Internasional

Oh No! Ekonomi AS Terburuk dalam 74 Tahun, Minus 3,5% di 2020

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
29 January 2021 16:15
Rangkaian bendera Amerika Serikat dipasang di Washington D.C., menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joe Biden dan Kamala Harris. (AP/Alex Brandon)
Foto: Rangkaian bendera Amerika Serikat dipasang di Washington D.C., menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih, Joe Biden dan Kamala Harris. (AP/Alex Brandon)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perekonomian Paman Sam gagal meroket di kuartal keempat (Q4) tahun lalu. Lonjakan kasus Covid-19 di Amerika Serikat (AS) membuat karantina wilayah (lockdown) kembali diterapkan dan kondisi perekonomian tertekan.

Pada Q3 produk domestik bruto (PDB) AS melesat 33% (annualized). Namun laju roda perekonomian harus kembali melambat di Q4. Pada tiga bulan terakhir tahun 2020 pertumbuhan PDB AS yang disetahunkan tercatat hanya 4% saja.

Secara setahun penuh, output perekonomian AS mengalami kontraksi atau minus sebesar 3,5% (yoy). Ini merupakan kontraksi terdalam sejak perang dunia kedua berkecamuk.

Dengan angka pertumbuhan yang negatif itu maka bisa dikatakan AS mencatatkan kinerja perekonomian terendah sejak 74 tahun terakhir.

Saat Covid-19 merajalela masyarakat AS cenderung menahan konsumsinya. Padahal dengan populasi mencapai 350 juta jiwa, konsumsi rumah tangga berkontribusi lebih dari dua pertiga output perekonomian AS.

Tahun lalu konsumsi masyarakat AS mengalami kontraksi sebesar 3,9% dan menjadi yang terendah sejak tahun 1932. 

Pelaku usaha di AS juga ikut terdampak. Penjualan yang menurun mengakibatkan produksi barang dan jasa ikut melambat. Bahkan ada yang terkontraksi. Pebisnis lebih memilih menahan diri untuk tidak berekspansi.

Kebutuhan akan tenaga kerja mengalami penurunan. Akibatnya pengangguran melonjak. Saat lockdown ketat diterapkan tingkat pengangguran di AS tembus dobel digit mencapai 14,8%. Tingkat pengangguran kemudian berangsur menurun menjadi 6,7% di bulan Desember.

Meski mengalami penurunan tingkat pengangguran di AS masih berada di level tertingginya dalam lima tahun terakhir. Hingga Desember 2020 ada 10,7 juta orang yang menyandang status sebagai pengangguran di AS.

Sebuah survei oleh para profesor di Universitas Chicago dan Universitas Notre Dame menunjukkan kemiskinan meningkat sebesar 2,4 poin persentase menjadi 11,8% pada paruh kedua tahun 2020. Kenaikan paling tajam sejak tahun 1960-an yang membuat jumlah penduduk miskin meningkat menjadi sebanyak 8,1 juta orang.

Perkembangan kasus infeksi Covid-19 yang terus memburuk dan membuat AS menjadi negara paling parah terjangkit Covid-19 membuat stimulus fiskal senilai kurang lebih US$ 3 triliun kurang memiliki dampak signifikan. Bahkan sampai tahun 2021 masyarakat dan pelaku usaha di AS masih membutuhkan uluran tangan dari pemerintah.

Resesi ekonomi di AS diharapkan bakal berakhir tahun ini. Geliat ekonomi negeri adikuasa diharapkan terjadi pada paruh kedua tahun ini seiring dengan dilanjutkannya program vaksinasi Covid-19 secara masal dan ketersediaan vaksin yang meningkat.

Terpilihnya Joe Biden sebagai presiden ke-46 Paman Sam membawa harapan bahwa ekonomi bisa bersemi tahun ini. Duet Biden dan Janet Yellen diharapkan mampu menggoalkan paket stimulus senilai US$ 1,9 triliun yang saat ini masih dihadapkan dengan diskusi alot di Kongres.

Dana Moneter Internasional (IMF) meramal ekonomi AS di tahun 2021 bisa tumbuh 5,1%. Angka tersebut direvisi naik 2 poin persentase dibandingkan dengan outlook pada Oktober tahun lalu. 

Pekan ini bank sentral AS kembali menahan suku bunga acuan mendekati 0%. Jerome Powell masih menegaskan bahwa kebijakan akomodatif masih akan tetap dipertahankan.

Suku bunga acuan tidak akan dinaikkan sampai tahun 2023. Bank sentral juga masih akan menginjeksi likuiditas lewat pembelian aset keuangan untuk menstimulasi perekonomian melalui quantitative easing.

The Fed akan membiarkan inflasi untuk melonjak asalkan masih berada di kisaran rata-rata 2%. Dolar AS pun berpeluang melanjutkan tren pelemahannya tahun ini setelah terkoreksi 7% tahun 2020 yang tercermin dari indeks dolar.

Melemahnya dolar AS diharapkan bisa membuat ekspor barang produksi Paman Sam menjadi lebih kompetitif. Apalagi ekspor AS adalah produk-produk manufaktur dan teknologi yang bernilai tambah.

Namun prospek pemulihan di AS pun tidak merata. Sektor yang terkait dengan mobilitas publik seperti pariwisata diperkirakan menjadi yang paling akhir pulih. Sementara itu sektor properti dan manufaktur diperkirakan bakal bergeliat.

Reuters melaporkan pola pemulihan ekonomi di AS akan membentuk kurva K (K-shaped recovery) karena sektor yang terdampak parah seperti restoran, hotel dan bar masih akan tertekan.

Bagaimanapun juga lonjakan kasus Covid-19 masih terus menjadi ancaman terbesar bagi perekonomian manapun termasuk AS. Apabila kasus terus melonjak dan vaksinasi tidak berjalan sesuai rencana maka prospek ekonomi yang lebih baik tahun ini bisa luntur.

Sebagai negara dengan perekonomian terbesar di dunia, perlambatan atau bahkan kontraksi yang terjadi pada perekonomiannya akan berdampak pada negara-negara lain dan dunia terutama mitra dagang strategisnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pecah Rekor, Kasus Covid Negara Ini Tembus 100 Juta Infeksi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular