4 Menteri Jokowi dari Parpol Tercyduk KPK, Siapa Saja Mereka?

Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
07 December 2020 11:32
INFOGRAFIS, Ini Alasan Jokowi Murka ke Para Menterinya
Foto: Ilustrasi Presiden Joko Widodo (CNBC Indonesia/Edward Ricardo).

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Sosial Juliari Peter Batubara akhir pekan ini resmi ditetapkan sebagai tersangka pengadaan bantuan sosial Covid-19 oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Juliari menambah deretan para menteri asal partai politik pilihan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang tercokok komisi anti rasuah.

Berdasarkan catatan CNBC Indonesia, ada empat menteri di era kepemimpinan Jokowi yang tersandung kasus korupsi. Keempat penyelenggara negara itu berada di dua kabinet yang berbeda dan seluruhnya berasal dari partai politik.

Para menteri yang tersandung kasus korupsi antara lain eks Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi dan eks Menteri Sosial Idrus Marham. Keduanya merupakan anggota Kabinet Kerja periode 2014-2019.

Sementara dua lainnya, yaitu Menteri Kelautan dan Perikanan non aktif Edhy Prabpwo dan Menteri Sosial non aktif Juliari Batubara. Mereka merupakan anggota Kabinet Indonesia Maju periode 2019 - 2024.

Imam Nahrawi merupakan kader Partai Kebangkitan Bangsa, Idrus Marham bagian dari kader Golkar, Edhy Prabowo dari Gerindra, dan Juliari Batubara berasal dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan.

Berikut fakta seputar menteri Jokowi yang tersandung kasus korupsi:

Imam kala itu diduga menerima suap senilai Rp 14,7 miliar melalui asisten Menpora Miftahul Ulum atas kasus suap hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). Imam menerima uang tersebut selama periode 2014-2018.

Bahkan, Imam diduga meminta uang sebanyak Rp 11,8 miliar pada rentang waktu 2016-2018. Total dugaan penerimaan uang sebesar Rp 26,5 miliar itu diduga adalah commitment fee atas pengurusan proposal hibah KONI kepada Kemenpora tahun fiskal 2018.

Adapun Imam telah dijatuhi vonis penjara selama 7 tahun dan denda Rp 400 juta subsider 3 bulan kurangan. Vonis ini lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK, yaitu 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Selain itu, majelis juga menjatuhi pidana tambahan bagi Imam berupa pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama empat tahun terhitung sejak yang bersangkutan menjalani pidana pokok.

Bahkan, majelis hakim menghukum Imam untuk membayar uang pengganti senilai Rp 18,1 miliar, yang harus dibayar dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap.

Jika tidak, maka harta maupun benda Imam akan disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. Putusan ini dibacakan pada 29 Juni 2020 lalu.

Idrus diduga menerima suap Rp 2,25 miliar atas kasus proyek pembangkit listrik PLTU Riau 1. Suap tersebut diberikan oleh pengusaha yang juga salah satu pemegang saham Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo.

Idrus bersama Wakil Ketua Komisi Energi DPR kala itu, Eni Saragih, menerima suap untuk memuluskan proyek PLTU Riau-1. Idrus akhirnya divonis penjara tiga tahun pada 2019 lalu.

Namun, Idrus kemudian mengajukan banding ke Mahkamah Agung (MA). MA akhirnya memangkas hukuman Idrus menjadi dua tahun penjara, dan akhirnya bebas pada September 2020.

Pada 26 November, KPK menetapkan tujuh orang tersangka dalam kasus suap perizinan tambak atau komoditas perairan sejenis lainnya. Salah satu tersangka dalam kasus tersebut adalah Edhy yang ketika itu menjabat Menteri Kelautan dan Perikanan.

"KPK menyimpulkan adanya dugaan tindak pidana korupsi berupa penerimaan hadiah atau janji oleh penyelenggara negara terkait dengan perizinan tambak, usaha dan atau pengelolaan perikanan atau komoditas perairan sejenis lainnya," kata Wakil Ketua KPK Nawawi Pomalango.

Kasus ini bermula pada 14 Mei 2020 ketika Menteri KKP Edhy Prabowo menerbitkan Surat Keputusan Nomor 53/KEP MEN-KP/2020 tentang Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Perizinan Usaha Perikanan Budidaya Lobster.

Edhy pun menunjuk Staf Khusus Menteri Andreau Pribadi Misata (APS) selaku Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) dan Staf Khusus Menteri Safri selaku Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas. Salah satu tugas dari Tim ini adalah memeriksa kelengkapan administrasi dokumen yang diajukan oleh calon eksportir benur.

Selanjutnya pada awal bulan Oktober 2020, Direktur PT Dua Putra Perkasa (PT DPP) Suharjito datang ke lantai 16 kantor KKP dan bertemu dengan Safri. Dalam pertemuan tersebut, diketahui bahwa untuk melakukan ekspor benih lobster hanya dapat melalui forwarder Aero Citra Kargo (ACK) dengan biaya angkut Rp 1.800/ekor. Hal ini merupakan kesepakatan antara Amiril Mukminin (AM) dengan Andreau Pribadi dan Siswadi selaku Pengurus ACK.

Atas kegiatan ekspor benih lobster tersebut, PT DPP diduga melakukan transfer sejumlah uang ke rekening PT ACK dengan total sebesar Rp 731,57 juta. Selanjutnya PT DPP atas arahan Edhy melalui Tim Uji Tuntas (Due Diligence) memperoleh penetapan kegiatan ekspor benih lobster/benur dan telah melakukan sebanyak 10 kali pengiriman menggunakan perusahaan PT ACK.



Berdasarkan data kepemilikan terdaftar pemilik PT ACK terdiri adalah Amri dan Ahmad Bahtiar (ABT). Namun keduanya diduga hanyalah merupakan nominee dari pihak Edhy dan Yudi Surya Atmaja.

Atas uang yang masuk ke rekening PT ACK yang diduga berasal dari beberapa perusahaan eksportir benih lobster tersebut, selanjutnya di tarik dan masuk ke rekening Amri dan Ahmad Bahtiar masing-masing dengan total Rp 9,8 miliar.

Selanjutnya pada tanggal 5 November 2020, diduga terdapat transfer dari rekening Ahmad Bahtiar ke rekening salah satu bank atas nama Ainul Faqih, Staf istri Menteri KKP Iis Rosita Dewi. Jumlahnya sebesar Rp 3,4 miliar yang diperuntukkan bagi keperluan Edhy, Istrinya dan Andreau Pribadi Misanta.

Sebagian uang tersebut dipergunakan untuk belanja barang mewah oleh Edhy dan Istri di Honolulu AS pada tanggal 21 sampai dengan 23 November 2020 sejumlah sekitar Rp750 juta. Barang yang dibelanjakan antara lain Jam tangan Rolex, tas Tumi dan LV, baju Old Navy.

Di samping itu pada sekitar bulan Mei 2020, Edhy juga diduga menerima sejumlah uang sebesar US$ 100.000 dari Suhajito melalui Safri dan Amiril Mukminin. Selain itu, Safri dan Andreau Pribadi pada sekitar bulan Agustus 2020 menerima uang dengan total sebesar Rp 436 juta dari Ainul Faqih.

"Saya mohon maaf kepada seluruh keluarga besar partai saya. Saya dengan ini akan mengundurkan diri sebagai wakil ketua umum. Juga nanti saya akan mohon diri untuk tidak lagi menjabat sebagai menteri dan saya yakin prosesnya sudah berjalan," kata Edhy saat memberikan keterangan pasca ditetapkan sebagai tersangka.

Pada Minggu 5 Desember, KPK kembali menetapkan salah satu menteri Jokowi sebagai tersangka. Adalah Menteri Sosial Juliari Peter Batubara yang diduga melakukan tindak pidana korupsi terkait pengadaan bantuan sosial Covid-19.

Juliari dikabarkan sudah menyerahkan diri ke KPK. Bersamanya ada empat tersangka lain, yakni dua pejabat pembuat komitmen di Kementerian Sosial Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono dan pihak swasta Ardian I M dan Harry Sidabuke.

Ketua KPK Komjen Polisi Firli Bahuri menjelaskan, kasus diawali adanya pengadaan barang berupa bansos penanganan Covid-19. Ada paket sembako di Kementerian Sosial RI tahun 2020 dengan nilai kurang lebih Rp 5,9 triliun dengan total 272 kontrak dan dilaksanakan sebanyak dua periode.

Pada tahapan ini, Juliari menunjuk Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebagai pejabat pembuat komitmen dengan cara penunjukan langsung rekanan. KPK menduga ada kesepakatan sejumlah fee dari penunjukan rekanan pengadaan bansos tersebut.



"Saudara JPB selaku Menteri Sosial menunjuk MJS dan AW sebagai PPK dalam pelaksanaan proyek tersebut dengan cara penunjukan langsung para rekanan dan diduga disepakati ditetapkan adanya fee dari tiap-tiap paket pekerjaan yang harus disetorkan para rekanan kepada Kementerian Sosial melalui MJS," ujar Firli.



Firli mengatakan, untuk fee tiap paket Bansos disepakati oleh Matheus Joko Santoso dan Adi Wahyono sebesar Rp 10 ribu per paket sembako dari nilai Rp 300 ribu per paket bantuan sosial. Keduanya melakukan kontrak pekerjaan dengan suplier yang salah satunya PT RPI yang diduga milik Matheus.



"Selanjutnya, MJS dan AW pada bulan Mei sampai dengan November 2020 dibuatkan kontrak pekerjaan dengan beberapa suplier sebagai rekanan yang di antaranya AIM, HS dan juga PT RPI yang diduga milik MJS," kata Firli.



KPK menyebut, Juliari mengetahui langsung penunjukan perusahaan milik anak buahnya. ada paket bansos Covid-19 periode pertama, diduga diterima fee miliaran rupiah dan turut diterima Mensos Juliari.



"Pada pelaksanaan paket bansos sembako periode pertama diduga diterima fee kurang lebih sebesar Rp 12 Miliar yang pembagiannya diberikan secara tunai oleh MJS kepada JPB melalui AW dengan nilai sekitar Rp 8,2 miliar," ujar Firli.



Firli menerangkan, pemberian uang tersebut selanjutnya dikelola Eko dan Shelvy selaku orang kepercayaan Juliari untuk digunakan membayar berbagai kebutuhan pribadi Mensos. Ada uang sekitar Rp 8,8 miliar yang diduga dipakai untuk keperluan Juliari.



"Untuk periode kedua pelaksanaan paket Bansos sembako, terkumpul uang fee dari bulan Oktober 2020 sampai dengan Desember 2020 sejumlah Rp 8,8 miliar yang juga diduga akan dipergunakan untuk keperluan saudara JPB," kata Firli.


(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Prabowo Puji Jokowi Saat Meresmikan Puluhan Proyek Listrik di Sumedang

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular