Beda dari Nikel, Kenapa Sih Industri Hilir Tembaga Gak Jalan?

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
14 October 2020 16:15
Indonesia lewat PT Indonesia Alumunium (Inalum) menguasai 51% saham PT Freeport Indonesia. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Ignasius Jonan, melakukan kunjungan kerja ke tambang Freeport di Timika, Papua pada 2-3 Mei 2019.

Dalam acara, Jonan mengunjungi tambang emas legendaris milik Freeport Indonesia, yaitu Grasberg, yang lokasinya 4.285 meter di atas permukaan laut.

Tambang Grasberg ini akan habis kandungan mineralnya dan berhenti beroperasi pada pertengahan 2019 ini. Sebagai gantinya, produksi meas, perak, dan tembaga Freeport akan mengandalkan tambang bawah tanah yang lokasinya di bawah Grasberg.

Dalam kunjungan tersebut, Jonan didampingi Presiden Direktur Freeport Indonesia Tony Wenas, Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin, serta sejumlah pejabat Kementerian ESDM.

Perjalanan menuju Grasberg dilakukan menggunakan bus khusus, dan sempat disambung dengan menggunakan kereta gantung atau disebut tram yang mengantarkan hingga ketinggian 4.000 meter di atas permukaan laut, dan disambung dengan bus lagi hingga ke puncak Grasberg.

Cuaca gerimis serta oksigen yang tipis menyambut kedatangan Jonan dan rombongan di lokasi puncak Grasberg.

Dalam kunjungannya Jonan mengatakan, tantangan saat ini adalah membuat operasional Freeport terus berjalan dengan baik, dan produksi, keselamatan kerja, serta lingkungan dapat terjaga dengan baik.

Jonan meminta agar tidak ada hambatan dalam pengelolaan tambang Freeport pasca pengambilalihan 51% saham oleh Inalum.

Jonan juga meminta agar ke depan peranan Freeport terhadap masyarakat Papua makin besar, lewat pembangunan sarana dan prasarana seperti sekolah serta rumah sakit atau puskesmas. (CNBC Indonesia/Wahyu Daniel)
Foto: Tambang Freeport Grasberg, Timika (CNBC Indonesia/Wahyu Daniel)

Jakarta, CNBC Indonesia - Hilirisasi tembaga di Indonesia terlihat tidak begitu berkembang bila dibandingkan dengan komoditas mineral lain seperti nikel yang sejak beberapa tahun terakhir sejumlah smelter nikel mulai beroperasi.

Melihat kondisi ini, pemerintah pun terus mendorong agar perusahaan tambang tembaga juga membangun smelter di dalam negeri.

Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ridwan Djamaluddin mengatakan industri hilir tembaga perlu dikembangkan agar memiliki nilai tambah bagi negara.

Dia mengakui, belum jalannya hilirisasi komoditas tembaga ini kerap disindir oleh sejumlah pihak bahwa Indonesia hanya terus menjual tanah air, karena hanya menggali dan menjual, belum sampai ke sektor hilir.

"Sebagaimana sering disindir banyak pihak, kita sering jual tanah air, gali jual, ini paradigma yang ingin kita alihkan menjadi (komoditas) bernilai tambah," ungkapnya dalam Webinar 'Masa Depan Hilirisasi Tembaga Indonesia', Rabu (14/10/2020).

Lebih lanjut dia mengatakan, untuk meningkatkan nilai tambah diperlukan modal berupa investasi. Kondisi ini menurutnya memang tidak mudah bagi badan usaha, karena harus ada perhitungan matang dari setiap sen yang dikeluarkan.

Pun demikian dengan pemerintah, setiap sen yang tidak didapatkan harus dihitung karena ini merupakan hak dari masyarakat. Keseimbangan badan usaha dan pemerintah harus dicari bersama.

"Keseimbangan ini yang kita cari. Perbedaanya adalah kita ingin agar proses nilai tambah yang panjang itu sebisa mungkin berikan dampak. Meningkatkan nilai tambah, lapangan kerja, dan kemandirian," ungkapnya.

Pola pikir mencari keseimbangan antara badan usaha dan pemerintah saat ini masih belum banyak dilakukan. Pihaknya ingin adannya keseimbangan pola pikir hitungan korporasi dengan pola pikir keseimbangan negara.

Undang-Undang No.3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba), imbuhnya, semakin memperkuat dan menegaskan hilirisasi nilai tambah tembaga menjadi seuatu yang wajib dikerjakan.

"Dilakukan baik bagi pemerintah yang nyuruh wajib dan pelaku industri agar terimplementasi dengan baik," tegasnya.

Seperti diketahui, saat ini baru ada satu smelter tembaga yang cukup besar dioperasikan PT Smelting, perusahaan patungan antara PT Freeport Indonesia dan Mitsubishi yang telah dibangun sejak 1996 di Gresik, Jawa Timur dengan kapasitas pasokan konsentrat tembaga sebesar 1 juta ton tembaga per tahun dan menghasilkan 300 ribu ton katoda tembaga per tahun.

Kini Freeport telah membangun smelter tembaga kedua yang juga berlokasi di Gresik, tepatnya di kawasan Industri Java Integrated Industrial and Port Estate (JIIPE), dengan kapasitas olahan sebesar 2 juta ton konsentrat tembaga per tahun. Adapun nilai investasi yang dibutuhkan diperkirakan mencapai US$ 3 miliar.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Ranking 11 Produsen Tembaga Dunia, Tapi Smelternya Cuma 2!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular