Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah dan otoritas terkait tengah mengkaji iuran jaminan kesehatan nasional (JKN) berbasis kebutuhan dasar kesehatan (KDK). Jenis tanggungan yang bisa diklaim oleh BPJS Kesehatan nantinya juga akan bertambah, sehingga akan ada kenaikan iuran.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menjelaskan, penyesuaian iuran JKN didasari KDK, sesuai dengan Perpres 64 Tahun 2020 pasal 54A dan 54B, yang mengamanatkan untuk melakukan peninjauan ulang atas manfaat JKN agar berbasis KDK dan rawat inap kelas standar.
"Ini akan mempengaruhi besaran iuran JKN dan perlu adanya penyesuaian besaran iuran," jelas Terawan saat melakukan rapat bersama Komisi IX DPR, Selasa (24/11/2020).
Perhitungan iuran itu akan menggunakan metode aktuaria dan mempertimbangkan KDK, kelas standar, inflasi kesehatan, dan perbaikan tata kelola JKN. Selain itu, besaran iuran yang baru pun akan menyesuaikan manfaat-manfaat yang ditetapkan pemerintah nantinya.
Mantan Kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) itu pun menyatakan, setidaknya terdapat dua dasar penentuan manfaat JKN berbasis KDK. Pertama, berdasarkan pola penyakit di wilayah Indonesia. Kedua, berdasarkan siklus hidup dan pelayanan kesehatan yang diperlukan sesuai kelompok usia atau jenis kelamin.
Lanjut Terawan, bahwa pemerintah sudah memulai proses penyusunan besaran iuran baru program JKN. Rancangan tersebut menghasilkan positif list dan negatif list.
Positif list antara lain seperti pelayanan kesehatan ibu dan anak, pelayanan kesehatan penyakit infeksi (termasuk penyakit menular), pelayanan kesehatan penyakit tidak menular (termasuk penyakit katastrofik seperti jantung, kanker, gagal ginjal, dan sebagainya).
Nah, di dalam negatif list ini, karena disesuaikan dengan pola epidemiologi dan penyakit yang ada di Indonesia, dan sebagainya.
Maka mau tidak mau, pemerintah juga akan menanggung beberapa persoalan yang selama ini belum ditanggung oleh BPJS Kesehatan, seperti kejadian luar biasa (KLB) wabah, bencana alam, dan non alam, hingga korban penganiayaan dan kekerasan, serta korban narkotika.
"Merupakan pelayanan yang sudah diatur secara regulasi pembiayaannya dijamin oleh pemerintah. Antara lain pelayanan pada KLB wabah, bencana alam dan non alam, pelayanan pada kasus hukum seperti penganiayaan, korban kekerasan, dan narkotika," jelas Terawan.
"Pelayanan yang berhubungan dengan fertilitas estetik, pelayanan kecelakaan kerja, dan penyakit akibat kerja, dan lain sebagainya," kata Terawan melanjutkan.
Kendati demikian, proses penyesuaian iuran JKN saat ini, menurut Terawan masih dalam tahap awal untuk membuat pemodelan dengan menggunakan data cost dan data utilisasi dari BPJS Kesehatan dan mempertimbangkan proyeksi dan asumsi sebagai kebijakan.
Di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, iuran tarif BPJS Kesehatan selalu berubah-ubah. Keputusan menaikkan iuran awalnya tertuang pada Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Melalui peraturan ini, pemerintah menaikkan iuran hingga dua kali lipat di semua kelas peserta.
Dengan Perpres 75/2019, pemerintah menetapkan iuran BPJS Kesehatan untuk kelas mandiri atau peserta bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) mencapai Rp 160.000 per orang per bulan di kelas I. Angka ini naik 100% jika dibandingkan iuran sebelumnya sebesar Rp 81.000 per orang per bulan. Untuk kelas II naik 115% menjadi Rp 110.000 per orang per bulan dari yang sebelumnya Rp 51.000 per orang per bulan.
Sedangkan untuk kelas III naik 64,70% menjadi Rp 42.000 per orang per bulan dari yang sebelumnya hanya Rp 25.500 per orang per bulan. Iuran kelas III peserta mandiri ini besarannya sama dengan yang dibayarkan pemerintah untuk peserta PBI yang jumlahnya sekitar 133,5 juta orang yang berasal dari pemerintah pusat sebanyak 96,5 juta orang dan daerah sebanyak 37 juta orang.
Iuran ini berlaku pada 1 Januari 2020, namun tidak lama implementasinya ada yang menggugat Perpres 75 Tahun 2019 ke MA, mereka adalah KPCDI (Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia). Hasilnya MA membatalkan penyesuaian iuran BPJS Kesehatan dan besaran iuran yang berlaku mengacu pada Perpres Nomor 82 Tahun 2018.
Keputusan MA yang membatalkan penyesuaian itu terjadi pada awal Maret 2020 yang tertuang pada Putusan MA Nomor 7 P/HUM/2020. Dalam putusan itu pemerintah juga diberikan waktu selama 90 hari ke depan untuk menganulir penyesuaian iuran yang sudah dilakukan sejak awal tahun 2020.
Akhirnya iuran BPJS Kesehatan untuk semua kelas kembali ke aturan sebelumnya, yaitu untuk kelas I sebesar Rp 81.000 per orang per bulan, kelas II Rp 51.000 per orang per bulan, kelas III Rp 25.500 per orang per bulan.
Setelah resmi menjalankan putusan MA, belum lama ini pemerintah menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan. Keputusan itu tertuang dalam Perpres Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Kali ini besaran kenaikan iurannya hanya sekitar 85,18% sampai 96,07%.
Berdasarkan Perpres 64/2020, iuran untuk kelas I peserta mandiri atau PBPU dan BP menjadi Rp 150.000 per orang per bulan atau naik 85,18%, kelas II menjadi Rp 100.000 per orang per bulan atau naik 96,07%, sedangkan kelas III menjadi Rp 42.000 per orang per bulan atau naik 64,70%. Aturan ini yang akhirnya sampai saat ini menjadi landasan iuran BPJS Kesehatan.
Keputusan menaikkan kembali iuran BPJS Kesehatan ini pun menuai pro kontra. Pasalnya kenaikan iuran BPJS Kesehatan terjadi disaat pandemi Corona. Banyak kondisi ekonomi masyarakat terdampak, sehingga kenaikan iuran dinilai menambah beban masyarakat, dan banyak masyarakat untuk menurunkan kelas kepesertaan.
Dewan Pengawas BPJS Kesehatan mencatat bahwa pada Juli hingga September 2020, peserta aktif PBPU Kelas III secara total bertambah 1,7 juta dalam 2 bulan. Hal ini yang juga berpotensi akan membuat APBN semakin membengkak.
"Terdapat potensi risiko peningkatan dana bantuan iuran yang dikeluarkan pemerintah," ujar Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan Chairul Radjab Nasution dalam rapat bersama Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada Selasa (24/11/2020).