Gelombang Kebangkrutan Korporasi Masih Berlanjut, Madesu?

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
26 October 2020 17:06
Puluhan pekerja geruduk kantor Lion Air. CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Foto: Puluhan pekerja geruduk kantor Lion Air. CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah pandemi covid-19 saat ini, sejumlah perusahaan telah mengajukan pailit atau kebangkrutan di sejumlah Pengadilan Negeri Niaga di kota-kota besar di Indonesia. Ekonom memperkirakan gelombang kebangkrutan korporasi masih akan berlanjut.

Kasus perkara penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) terus meningkat pada kuartal II-2020. Di sejumlah PN Niaga di Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar tercatat ada 132 kasus. Jumlah ini meningkat dibandingkan dengan kuartal I-2020 yang hanya mencatatkan 102 kasus.

Secara total ada 233 kasus selama Semester I-2020 atau mencakup 55% dibandingkan dengan total perkara PKPU tahun 2019 lalu yang mencapai 425 kasus.

Kasus kepailitan juga menunjukkan tren yang belum berhenti. Hingga Semester I-2020, sudah ada 43 perusahaan dinyatakan pailit. Kasus paling banyak terjadi di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan hampir setengahnya yakni 20 kasus, kemudian disusul Pengadilan Niaga Semarang dengan 16 kasus perkara. Adapun total kasus kepailitan tahun 2019 mencapai 124 kasus.

Kondisi tersebut cukup mengkhawatirkan karena membuktikan bahwa banyak perusahaan yang kesulitan menunaikan kewajiban pembayarannya.

Ekonom INDEF, Bhima Yudhistira mengatakan volatilitas perekonomian secara global masih akan tinggi, bahkan diperkirakan hingga tahun 2021. Hal tersebut, kata Bhima didasari pada beberapa variabel kunci.

Salah satu variabel kunci yang diyakini Bhima masih akan terus terjadi yakni, gelombang kebangkrutan korporasi yang masih akan terus berlanjut. Artinya perekonomian Indonesia yang terburuk belum berakhir.

"Seperti tren harga komoditas unggulan, kepercayaan konsumen tidak hanya di Indonesia, tapi juga di negara maju. Indikasi vaksin belum akan di distribusikan massal dalam waktu dekat," ujar Bhima kepada CNBC Indonesia, Senin (26/10/2020).

"Gelombang kebangkrutan korporasi masih berlanjut, khususnya pasca bank tidak lagi jor-joran memberikan relaksasi kredit. The worst could be yet to come," kata Bhima melanjutkan.

Bhima berpesan pelaku usaha untuk tidak berharap terlalu banyak terhadap pengadaan vaksin yang saat ini selalu didengungkan oleh pemerintah.

Pemerintah juga menurut Bhima untuk kembali menekan angka penularan vaksin dengan menerapkan tracing, test, dan treatment (3T). Bhima meramal, kontraksi ekonomi masih akan berlanjut hingga 2021.

"Ya kita tidak bisa berharap pada vaksin. Pemerintah harus back to basic yakni lakukan 3T. Proyeksinya, kontraksi ekonomi masih akan berlanjut di 2021," jelas Bhima.

Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan, berdasarkan data yang dihimpun regulator, realisasi restrukturisasi kredit per 28 September 2020 yang dilakukan oleh 100 bank telah menembus Rp 904,3 triliun. Restrukturisasi tersebut diberikan kepada lebih dari 7,5 juta debitur.

Bila dirinci, restrukturisasi tersebut mayoritas diberikan kepada 5,82 juta debitur UMKM dengan nilai outstanding alias baki debet sebesar Rp 359,98 triliun dan 1,64 juta debitur non-UMKM sisanya senilai Rp 544,31 triliun.

Data ini menurut Wimboh mengatakan debitur-debitur yang menerima restrukturisasi tersebut merupakan nasabah yang kesulitan atau tidak mampu mengangsur pokok maupun bunga hingga usahanya bisa beraktivitas normal kembali.

Bukan cuma sektor perbankan saja, sektor industri keuangan non bank (IKNB) juga mendapatkan keringan serupa. Realisasinya menurut data OJK per 13 Oktober 2020 sudah sebesar Rp 175,21 triliun. Restrukturisasi diberikan ke 4,73 juta jumlah kontrak.

Restrukturisasi tersebut diberikan kepada 651.000 UMKM dan pelaku ojek online (Ojol) dengan penundaan bayar pokok Rp 36,71 triliun dan bunga Rp 9,49 triliun, sedangkan restrukturisasi ke non UMKM dan non Ojol diberikan kepada 4,08 juta kontrak dengan penundaan pokok Rp 100,5 triliun dan bunga Rp 28,87 triliun.

"Jumlah restrukturisasi sudah mulai flat, kelihatannya magnitude sudah optimal tidak akan nambah lagi atau nasabah sudah semakin kecil. Sekarang permasalahan kita bagaimana yang sudah bisa bertahan ini ke depan, bagaimana bangkit lagi," ujar Wimboh dalam Ceremony Capital Market Summit and Expo (CMSE), Senin (19/10/2020).


(dru)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kasus Baru Covid-19 di RI Tiba-tiba Naik, Nyaris Tembus 1.000

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular