
Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan Diminta Ditunda, Setuju?

Jakarta, CNBC Indonesia - Sejumlah masyarakat mendesak pemerintah untuk menunda kenaikan iuran BPJS Kesehatan Kelas 3 untuk Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) atau kelas mandiri, yang akan berlaku pada Januari 2021.
Seperti diketahui, sesuai dengan Perpres 64/2020, pemerintah akan mengurangi besaran bantuan iurannya. Selama ini, pemerintah memberikan bantuan iuran Rp 16.500 per orang setiap bulan. Tahun depan, pemerintah hanya memberikan bantuan iuran hanya Rp 7.000.
Peserta pun harus membayarkan iurannya dari Rp 25.500 menjadi Rp 35.000 per bulan atau naik Rp 9.500.
Indra Rusmi, Johan Imanuel, dan Bireven Aruan merupakan masyarakat Indonesia yang juga merupakan Pemohon Hak Uji Materiil Perpres No 64/2020 terkait kenaikan iuran BPJS Kesehatan. Mereka mendesak pemerintah untuk menunda kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Indra Rusmi mengatakan, akibat pandemi Covid-19, kondisi ekonomi setiap warga negara Indonesia (WNI) belum pulih. Oleh karena itu, tidak tepat jika iuran BPJS Kesehatan tetap dinaikkan.
"Pasal 2 UU BPJS mengatakan dasar penyelenggaraan BPJS harus lah Kemanusiaan, Manfaat, dan Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini merupakan asas dasar penyelenggaraan BPJS yang harus diperhatikan sebagai pedoman dalam membuat kebijakan," ujar Indra dalam keterangan tertulisnya yang diterima CNBC Indonesia, Selasa (29/12/2020).
Ada pula Johan Imanuel yang mengatakan persoalan iuran BPJS Kesehatan menjadi masalah banyak kalangan sejak diterbitkannya Perpres Kenaikan Iuran BPJS tahun 2019 yang kemudian diubah tahun 2020 karena adanya Putusan Mahkamah Agung.
Johan memandang, sebenarnya persoalan iuran BPJS Kesehatan bagi peserta mandiri benar-benar selesai dan tuntas jika Putusan MA Nomor 7P/HUM/2020 dilaksanakan secara tepat.
Johan menyayangkan putusan MA tidak dilaksanakan secara komprehensif, sehingga iuran tetap mengalami kenaikan pada 2021 melalui Perpres Nomor 64 Tahun 2020.
"Sehingga wajar jika timbul pertanyaan dari peserta, sampai kapan iuran BPJS Kesehatan mencemaskan peserta?" kata Johan.
Sementara itu Bireven Aruan, perwakilan lainnya, menambahkan seharusnya Manajemen BPJS Kesehatan lebih kreatif untuk mengatasi defisit keuangannya. Manajemen BPJS seharusnya menanggapi dengan cerdik tanpa perlu menimbulkan keberatan masyarakat.
Creative Thinking yang harus dilakukan Manajemen BPJS, menurut Bireven adalah dengan cara menciptakan program yang mirip dengan yang dilakukan oleh perusahaan asuransi swasta. Tujuannya adalah agar BPJS dapat menarik peserta yang berpenghasilan tinggi dengan tetap berdasarkan prinsip gotong royong.
Biruven kemudian memberikan contoh seperti BPJS Kesehatan bisa menerbitkan program dengan premi khusus yang nilainya minimum Rp 500 ribu per bulan. Peserta program ini diberikan jaminan untuk menerima pengembalian uang premi senilai 30%-50% setelah kepesertaannya mencapai tiga tahun.
Untuk program khusus ini, BPJS dapat memberikan nama atau istilah khusus agar tidak bertabrakan dengan prinsip dan fungsi BPJS. Misal BPJS Plus, BPJS Gold, BPJS GR (Gotong Royong), dan lain-lain.
Program khusus ini tentu tidak boleh melibatkan Peserta PBI (Penerima Bantuan Iuran) maupun PPU (Pekerja Penerima Upah), dengan pengertian bahwa si peserta memiliki dua jenis keanggotaan, tapi hanya boleh ada satu keanggotaan untuk pribadi dan keluarganya
Dengan target peserta sebanyak 1 juta orang. Maka dengan cara ini BPJS dapat mengumpulkan dana sekurang-kurangnya sebesar Rp 500 miliar per bulan dan dalam waktu satu tahun akan terkumpul sebanyak Rp 6 triliun.
"Silahkan dihitung sendiri apabila pesertanya di atas satu juta orang dan preminya bervariasi antara Rp 500.000 hingga Rp 1.000.000. Nilai ini telah cukup untuk mengatasi defisit yang selama ini terjadi berulang-ulang," jelas Biruven.
Jika kemudian, lanjut Biruven cara di atas tidak dapat dilakukan sendiri oleh BPJS Kesehatan, maka sesuai Pasal 5 ayat 4 UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, maka pemerintah dapat membentuk satu badan lain sebagai penopang dana bagi peran dan fungsi BPJS Kesehatan.
Adapun isi beleid Pasal 5 UU 4/2004 yakni "Dalam hal diperlukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial selain dimaksud pada ayat (3), dapat dibentuk yang baru dengan Undang-Undang."
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan mengungkapkan pada 2020 tidak akan lagi mengalami defisit. Bahkan, diproyeksikan akan ada surplus sebesar Rp 2,56 triliun di dalam kas tahun anggaran 2020.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris pada September 2020 lalu membuat proyeksi surplus arus kasnya berdasarkan tiga periode berlakunya besaran iuran.
Pertama, pada Januari-Maret 2020, BPJS memperoleh iuran sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) 75 tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan, yaitu sebesar Rp 160.000 untuk kelas 1, Rp 110.000 untuk kelas 2 dan Rp 42.000 untuk kelas 3.
Kemudian, pada April-Juni, BPJS Kesehatan memperoleh besaran iuran berdasarkan Perpres 82/2018, dimana iuran BPJS Kesehatan sempat turun. Yakni iuran untuk kelas I Rp 80.000, Kelas II Rp 51.000, dan Kelas III Rp 25.500.
Kemudian, berdasarkan keputusan terakhir. Sesuai dengan Perpres 64/2020, iuran BPJS Kesehatan pada pada Juli-Desember, sebesar Rp 150.000 untuk kelas I, Rp 100.000 untuk kelas II, dan Rp 42.000 untuk kelas III.
Dari perubahan iuran itu, Fachmi merinci, akan ada penerimaan sebesar Rp 130,7 triliun, dengan total pengeluaran dalam rencana kerja diproyeksikan Rp 128 triliun.
"Di sini kami kemudian memproyeksikan pada baseline Juli 2020. Di akhir tahun 2020, ini diperkirakan akan ada surplus arus kas sebesar Rp 2,56 triliun. Dengan sudah memperhitungkan dampak pandemi Covid-19, biaya bayi lahir. Dengan tindakan dan asumsi penundaan iuran PBPU," jelas Fachmi saat rapat dengan Komisi IX DPR, Kamis (17/9/2020).
Dia juga menjelaskan bahwa proyeksi tersebut dapat terealisasi karena BPJS Kesehatan telah melunasi seluruh utang jatuh tempo kepada seluruh rumah sakit.
Sepanjang Januari-Agustus 2020, BPJS Kesehatan telah membayarkan klaim senilai Rp 71,33 triliun kepada fasilitas kesehatan.
"Sehingga Juli 2020 sudah tidak ada lagi gagal bayar," ujarnya.
Seperti diketahui, sejak badan ini resmi beroperasi pada 2014, belum pernah tercatat mengalami surplus.
Namun, pada 31 Agustus 2020 BPJS Kesehatan mencatat bahwa nilai utang jatuh tempo nihil atau Rp 0. Adapun, terdapat utang klaim belum jatuh tempo sebesar Rp 1,75 triliun dan klaim yang masih dalam proses verifikasi (outstanding claim) senilai Rp 1,37 triliun.
Fachmi menyebutkan bahwa pada akhir 2019 BPJS Kesehatan mencatatkan defisit hingga Rp 15,5 triliun. Jumlah defisit pun sedikit menurun pada akhir Januari 2020 menjadi Rp 15,04 triliun, dan diharapkan dapat tuntas pada akhir tahun ini.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Daftar Iuran & Denda BPJS Kesehatan Berlaku Selasa 14 Januari 2025
