
Harta Karun Rare Earth yang Bikin China Kesal Dihargai Murah

Jakarta, CNBC Indonesia- Ekspor logam tanah jarang (rare earth) China mencapai titik terendah dalam lima tahun terakhir pada 2020, karena anjloknya permintaan luar negeri yang dilanda pandemi Covid-19 dan meningkatnya pasokan di industri dalam negeri. Pemerintah China juga menetapkan kuota penambangan logam tanah jarang pada semester I-2021 sebesar 84.000 ton, melonjak 27% dari tahun sebelumnya.
Melimpahnya pasokan rare earth mineral dari negara tersebut juga membuat harganya jatuh. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Industri China yang mengatakan selama ini logam tanah jarang di China dihargai terlalu rendah akibat persaingan sengit dan pemanfaatan sumber daya yang rendah, sehingga perlombaan harga kian merosok.
"Logam tanah jarang kami tidak dijual dengan harga 'langka' tetapi dijual dengan harga 'bumi' ... karena penawaran yang kompetitif, yang menyia-nyiakan sumber daya yang berharga," kata Menteri Perindustrian dan Teknologi Informasi (MITI) Xiao Yaqing, dikutip dari Reuters belum lama ini.
Sebagai produsen logam tanah jarang terbesar di dunia, China pun mengancam mengekang ekspor bahan-bahan tersebut ke Amerika Serikat (AS). Jika hal tersebut dilakukan maka Negeri Paman Sam pun akan kesulitan mencari pasokan alternatif.
Pada Januari, MITI mengusulkan untuk memperketat regulasi rantai industri logam tanah jarang, termasuk ketentuan bahwa importir dan eksportir mematuhi undang-undang perdagangan luar negeri dan kontrol ekspor.
"Pemerintah harus berperan dalam menjaga ketertiban pasar, melepaskan apa yang bisa dilonggarkan dan mengontrol apa yang harus dikontrol," kata Xiao.
Dia mengatakan beberapa produsen memproduksi logam tanah jarang dalam jumlah berlebihan, sehingga menyebabkan masalah lingkungan dan tingkat pemanfaatan sumber daya rendah. Industri ini juga kekurangan produk logam tanah jarang tingkat tinggi, yang bertentangan dengan inovasi dan kemajuan teknologi.
"Kita harus belajar dari perusahaan Jepang dalam hal ini, karena banyak perusahaan Jepang telah melakukan banyak pekerjaan dalam produk logam tanah jarang kelas atas," tambahnya.
Sementara David Merriman, ahli tanah jarang di Roskill, mengatakan pada 2020, tambang China menghasilkan 110.000 ton logam tanah jarang, yang merupakan lebih dari 55% dari total hasil pertambangan global.
Meskipun diperkirakan akan ada sedikit penurunan produksi menjadi sekitar 100.000 ton pada 2022, produksi dari China diperkirakan akan tetap relatif datar hingga akhir dekade ini.
Menurut Merriman dalam produksi dalam negeri China mulai 2022 dan seterusnya, ini akan melihat permintaan bahan baku dari beberapa pengolah tanah jarang terkemuka yang berbasis di China semakin dipenuhi oleh konsentrat mineral impor.
China memproduksi 85% produk penyulingan logam tanah jarang pada 2020, tetapi dengan penurunan produksi domestik China, impor logam tanah jarang ke China diperkirakan akan tumbuh menjadi 80.000 ton per tahun pada 2030, naik dari perkiraan 60.000 ton pada 2021.
China tidak hanya mendominasi pasokan logam tanah jarang, tetapi juga permintaan, katanya, dengan 70% produksi global dikonsumsi di pasar domestik China. Logam tanah jarang merupakan sekelompok elemen yang secara kimiawi serupa juga digunakan secara luas di industri dirgantara, peralatan militer, dan elektronik konsumen, hingga kendaraan listrik.
(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Luhut Ungkap 'Harta Karun' RI yang Diekspor Tak Jelas