
Begini Skema Penyelamatan UMKM Dunia, RI Bagaimana?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi Covid-19 mendorong mayoritas pemerintahan di dunia menggelontorkan stimulus, guna memastikan ekonomi tetap bergulir meski menghadapi problem ekonomi. Indonesia pun tak mau kalah, meski masih tertinggal dalam satu hal ini.
Di hampir kebanyakan negara-negara yang mendorong stimulus tersebut, sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) menjadi perhatian utama, mengingat posisinya sebagai sokoguru perekonomian yang membuka 90% lapangan kerja di perekonomian dunia.
Lalu bagaimana pemerintahan negara maju dan berkembang menyuntikkan stimulus mereka, dan melalui program apa saja? Berikut ini ulasan Tim Riset CNBC Indonesia, yang mengacu pada data primer dan sekunder.
Dalam laporan Organisasi untuk Pembangunan dan Kerja-Sama Ekonomi (Organisation for Economic Co-operation and Development/OECD) berjudul "Covid-19: SME Policy Responses", sebagian besar negara-negara di dunia bertindak cepat mengatasi efek pandemi terhadap perekonomian dengan memberikan stimulus ke pelaku usaha, terutama UMKM.
Tercatat 46 dari 59 negara yang dipantau OECD, termasuk Indonesia, sampai dengan Juli lalu telah memberikan bantuan kredit langsung kepada UMKM. Jumlah negara tersebut berpeluang bertambah karena kebijakan pemberian insentif bagi usaha kecil tersebut terus berkembang.
Bentuknya berupa pembiayaan langsung ke UMKM, pemberian subsidi, bantuan, dan juga jaminan kredit untuk sektor UMKM. Yang tidak kalah menariknya,, mereka juga mengambil kebijakan struktural dengan mengentaskan UMKM dari 'buta-digital'.
OECD menilai Jerman sebagai negara di Eropa yang paling agresif menggelontorkan stimulus bagi UMKM. Dari stimulus senilai € 750 miliar (US$ 890 miliar), sektor UMKM mendapat porsi terbesar, yakni € 50 miliar (setara dengan Rp 844 triliun).
Di dunia, Amerika Serikat (AS) unggul dari sisi nilai stimulus bagi UMKM, dengan nilai total US$ 2,5 triliun (terbesar di dunia). Dari situ, sebanyak US$ 380 miliar digelontorkan untuk membantu UMKM mereka.
![]() |
Selain mengambil kebijakan penyelamatan darurat, negara-negara maju di seluruh dunia juga mengambil kebijakan yang lebih struktural yakni mempercepat digitalisasi UMKM, membantu menembus pasar internasional, mendorong inovasi dan pelatihan ulang tenaga kerja.
Kebijakan struktural itu tak hanya membidik sasaran jangka pendek (mengatasi efek pandemi), melainkan juga memperkuat daya saing UMKM pasca-pandemi. Bagaimana dengan Indonesia?
Pemerintahan Joko Widodo tidak mau ketinggalan dengan negara lain unuk menggenjot stimulus, demi menyelamatkan UMKM. Total kucuran dana stimulus tahun ini mencapai Rp 695,2 triliun, atau setara dengan 4,2% PDB.
Dari sisi rasio ke PDB, angka tersebut tertinggal di Asia Tenggara dan hanya unggul dari Vietnam (1,5%), Laos 1%, dan Myanmar (0,1%). Jika dibelah lagi, UMKM mendapatkan alokasi stimulus Rp 123,5 triliun, atau nyaris seperlima (setara dengan 17,8%) dari total stimulus yang diberikan.
Stimulus bagi UMKM ini dijalankan dalam lima program. Pertama, bantuan sosial bagi pelaku usaha UMKM (dan koperasi) yang tergolong miskin dan rentan. Kedua, insentif pajak bagi UMKM yang beromzet di bawah Rp 4,8 miliar per tahun dengan tarif Pajak Penghasilan (PPh) final 0% selama 6 bulan (April-September 2020).
Ketiga, relaksasi dan restrukturisasi kredit UMKM dan koperasi, berupa penundaan angsuran dan subsidi bunga kredit. Penerima relaksasi juga diperluas untuk usaha mikro penerima bantuan pemerintah daerah (pemda) seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), Ultra Mikro (UMi), program Mekaar Permodalan Nasional Madani (PNM), dll.
Keempat, perluasan pembiayaan modal kerja UMKM dan koperasi meliputi 23 juta UMKM dan koperasi yang belum terhubung dengan lembaga pembiayaan atau perbankan. Kelima, dukungan UMKM melalui Kementerian dan pemda seperti jaminan/asuransi kredit.
Terkait dengan program reformasi struktural, Menteri Koperasi dan UMKM Teten Masduki mengakui ada beberapa permasalahan sehingga cenderung tertinggal jika dibandingkan dengan negara maju. Di antaranya, UMKM tidak memiliki infrastruktur digital (modem dan ponsel pintar), kekurangan dana untuk mengakses internet, dan minimnya literasi.
Oleh karena itu, Teten mengatakan bahwa pihaknya akan memberikan dukungan bagi pelaku usaha UMKM untuk mengakses internet dan platform digital. "Tujuannya, membantu UMKM offline untuk memiliki perangkat untuk dapat mengakses dunia digital," ujarnya belum lama ini.
Dari sisi moneter, Bank Indonesia (BI) ikut membantu pemulihan UMKM (dan industri secara umum) dengan memangkas BI 7-Day Reverse Repo Rate. Indonesia menjadi salah satu negara paling agresif memangkas suku bunga acuan, yakni sebesar 100 basis poin dalam 9 bulan.
Dengan program masif demikian, pelaku UMKM pun kian optimistis. Ini terlihat dari survei Organisasi Buruh Internasional (International Labor Organization/ILO) yang menunjukkan bahwa keyakinan pelaku usaha UMKM membaik menyusul gejala perbaikan, dan kuatnya kebijakan pemerintah, serta pencabutan kebijakan ketat sepert karantina wilayah (lockdown).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Stimulus Ekonomi Seperti Nasi Padang: Tak Boleh Kebanyakan!