasnya di KSSK," kata Sri Mulyani melanjutkan.


(dru)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Siap Rebound! Sri Mulyani: RI Sudah Lewati Pre-crisis Level

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular