Ribuan Restoran di Jakarta Gulung Tikar, Ini Potret Suramnya

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
19 November 2020 20:15
Ilustrasi Restoran KFC. CNBC Indonesia/Andrean Kristianto
Foto: Ilustrasi Restoran KFC. CNBC Indonesia/Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Untuk pertama kalinya bisnis restoran dalam negeri digempur tsunami kebangkrutan sebesar sekarang akibat merebaknya pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) yang membuat masyarakat terpaksa harus lebih banyak beraktivitas di rumah. 

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diterapkan sejak awal April membuat restoran sepi pengunjung. Banyak restoran yang tutup dan tidak beroperasi selama pandemi. Namun ada juga yang masih beroperasi tetapi hanya melayani pesan antar saja tanpa dine in karena mengikuti protokol yang berlaku. 

PSBB yang berlarut-larut membuat jumlah restoran yang merugi dan tumbang semakin banyak. Baru dua bulan berjalan nilai kerugian restoran di Tanah Air sudah menderita kerugian Rp 45 triliun menurut Ketua Persatuan Hotel dan Restoran seluruh Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani Juni lalu.

Kondisi ini jelas berdampak pada penurunan permintaan tenaga kerja di sektor restoran. Berdasar data Kadin pada 19 Mei 2020 lalu, sektor restoran menyumbang angka pengangguran sebesar 430 ribu orang.

Kendati PSBB dilonggarkan mulai bulan Juni, tetapi mobilitas masyarakat masih belum pulih seperti saat sebelum pandemi Covid-19 merebak. Masalahnya setelah pelonggaran PSBB diterapkan terutama di DKI Jakarta dan beberapa kota besar lain, kasus infeksi Covid-19 di Indonesia malah meledak. 

Inilah yang membuat mobilitas masih tertekan. Masyarakat masih enggan untuk mengunjungi pusat perbelanjaan dan kalaupun berkunjung frekuensinya tak seintens dulu. Kebijakan PSBB pun terus diperpanjang di DKI Jakarta.

Kebijakan perpanjangan PSBB DKI Jakarta dinilai oleh para pelaku usaha restoran tidaklah efektif karena tak mampu menekan angka pertambahan kasus infeksi yang setiap hari justru semakin meningkat trennya. 

Pasalnya selama PSBB diterapkan, kerumunan masa justru terjadi dengan adanya aksi demonstrasi di berbagai wilayah RI menolak pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU, kerumunan massa di Bandara Soekarno-Hatta yang sangat masif belakangan ini, belum lagi adanya pilkada serentak akhir tahun nanti.

Walaupun peningkatan mobilitas mulai terlihat, tetapi tujuan utamanya bukan untuk makan di restoran atau berbelanja di mal. Konsumen terutama kalangan menengah bawah cenderung menahan diri untuk berbelanja dan lebih banyak menabung.

Konsumen kelas menengah bawah saat ini masih fokus membelanjakan uangnya untuk barang-barang esensial meskipun bantuan sosial pemerintah sudah dikucurkan. Sedangkan konsumen kalangan atas cenderung menahan diri untuk keluar rumah. 

Perubahan perilaku konsumen inilah yang juga semakin membuat bisnis restoran jadi babak belur. 

Survei terbaru yang dilakukan oleh Mandiri Institute menjadi bukti nyata bahwa restoran menjadi sektor yang sangat sengsara akibat pembatasan mobilitas publik ini. Bahkan ketika pelonggaran dilakukan pun restoran tetap saja babak belur. 

Ada peningkatan tingkat kunjungan memang ketika PSBB yang tadinya ketat kemudian diperlonggar. Hanya saja kenaikannya tak serta merta membuat kunjungan konsumen kembali seperti semula. 

Pada periode 9-13 September lalu, tingkat kunjungan ke restoran di delapan kota besar Tanah Air masih berkisar di antara 40% (Bogor) dan 68% (Makassar). Kunjungan ke restoran di Kota Bogor justru drop ketika di tempat lain meningkat dibanding pada 6-11 Agustus.

Kenaikan kunjungan pun tidak terjadi secara merata di semua jenis restoran. Kenaikan kunjungan tertinggi justru dialami oleh restoran dengan format fast food yang biasanya menyediakan fasilitas delivery maupun drive thru. 

Parahnya lagi ketika wacana PSBB jilid II DKI Jakarta digaungkan, kunjungan ke restoran di DKI Jakarta drop lagi. Pada 17-20 September 2020, tingkat kunjungan ke restoran di DKI Jakarta hanya 19%, padahal seminggu sebelumnya masih di angka 54%.

Kalangan Pengusaha restoran meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk mencabut pembatasan sosial berskala besar (PSBB) transisi. Permintaan itu tidak lepas dari kondisi dunia usaha restoran yang terus mengalami tekanan dalam beberapa bulan terakhir.

"Saya pikir sudah nggak efektif. Sudah banyak yang benar-benar kesulitan, banyak yang benar-benar mati. Jadi udah waktunya dibikin normal, kita resto sudah rugi, nggak ada untung. Sekarang how to survive tapi kita nggak didukung sistem komprehensif, mati dong kita. Kalau ada demo, pilkada kita sampai kapan, benar-benar mati deh saya bilang, Desember bubar-bubaran deh," Wakil Ketua Umum PHRI Bidang Restoran, Emil Arifin kepada CNBC Indonesia, Rabu (18/11).

Pelaku usaha restoran membuka data yang cukup membuat miris. Selama 7 bulan pandemi Covid-19, sudah ada ribuan restoran yang gulung tikar di DKI Jakarta. Bahkan, berdasarkan data PHRI, lebih banyak restoran yang menutup secara permanen dibandingkan sementara.

"Restoran yang disurvei 4.469 restoran dari total 9.054 restoran yang tutup permanen 1033, jadi hampir 10%. Tutup sementara 429 artinya yang masih bisa buka lagi dan ini DKI Jakarta saja. Data ini per September 2020. Sekarang lebih banyak lagi kali," tambah Emil.

Angka tersebut sudah mencakup restoran yang berada di mal. Emil memperkirakan ada sekitar 4.000 lebih restoran di pusat perbelanjaan. Sebagian besar disebutnya juga sudah menutup operasi.

Kondisi yang memprihatinkan ini tidak hanya berdampak pada sektor restoran saja tetapi juga merembet ke sektor lain yang terkait. Setidaknya sektor yang terkait saat ini adalah sektor pusat perbelanjaan hingga berbagai vendor restoran yang memasok bahan baku pangan. 

Sepinya pengunjung membuat restoran lebih memilih menutup cabangnya. Para pemilik pusat perbelanjaan pun harus gigit jari karena pendapatan dari tenant tentu berkurang. 

Sementara dari sisi vendor, banyak juga yang merugi akibat tidak mendapatkan bayaran dari bahan baku yang mereka pasok ke restoran-restoran. 

"Vendor, waduh banyak yang bangkrut juga vendor-vendor. Ya gimana, dia supply ke orang nggak bayar semua. Bukan 1 atau 2 orang, hitungannya semua nggak bayar. Gimana dia mau hidup juga," sebut Emil Arifin.

Seiring berjalannya waktu, pengusaha restoran pun dikabarkan banyak yang memilih tutup total, dari yang sebelumnya hanya tutup sementara. Maklum karena sudah kepalang tanggung, cashflow mereka hancur berantakan dan kalaupun buka pendapatannya tidak pasti sementara ongkos sewa tempat, listrik hingga karyawan sudah pasti dikeluarkan. 

"Yang masih bertahan sekalipun berpikir untuk tutup. Karena daripada buka tapi hanya boleh take away, mending tutup sekalian. Dan yang tutup permanen saya perkirakan mungkin di November-Desember tutup itu sekitar 30-40%, dan itu di mal saja," kata Emil.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pilih Tutup Gerai, Restoran Rumahkan 400 Ribu Karyawan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular