Rest In Peace Artidjo Alkostar, Sang Algojo Para Koruptor

Muhammad Iqbal, CNBC Indonesia
01 March 2021 06:00
Artidjo Alkostar (Ari Saputra/detikcom)
Foto: Artidjo Alkostar (Ari Saputra/detikcom)

Jakarta, CNBC Indonesia - Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi Artidjo Alkostar wafat pada Minggu (28/2/2021) siang. Artidjo meninggal pada usia 71 tahun akibat komplikasi penyakit yang diderita.

Menurut rencana, jenazah eks Hakim Agung itu akan dimakamkan di makam keluarga besar Universitas Islam Indonesia, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin (1/3/2021) pukul 10.00 WIB.

Tak ayal, kepergian Artidjo menyisakan duka mendalam bagi banyak orang, tak terkecuali Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD. Melalui akun Twitter resminya, Mahfud menilai Indonesia kehilangan tokoh penegak hukum yang penuh integritas.

"Artidjo Alkostar adalah Hakim Agung yang dijuluki algojo oleh para koruptor. Dia tak ragu menjatuhkan hukuman berat kepada para koruptor tanpa peduli pada peta kekuatan dan back up politik. Dulu almarhum adalah dosen di Fakultas Hukum UII Yogyakarta yang juga jadi pengacara. Selama jadi pengacara dikenal lurus," tulis Mahfud.

Mahfud mengungkapkan, pada 1978, Artidjo merupakan dosennya di FH UII. Eks Ketua Mahkamah Konstitusi itu pun menyebut Artidjo telah menginspirasinya menjadi dosen sekaligus aktivis penegakan hukum dan demokrasi.

"Pada 1990/1991 saya dan Mas Artidjo sama-sama pernah menjadi visiting scholar (academic researcher) di Columbia University, New York. RIP, Mas Ar," tulis Mahfud.



Sepak terjang Artidjo dikenal publik tatkala menjadi Hakim Agung. Sebagaimana dikatakan Mahfud, Artidjo ditakuti oleh para koruptor lantaran kerap memperberat hukuman yang telah diputuskan pengadilan. Ia pensiun dari posisi itu per 22 Mei 2018.

"Saya per tanggal 22 Mei sudah purnatugas. Saya berkontribusi 18 tahun, saya sudah menangani 19.708 berkas perkara. Saya meluangkan waktu berkhidmat kepada Mahkamah Agung khusus dalam penegakan hukum di MA. Tentu masih banyak kekurangan. Untuk selanjutnya mudah-mudahan MA menjadi lebih baik. Saya percaya pengganti saya jadi lebih baik," kata Artidjo saat jumpa pers perpisahan pada 2018.

Puluhan ribu perkara ia adili. Salah satunya kasus korupsi mantan Presiden Soeharto. Saat itu, kasus Soeharto ditutup oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) karena Soeharto menderita sakit permanen.

Jaksa kasasi dan perkara itu diadili oleh Syafiuddin Kartasasmita (Ketua Muda MA bidang Pidana), Sunu Wahadi, dan Artidjo. Ketiganya menyatakan penuntutan JPU terhadap terdakwa HM Soeharto sudah dapat diterima dan memerintahkan JPU melakukan pengobatan terhadap terdakwa sampai sembuh atas biaya negara.

Setelah sembuh, terdakwa dapat dihadapkan kembali ke persidangan. MA juga menyatakan melepaskan terdakwa dari tahanan kota dan membebankan biaya perkara dalam semua tingkat pengadilan kepada negara.

"Waktu awal saya jadi hakim agung tahun 2000-an, saya pernah tangani perkara Presiden Soeharto. Waktu itu presiden sakit lalu ketua majelisnya, Pak Syafiuddin Kartasasmita, yang ditembak, saya menjadi salah satu anggotanya," kata Artidjo.

"Waktu itu dianukan, karena supaya berkas dikembalikan tapi keputusan di majelis, Soeharto harus tetap diadili sampai sembuh dengan biaya negara. Jadi ada alasan argumentasi yuridisnya," lanjutnya.

Setelah menangani kasus korupsi Presiden Soeharto, langkah Artidjo menjadi enteng.

"Saya kira banyak (kasus) lainnya karena saya anggota juga tentang pembubaran Golkar dulu juga yang lain-lain. Presiden masalah aja saya adili, apalagi presiden partai. Nggak ada masalah bagi saya, tidak ada kendala apa pun. Jadi selama saya tangani perkara Soeharto, perkara lain kecil aja buat saya," ujarnya.



Petinggi partai yang dia adili sudah banyak. Seperti saat Artidjo mengadili eks Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) dalam kasus korupsi. Artidjo menambah hukuman penjara Luthfi dari 16 tahun menjadi 18 tahun, serta mencabut hak politik mantan anggota DPR dari Fraksi PKS itu.

Artidjo pula yang menjadi ketua majelis terhadap mantan Ketum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dalam kasus korupsi dan pencucian uang. Artidjo memperberat hukuman Anas dari 8 tahun penjara menjadi 14 tahun penjara. Belakangan, hukuman Anas disunat menjadi 8 tahun penjara.
Siapa yang menyunat hukuman Anas? Yaitu Wakil Ketua MA Sunarto.

Selain itu ada pula mantan Ketua MK Akil Mochtar. Akil mendagangkan putusan di lembaganya. KPK mengendus dan mencokoknya pada 2013. Terungkap permainan jahat Akil di mahkamah yang menjaga konstitusi itu.

Akil lalu dihukum penjara seumur hidup atau ia harus meninggal hingga mati. Vonis ini diketok oleh Pengadilan Tipikor Jakarta, Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta dan kasasi. Duduk sebagai majelis kasasi adalah Artidjo, MS Lumme, dan Krisna Harahap.

Ada pula Angelina Sondakh. Eks Politisi Partai Demokrat dan Putri Indonesia 2001 itu dihukum 12 tahun penjara oleh Artidjo, MS Lumme, dan M Askin, di tingkat kasasi.

Tapi di tingkat PK, hukuman Angie diubah menjadi 10 tahun oleh trio Syarifuddin-Andi-Syamsul. Selain itu, harta Angie yang dirampas dikurangi setengahnya menjadi Rp 20 miliaran.

Kasus terakhir yang menarik perhatian publik dan ditangani Artidjo adalah saat menjadi ketua majelis PK atas terdakwa Ahok. Putusan itu diketok secara bulat oleh Artidjo Alkostar, Salman Luthan, dan Margiatmo. Ketiganya menyatakan tidak menemukan kekhilafan dalam putusan Ahok.

Artikel selengkapnya >>> Klik di sini

Sepanjang hidup, Artidjo dikenal sebagai hakim yang pekerja keras, jujur, dan sederhana. Misalnya, Artidjo punya banyak cerita selama 18 tahun mengemban jabatan hakim agung. Selalu menolak mengambil cuti, dia diketahui juga pernah menolak mengambil 9 bulan gaji.

Artidjo yang berlatar belakang aktivis jalanan, merintis kariernya sebagai hakim agung pada September 2000. Stigma tak betah di kantor sempat disematkan eks Ketua Komisi Yudisial (KY) Busyro Muqoddas pada Artidjo.

Namun pandangan itu dijawab Artidjo sebaliknya. Sejak pertama kali dilantik hingga 22 Mei 2018, Artidjo tak pernah cuti.

"Saya bekerja itu ikhlas. Jadi kalau ikhlas akan menjadi nutrisi kesehatan. Tapi kalau bekerja tidak ikhlas akan menjadi ria. Racun dalam tubuh kita. Jadi semua tergantung kepada niatnya," kata Artidjo dalam buku 'Alkostar, Sebuah Biografi' terbitan Kompas Media Nusantara halaman 200.

Meski demikian, Artidjo sebenarnya pernah 9 bulan tidak masuk kantor karena mendapat beasiswa short course di Amerika Serikat. Cerita penolakan 9 bulan gaji itu berawal dari sini.

Karena merasa tak bekerja, Artidjo menolak menerima gaji. Setelah itu, Artidjo selalu ngantor. Pulang pun ia membawa berkas perkara berkoper-koper dan dipelajari lagi di apartemennya. Selaku Ketua Muda MA, Artidjo menghindari bepergian ke luar negeri bila tidak ada keperluan penting.

Saat pulang ke Tanah Air, Artidjo pun mendapatkan gaji selama 9 bulan yang belum diambilnya. Namun Artidjo menolak karena merasa gaji itu bukanlah haknya.

"Artidjo sama sekali tak merasa bekerja sehingga ia merasa tak berhak mendapatkan gaji," demikian tulis buku tersebut di halaman 86.

Sayangnya, sikap Artidjo itu dikhawatirkan berimbas pada hakim agung lain. Akhirnya gaji 9 bulan itu diambil Artidjo tetapi tak digunakannya, melainkan disumbangkan untuk pembangunan masjid di Mahkamah Agung (MA).

Selamat jalan, Pak Artidjo...

Artikel selengkapnya >>> Klik di sini


(miq/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Mantan Hakim Agung, Dewas KPK Artidjo Alkostar Tutup Usia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular