Iuran BPJS Naik? Bakal Banyak Jadi 'Orang Miskin' Biar Gratis

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
30 November 2020 09:05
BPJS Kesehatan (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Iuran jaminan kesehatan nasional (JKN) berbasis kebutuhan dasar kesehatan (KDK) sedang dikaji oleh pemerintah dan otoritas terkait. Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengindikasikan, adanya kenaikan iuran BPJS Kesehatan jika KDK diterapkan.

Agus menjelaskan, jenis tanggungan yang bisa diklaim oleh BPJS Kesehatan nantinya juga akan bertambah, sehingga akan ada kenaikan iuran.

Penyesuaian iuran JKN didasari KDK, kata Agus sesuai dengan Perpres 64 Tahun 2020 pasal 54A dan 54B, yang mengamanatkan untuk melakukan peninjauan ulang atas manfaat JKN agar berbasis KDK dan rawat inap kelas standar.

"Ini akan mempengaruhi besaran iuran JKN dan perlu adanya penyesuaian besaran iuran," jelas Terawan saat melakukan rapat bersama Komisi IX DPR, Selasa (24/11/2020).

Perhitungan iuran itu akan menggunakan metode aktuaria dan mempertimbangkan KDK, kelas standar, inflasi kesehatan, dan perbaikan tata kelola JKN. Selain itu, besaran iuran yang baru pun akan menyesuaikan manfaat-manfaat yang ditetapkan pemerintah nantinya.

Mantan Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) itu pun menyatakan, setidaknya terdapat dua dasar penentuan manfaat JKN berbasis KDK. PerĀ­tama, berdasarkan pola penyakit di wilayah Indonesia. Kedua, berdasarkan siklus hidup dan pelayanan kesehatan yang diperlukan sesuai kelompok usia atau jenis kelamin.

Lanjut Terawan, bahwa pemerintah sudah memulai proses penyusunan besaran iuran baru program JKN. Rancangan tersebut menghasilkan positif list dan negatif list.

Positif list antara lain seperti pelayanan kesehatan ibu dan anak, pelayanan kesehatan penyakit infeksi (termasuk penyakit menular), pelayanan kesehatan penyakit tidak menular (termasuk penyakit katastrofik seperti jantung, kanker, gagal ginjal, dan sebagainya).

Nah, di dalam negatif list ini, karena disesuaikan dengan pola epidemiologi dan penyakit yang ada di Indonesia, dan sebagainya.

Maka mau tidak mau, pemerintah juga akan menanggung beberapa persoalan yang selama ini belum ditanggung oleh BPJS Kesehatan, seperti kejadian luar biasa (KLB) wabah, bencana alam, dan non alam, hingga korban penganiayaan dan kekerasan, serta korban narkotika.

"Merupakan pelayanan yang sudah diatur secara regulasi pembiayaannya dijamin oleh pemerintah. Antara lain pelayanan pada KLB wabah, bencana alam dan non alam, pelayanan pada kasus hukum seperti penganiayaan, korban kekerasan, dan narkotika," jelas Terawan.

"Pelayanan yang berhubungan dengan fertilitas estetik, pelayanan kecelakaan kerja, dan penyakit akibat kerja, dan lain sebagainya," kata Terawan melanjutkan.

Kendati demikian, proses penyesuaian iuran JKN saat ini, menurut Terawan masih dalam tahap awal untuk membuat pemodelan dengan menggunakan data cost dan data utilisasi dari BPJS Kesehatan dan mempertimbangkan proyeksi dan asumsi sebagai kebijakan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>

Dewan Pengawas BPJS Kesehatan menyoroti adanya kenaikan signifikan jumlah peserta BPJS Kesehatan segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) kelas III yang cukup signifikan.

Adanya pemindahan kepesertaan menjadi segmen PBPU Kelas III dikhawatirkan akan terjadinya peningkatan anggaran belanja negara pemerintah di masa yang akan datang.

"Selama pandemi, terjadi peningkatan jumlah peserta segmen PBPU Kelas III yang cukup signifikan sejak Juni hingga Oktober 2020," ujar Ketua Dewan Pengawas BPJS Chairul Radjab Nasution saat melakukan rapat bersama dengan Komisi IX DPR, Selasa (24/11/2020).

"Dengan adanya hal tersebut, terjadi potensi risiko peningkatan dana bantuan iuran yang dikeluarkan pemerintah," kata Chairul melanjutkan.

Seperti diketahui peserta BPJS Kesehatan di Kelas III merupakan peserta bantuan iuran (PBI). Artinya sebagian iuran mereka ditanggung oleh pemerintah melalui APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).

Di dalam kesempatan yang sama, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menjelaskan, pemutakhiran data peserta PBI dilakukan setiap bulannya ditetapkan oleh Kementerian Sosial dan dimutakhirkan di dalam data terpadu kesejahteraan sosial (DTKS).

"Sampai saat ini dari Januari-Oktober 2020 telah dilakukan 9 kali perubahan data PBI jaminan kesehatan. Terakhir melalui SK Mensos Nomor 144 pada Oktober 2020 lalu," ujarnya dalam rapat bersama Komisi IX DPR, Selasa (24/11/2020).

Terawan merinci, pada Januari 2020, berdasarkan SK Menteri Sosial 1/HUK/2020 terdapat 96,64 juta peserta yang tercatat di segmen PBI. Setiap bulannya jumlah tersebut diperbaharui karena jumlah penduduk miskin terus bergerak dinamis. Apalagi di masa pandemi Covid-19 saat ini yang telah menekan kondisi ekonomi.

Sementara jumlah peserta PBI paling sedikit terjadi pada Mei 2020 sebanyak 95,89 juta orang. Namun, pemadanan DTKS yang terus dijalankan setiap bulan membuat jumlah itu terus berubah hingga pada Oktober 2020 menjadi 96,63 juta orang.

Dia menjabarkan bahwa berdasarkan pemadanan data pada Februari, April, dan Oktober 2020, terdapat tambahan 5,8 juta peserta PBI yang sebelumnya tidak masuk ke dalam DTKS. Adapun, pemerintah menetapkan kuota PBI sebanyak 98,6 juta orang

"Diharapkan dengan penggantian ini dapat memastikan bahwa iuran peserta (PBI) yang dibayarkan pemerintah pusat sesuai dengan data terpadu," tutur Terawan.

Berdasarkan Perpres 64/2020, diputuskan, peserta BPJS Kesehatan Kelas III per bulan sebesar Rp 42.000. Peserta BPJS Kesehatan Kelas III hanya membayar Rp 25.500 dan selisih bayar yang sebesar Rp 16.500 dibayar oleh pemerintah pusat sebagai bantuan iuran.

Artinya, dengan data PBI sebanyak 96,63 juta orang, dengan Rp 16.500 yang harus ditanggung pemerintah, negara harus menggelontorkan kurang lebih Rp 1,59 triliun setiap bulan untuk menutupi kekurangan peserta PBI BPJS Kesehatan.

HALAMAN SELANJUTNYA >> Iuran BPJS Kelas Standar

Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Tubagus Achmad Choesni mengatakan, pihaknya telah melakukan forum group discussion (FGD) oleh berbagai rumah sakit, baik rumah sakit publik dan swasta. Mulai dari regional Barat, Tengah, dan Timur. FGD tersebut membhas menegenai penerapan kelas standar.

Hasil FGD dengan antar RS tersebut, hasilnya, 72% RS setuju menerapkan kelas standar, 16% RS tidak setuju menerapkan kelas standar, dan 12% tidak tahu.

"Yang belum menyetujui, karena agak concern dengan kesiapan infrastruktur dan harus melakukan tahapan secara baik. Sementara yang 12% tidak tahu akan diperbaiki dengan konsultasi publik," ujar Choesni dalam kesempatan yang sama.

Sampai saat ini, DJSN memiliki empat opsi skenario pentahapan kelas standar.

Skenario pertama, kelas standar dilakukan di RS Vertikal, RS Pemerintah lainnya dan RS Swasta. Skenario kedua, kelas standar kemungkinan akan dilakukan di RS Pemerintah dan RS Swasta.

Sementara Skenario ketiga, penerapan kelas standar disesuaikan dengan bed occupancy ratio (BOR). BOR merupakan angka yang menunjukan persentase penggunaan tempat tidur di unit rawat inap atau bangsal.

"Kabupaten/kota dengan BOR di bawah 40%, kabupaten/kota dengan BOR 41% sampai 69%, serta kabupaten/kota dengan BOR di atas 70%," jelas Choesni.

"Skenario keempat dengan melihat kesiapan pemerintah daerah, terkait supply side," kata Choesni melanjutkan.

Anggota DJSN Muttaqien menjelaskan, jika mengenai besaran iuran, sampai saat ini pihaknya masih membuat beberapa simulasi dan menarik data yang ada di BPJS Kesehatan. Diakuinya, penetapan iuran ini akan dilakukan dengan sangat hati-hati.

"Agar memperkuat ekosistem JKN untuk keberlanjutan dan peningkatan kualitas JKN. Juga masih menunggu keputusan final dari kebijakan manfaat terkait Kebutuhan Dasar Kesehatan, yang juga akan memiliki pengaruh kepada besaran iuran nanti," kata Muttaqien kepada CNBC Indonesia, dikutip Senin (30/11/2020).

Sebelumnya, Saleh Partaonan Daulay, anggota Komisi IX DPR pernah mengusulkan agar besaran iuran BPJS Kesehatan, jika kelas standar diterapkan dengan nilai Rp 75.000. Karena berhitung berdasarkan aktuaria kelas 3 dan kelas 2.

"Secara umum, mungkin bisa dibayangkan itu kelas standar antara kelas 3 dan kelas 2. Di atas kelas 3, tapi tidak sampai kelas 2," jelas Saleh kepada CNBC Indonesia.

Untuk diketahui, penerapan kelas standar merupakan amanat dari Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004, tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Yang seharusnya kelas standar sudah bisa diterapkan 2004 silam. Namun, proses penyusunan kriteria baru berlangsung sejak 2018 lalu.

Kelas standar untuk peserta BPJS Kesehatan artinya, semua fasilitas dan layanan kesehatan akan disamaratakan, tidak ada sistem kelas 1, 2, dan 3, yang selama ini berjalan.






(dru)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kelas 1,2,3 Bakal Dihapus, Cek Iuran BPJS Kesehatan 11 Desember

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular