
Kalau Biden Jadi Presiden AS ke-46, Gimana Nasib Minyak Ya?

Jakarta, CNBC Indonesia - Penghitungan suara kontestasi politik empat tahun sekali di Amerika Serikat (AS) masih berlangsung. Sampai saat ini, Joe Biden dari Partai Demokrat masih unggul baik secara popular vote maupun electoral vote.
Melansir Associated Press (AP) pada Kamis (05/11/2020), total suara publik yang diraup oleh mantan wakil presiden era Barrack Obama itu mencapai 72 juta suara dan berhasil mengantongi 264 suara elektoral sementara ini.
Untuk bisa menang, kandidat presiden AS harus berhasil mengumpulkan suara elektoral sebanyak 270. Jarak popular vote dan electoral vote antara Biden dan petahana Trump terpaut cukup jauh.
Mantan taipan properti AS sekaligus Presiden ke-45 AS tersebut hanya mengantongi 68,6 juta suara dan 214 suara elektoral. Namun memang, belum semua suara telah dihitung. Waktu yang dibutuhkan untuk menghitung suara sampai selesai bisa berhari-hari lamanya.
Bagaimanapun juga pasar juga sudah bersiap apabila Joe Biden yang keluar sebagai Presiden AS ke-46. Salah satu hal yang menjadi sorotan publik terhadap Biden nantinya adalah kebijakan energinya.
Biden terkenal fokus untuk mengatasi isu perubahan iklim dan kontra terhadap industri bahan bakar fosil. Dalam beberapa kesempatan kampanyenya, Biden menyuarakan bahwa AS harus keluar dari penggunaan bahan bakar fosil.
Pria yang berusia 3 tahun lebih tua dari Trump tersebut bermimpi AS akan menggunakan 100% energi yang bersih dan zero emission pada 2050 nanti. Dengan rencana anggaran mencapai US$ 2 triliun, Biden akan mengalokasikannya untuk mendorong investasi di bidang infrastruktur, kendaraan listrik, energi terbarukan, bangunan yang efisien dan di bidang pertanian dan konservasi.
Lantas, bagaimana dengan nasib bahan bakar fosil terutama minyak kalau Biden tidak pro terhadap industri strategis AS tersebut?
Biden memang punya impian untuk mewujudkan energi ramah lingkungan. Namun kecil kemungkinannya ia akan langsung mampu memboikot industri migas yang strategis bagi AS.
Sebagai informasi, sebelum 2016 produksi minyak AS per harinya hanya 5 juta barel per hari (bph). Kemudian, setelah revolusi teknologi fracking digunakan oleh AS dan industri minyak serpih (shale oil) berkembang, output emas hitam Paman Sam melonjak dua kali lipat.
Lonjakan produksi minyak yang signifikan tak hanya membuat AS menjadi mandiri energi serta net eksportir, tetapi juga membuat pasokan global menjadi berlimpah. Alhasil, harga minyak anjlok secara signifikan.
Produksi minyak mentah AS bisa mencapai 13 juta bph. Namun jika menghitung semua jenis minyak termasuk produk kilang yang berarti turunan produk minyak tersebut maka volume produksinya mencapai 18 juta-19 juta bph.
Akibat lonjakan pasokan minyak AS tersebut, organisasi negara-negara eksportir minyak (OPEC) membentuk sebuah aliansi dengan para koleganya termasuk Rusia (OPEC+) untuk mengendalikan produksi minyak mereka yang selama ini menjadi para kartel.
AS kini telah menjadi produsen terbesar minyak di dunia. Posisinya tersebut membuat Paman Sam memiliki kekuatan diplomatis yang besar. Tengok saja ketika Arab dan Rusia perang harga saat pandemi Covid-19 sedang meluas dan membuat harga minyak jatuh ke teritori negatif pertama kali dalam sejarah.
Trump sebagai Presiden AS mencoba masuk dan meminta keduanya untuk segera bekerja sama agar harga minyak terdongkrak. Tak berapa lama OPEC+ pun sepakat untuk memangkas produksi minyaknya dengan volume yang sangat besar. Tak tanggung-tanggung mencapai 9,7 juta bph atau setara dengan 10% output global.
Biden mengatakan dia tidak akan mengakhiri fracking, proses yang dikembangkan oleh produsen minyak dan gas di AS untuk mendapatkan minyak yang sulit dijangkau. Tapi kritikus Biden mengatakan dia akan berpihak pada sayap partainya yang lebih progresif, yang ingin mengakhiri fracking.
Analis mengatakan dia dapat meningkatkan regulasi sektor, dengan membatasi emisi metana dan dia mengatakan dia akan membatasi fracking di lahan federal.
"Saya pikir dia (Biden) akan melihat harga minyak dan diplomasi minyak melalui lensa ekonomi global yang lebih luas terutama ekonomi AS dan sektor tenaga kerja AS," kata Helina Croft, Kepala Strategi Komoditas Global RBC kepada CNBC International.
"Saya pikir dia akan melihatnya sebagai input ekonomi yang penting. Padahal, menurut saya Presiden Trump benar-benar menganggap industri ini sebagai sesuatu yang strategis dan perlu dilindungi. Saya pikir untuk Biden, kebijakan minyak akan tetap penting, tetapi itu akan menjadi bagian dari masukan ekonomi yang lebih luas." tambahnya.
Selain sebagai produsen minyak terbesar di dunia, AS juga berperan sebagai konsumen minyak terbesar di dunia lho. Menurut US Energy Information Administration (EIA) total konsumsi minyak AS pada 2019 mencapai hampir 20 juta bph yang setara dengan total 20% konsumsi global.
Konsumsi minyak AS mengungguli konsumsi minyak China yang hanya 13,57 juta bph atau setara dengan 14% dari pangsa pasar global dan menempatkannya di urutan kedua setelah Paman Sam.