Stop Stigma Negatif! Survivor Covid-19 Masih Dijauhi Tetangga

Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
10 October 2020 05:20
Infografis/ Infografis WHO : Dunia Harus Siap Serangan Pandemi Baru Lagi/Aristya Rahadian
Foto: Infografis/ Infografis WHO : Dunia Harus Siap Serangan Pandemi Baru Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia- Pasien Covid-19 seringkali mendapatkan stigma negatif dari masyarakat, banyak dicibir hingga dikucilkan di lingkungannya. Hal ini banyak dirasakan oleh para penyintas Covid-19 yang keluarganya pun merasakan stigma negatif dari masyarakat.

Salah satu penyintas Covid-19 Albert Ade mengatakan pertama kali mengetahui positif corona, dia sempat bingung dan mengalami penolakan di dalam dirinya. Namun kemudian dia langsung menghubungi keluarganya, dan ada keraguan untuk memberi tahu tempatnya menginap bahwa dia positif corona.

"Justru yang lebih mudah kalau orang tahu, jadi nanti mudah tracingnya. Keluarga dan teman-teman kantor yang kontak dekat dengan saya bisa diketahui, jadi tracingnya bisa dilakukan dengan benar sehingga tidak apa-apa dikasih tahu," kata Albert, Jumat (09/10/2020).

Kemudian pihak keluarganya pun langsung menghubungi RT dikompleknya yang langsung menerima macam-macam komentar dari masyarakat sekitar. Meski dia merasa ketakutan yang dirasakan tetangganya wajar dan harus melakukan pencegahan.

"Akhirnya disepakati untuk semprot disinfektan dan kami kasih tahu karena dalamĀ dua minggu terakhir tidak pernah interaksi sama warga jadi tidak usah khawatir," katanya.

Selain Albert, adapula Putri Octaviani yang sempat panik ketika tahu dirinya positif Covid-19, penyakit yang dihindari oleh semua orang. Setelah itu dirinya langsung mencari-cari informasi dan kemudian dirujuk ke wisma atlet.

"Pertama pasti panik, karena kena penyakit yang dihindari semua orang," katanya.

Sebelum dirinya, tetangga dekat rumahnya juga ada yang terkena Covid-19 dan langsung mendapatkan stigma negatif dari lingkungan sekitar. Menurutnya masih banyak warga di sekitar tempat tinggalnya yang belum mengetahui penyakit ini sehingga masih banyak stigma negatif yang diberikan.

"Jadi ada aja obrolan tentang penyakit itu sehingga orang lebih menjaga jarak dengan keluarga yang terkena Covid-19 ternyata di lingkungan rumah pun ada stigma kaya gitu. Keluarga tetap menjaga jarak dengan tetangga, stigma negatif bisa ditolerir," kata Putri.

Psikolog Anak dan Keluarga Konselor Employee Assistance Program di BUMN dan Lembaga Negara Mira Amir mengatakan bisa juga karena ada distorsi ketika menerima pesan yang sudah dikemas dengan baik dan benar. Akhirnya ada pula yang berkembang menjadi informasi yang keliru, sehingga berpengaruh pada keputusan yang diambil.

"Mereka kurang mendapatkan info yang utuh dan benar. Seringkali semua 'katanya-katanya' yang tidak tahu dapat dari siapa. Padahal sebenarnya mereka bisa mendapatkan langsung dari pakarnya, mungkin dokter atau tenaga kesehatan lainnya," kata Mira.

Untuk menghilangkan stigma akan lebih mudah jika diantara masyarakat ada yang bisa mempersuasi, dan mengkomunikasikan, bisa figur yang disegani atau memiliki kompetensi. Selain itu harus dilihat komunikasi kelompoknya seperti apa, karena ada yang bisa komunikasi sambil bersantaiĀ dan dari sosial media, ada juga yang membutuhkan forum yang lebih formal.

Masyarakat juga dihimbau untuk selalu mematuhi #pakaimasker, #jagajarak dengan menghindari kerumunan, serta #cucitangan dengan sabun dan air mengalir. Sesuai pesan Satgas Penanganan Covid, yang dilakukan agar displin 3M (memakai masker, menjaga jarak dan menghindari kerumunan, serta cuci tangan) belum sebanding dengan perjuangan dokter dan tenaga kesehatan yang merawat pasien di rumah sakit.


(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Data Baru Sebut China Sudah Kaji Covid Sebelum Pandemi Meledak

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular