
Duh, Indeks Pembangunan Manusia RI No 107 dari 189 Negara!

Jakarta, CNBC Indonesia - Untuk melihat perkembangan pembangunan di suatu negara banyak sekali indikatornya. Salah satu yang bisa digunakan adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Di Indonesia indikator ini juga digunakan untuk mengevaluasi kinerja pemerintah dan sebagai sasaran target pembangunan nasional.
Ada tiga aspek yang menjadi komponen IPM yaitu usia masyarakat yang tercermin dari Usia Harapan Hidup (UHH), lama dan rata-rata mengeyam bangku sekolah (HLS dan RLS) serta aspek pengeluaran per kapita.
Apabila ketiga aspek tersebut mengalami kenaikan maka bisa dibilang ada kemajuan yang terjadi, meskipun harus dilihat lebih jauh apakah sudah sesuai target atau belum dan seberapa signifikan kemajuan tersebut dibuat.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan IPM untuk tahun 2020 berada di posisi 70,94. Ada kenaikan 0,02 poin dibanding tahun sebelumnya yang berada di 70,92. Angka IPM yang berada di rentang 70-80 mengindikasikan bahwa skornya tinggi.
Apabila dilihat menggunakan kacamata tiga aspek pembentuk indeks ini tadi maka kenaikan IPM tahun 2020 di Indonesia disebabkan oleh kenaikan pada aspek UHH dan aspek pendidikan.
UHH masyarakat Indonesia tahun ini mengalami kenaikan sebesar 0,13 tahun menjadi 71,47 tahun dari sebelumnya di angka 71,34 tahun. Trennya dalam sepuluh tahun terakhir terus mengalami kenaikan. Pada 2010 angka UHH Indonesia berada di bawah 70 tahun.
Di sektor pendidikan, terjadi kenaikan baik dari sisi Harapan Lama Sekolah (HLS) maupun Rata-rata Lama Sekolah (RLS). Tahun ini indikator HLS masyarakat Indonesia naik 0,03 tahun. Sementara untuk RLS naik 0,14 tahun.
Namun kondisi ekonomi yang jatuh ke jurang resesi membuat pengeluaran per kapita masyarakat justru turun. BPS mencatat pengeluaran per kapita masyarakat Indonesia turun Rp 286.000 dibanding tahun lalu.
Pada 2020 pengeluaran per kapita masyarakat RI berada di Rp 11 juta, sedangkan di tahun lalu mencapai Rp 11,29 juta. Resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19 menyebabkan pendapatan masyarakat Indonesia tergerus.
Fenomena PSBB yang masih berlanjut membuat sektor usaha lesu. Pendapatan menurun, margin laba melorot dan kebutuhan akan tenaga kerja juga berkurang. Banyak karyawan dirumahkan bahkan terkena PHK. Imbasnya daya beli masyarakat tergerus.
Ketidakpastian ekonomi membuat masyarakat memang cenderung untuk menahan belanjanya dan memilih menabung.
Apabila ditinjau secara keseluruhan memang indikator IPM Indonesia menyandang status tinggi. Namun apabila dilihat lebih jauh per provinsi masih ada disparitas. DKI Jakarta sebagai jantung perekonomian nasional menyandang status sangat tinggi dengan angka IPM di atas 80.
BPS mencatat ada 22 provinsi di Tanah Air yang menyandang status IPM tinggi. Provinsi tersebut antara lain Aceh, Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Kep. Babel, Kep. Riau, Jabar, Jateng, DI Yogyakarta, Jatim, Banten, Bali, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Kaltara, Sulut, Sulsel, Sultra.
Sisanya yaitu 11 provinsi menyandang status IPM sedang karena skornya berada di rentang 60-70. Provinsi-provinsi ini meliputi Lampung, NTB, NTT, Kalbar, Sulteng, Gorontalo, Sulbar, Maluku, Malut, Pabar, Papua.
Ini menjadi cerminan bahwa pembangunan di Tanah Air masih terbilang Jakarta dan Jawa sentris.