
Awas Negara Bangkrut, Tsunami Utang Rekor Rp 3,9 Kuadriliun

Jakarta, CNBC Indonesia - Institute for International Finance (IIF) memperingatkan adanya 'serangan tsunami utang' setelah krisis virus corona yang mendorong tingkat utang global ke level tertinggi baru, lebih dari US$ 272 triliun (Rp 3.859 kuadriliun, asumsi Rp 14.190/US$), pada kuartal III (Q3) 2020.
Lembaga itu mengatakan utang global akan memecahkan rekor baru dalam beberapa bulan mendatang mencapai US$ 277 triliun (Rp 3,930 kuadriliun) pada akhir tahun 2020. Ini akan mewakili rasio utang terhadap PDB sebesar 365%.
"Didorong oleh peningkatan tajam dalam pinjaman pemerintah dan perusahaan saat pandemi Covid-19 terus berlanjut, beban utang global meningkat sebesar US$ 15 triliun dalam tiga kuartal pertama tahun 2020 dan sekarang berada di atas US$ 272 triliun," kata IIF dalam laporan Global terbarunya, Debt Monitor yang rilis pada Rabu (18/11/2020).
Penambahan utang terjadi setelah pemerintah di seluruh dunia meningkatkan dukungan stimulus untuk perusahaan dan masyarakat dalam menghadapi pandemi global ini. Tidak sedikit bisnis yang harus mencari pendanaan alternatif karena aktivitas mereka terhenti setelah munculnya Covid-19.
Kedua peristiwa tersebut diterjemahkan ke dalam pinjaman yang lebih tinggi, yang menyebabkan lebih banyak utang yang tercatat.
Di antara negara-negara maju, utang melonjak di atas 432% dari PDB pada kuartal ketiga, atau meningkat 50% dari 2019. Amerika Serikat, yang telah menerapkan salah satu paket stimulus terbesar di dunia, menyumbang hampir setengah dari kenaikan ini.
Di zona euro, tindakan pemerintah menyebabkan peningkatan utang publik sebesar US$ 1,5 triliun selama periode yang sama, mencapai US$ 53 triliun. Namun angka ini masih di bawah utang US$ 55 triliun yang muncul pada kuartal kedua tahun 2014, saat wilayah tersebut menghadapi krisis utang negara.
Sementara di pasar negara berkembang, tingkat utang naik hingga lebih dari 248% dari PDB, dengan Lebanon, China, Malaysia, dan Turki mengalami kenaikan terbesar dalam utang sektor non-keuangan.
Namun, pandemi virus Corona bukanlah satu-satunya faktor yang menyebabkan besarnya utang global.
"Laju akumulasi utang global belum pernah terjadi sebelumnya sejak 2016, meningkat lebih dari US$ 52 triliun," kata IIF.
"Sementara sekitar US$ 15 triliun dari lonjakan ini telah dicatat pada tahun 2020 di tengah pandemi Covid-19, penumpukan utang selama empat tahun terakhir telah jauh melampaui kenaikan US$ 6 triliun selama empat tahun sebelumnya."
Tingkat hutang yang lebih besar menempatkan pemerintah, perusahaan dan rumah tangga pada risiko yang lebih tinggi selama kemerosotan ekonomi karena mereka diharuskan membayar hutang tersebut.
Pada Oktober lalu, Bank Dunia (World Bank) juga sempat merilis laporan terbaru soal statistik utang internasional (International Debt Statistics) 2021. Dalam rilis tersebut lembaga ini melaporkan deretan negara low-middle income dengan jumlah utang luar negeri terbesar di dunia.
Data ini diambil dari tahun 2009, 2015, 2016, 2017 dan 2019. Negara dengan utang terbesar di 2019 adalah China, di mana jumlahnya sebesar US$ 2,1 triliun. Selanjutnya ada Brasil (US$ 569,39 miliar), India (US$ 560,03 miliar), Rusia (US$ 490,72 milar), dan Meksiko (US$ 469,72 miliar).
Kemudian Turki (US$ 440,78 miliar), Indonesia (US$ 402,08 miliar), Argentina (US$ 279,30 miliar), Afrika Selatan (US$ 188,10 miliar), dan Thailand (US$ 180,23 miliar).
Sementara itu, pemerintah mengatakan utang itu hanya menyertakan negara berkembang dan tidak negara maju. Sehingga tidak adanya perbandingan.
(sef/sef) Next Article Alamak! Utang Negara Dunia Diramal Tembus US$ 71 Triliun
